Senin, 20 Mei 2013

Menuju Jogja, Mengenang Kereta Ekonomi yang Masih Ekonomis

Kereta Progo yang Penuh Sesak (sumber: citizenimages.kompas.com)
Perjuangan yang menguras emosi dari Bogor menuju Senen telah usai. Mulai dari mengejar KRL listrik di tengah kemacetan kota Bogor sore tadi. Sampai yang terakhir harus naik taksi ke Senen karena jalur KRL tidak lewat sana. Kami langsung menuju antrian loket. Nampak antrian yang cukup menggambarkan kondisi di dalam kereta nanti (sumpek, pengap, pokoknya sangat tidak nyaman). Namun apa boleh buat, kami harus segera kembali ke Jogja karena tidak mungkin menunggu sehari lagi di Jakarta. Akhirnya kami dapat tiket berdiri untuk 3 orang. Tiket yang tidak akan pernah bisa didapatkan saat ini. 

Kereta datang dari arah timur jam 9 lebih sedikit. Karena kami dapat tiket berdiri maka kami mengambil tempat lebih dulu di dekat pintu. Di tempat itu bisa lumayan luas dan cukup untuk kami bertiga. Percuma kalau kami mengambil tempat duduk, karena suatu saat pasti akan diusir oleh pemilik sebenarnya. Tapi aku melihat tempat duduk kosong, jadi aku duduk saja di situ. Sebelum duduk kutaruh tas bawaanku ke tempat tas sementara temanku yang lain juga ikut nitip tas mereka. Dan kereta akhirnya mulai bergerak sekitar jam 9.20, dalam hati aku berharap tidak ada yang mengusirku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku bisa duduk di bawah dekat pintu, takutnya nanti bisa jatuh. 

Keretapun berhenti di sebuah stasiun, aku siap-siap untuk pergi jika suatu saat ada yang mengusirku. Para penumpang naik dan duduk di tempat duduk masing-masing, sampai saat ini aku masih aman. Tapi yang membuatku khawatir di dekatku ada petugas, kalau aku ketahuan tidak punya tiket duduk pastinya aku diusir dengan cara yang memalukan. 

Saat kukira penumpang sudah mengambil posisi sesuai haknya, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang mendekat di tempat dudukku. Dia mengatakan kalau tempat duduknya di sini. Kami yang duduk berempat di kursi itu tidak ada yang mau pergi. Sebenarnya aku ingin segera pergi tapi aku menunggu dulu orang itu mengeluarkan karcisnya, siapa tahu dia bohong. Petugas yang melihat kejadian itu segera menghampiri kami dan meminta kami menunjukkan karcis. Orang tadi diminta mengeluarkan karcis dulu, lalu bapak yang duduk di sebelahku diminta juga mengeluarkan karcisnya. Bapak itu mengeluarkan karcisnya yang ternyata sesuai dengan tempat duduknya. Lalu petugas itu menyuruhku memperlihatkan karcisku, waduh.. bisa gawat kalau ketahuan (kataku dalam hati). Sambil mempersiapkan alasan agar tidak dipermalukan petugas, aku mengeluarkan karcisku. Tapi tiba-tiba saat petugas memeriksa kembali tiket milik orang itu, petugas itu mengatakan kalau dia salah gerbong. Di tiket itu tertulis gerbong 5 sedangkan gerbong ini adalah gerbong 3. Orang itupun lalu pergi ke gerbong 5, dan selamatlah aku nyaris saja aku dimarahi petugas karena ketahuan duduk di tempat duduk. Beberapa saat kemudian petugas itu pergi, huuh.. akhirnya dia pergi juga. 

Sampai di sebuah stasiun, kereta menaikkan penumpang lagi. Seseorang mendekati tempat dudukku sambil memperlihatkan tiketnya dia meminta haknya. Karena tiketnya sesuai maka aku mengembalikan haknya. Akhirnya, aku terpaksa duduk lesehan bersama kedua temanku di dekat pintu yang terbuka. Pintu itu memang sengaja mereka buka dengan alasan agar tidak ngantuk. Ternyata tidak buruk juga duduk di tempat itu, walaupun berbahaya aku merasa nyaman duduk di dekat pintu yang terbuka. Sambil melihat pemandangan aku juga bisa merasakan hembusan angin, sampai saat ini cukup untuk bisa membuatku terjaga. Hampir tengah malam, aku mulai mengantuk. Lalu kucari tempat yang agak aman. 
Akhirnya kutemukan tempat yang aman yaitu di jalan antar kursi yang biasanya dipakai pedagang untuk menjajakan dagangannya. Awalnya sempat risih dan bingung menentukan posisi duduk bagaimana yang enak. Akhirnya aku menemukan posisi duduk yang nyaman tanpa harus menekuk kaki saat ada orang lewat. Aku duduk dalam posisi selonjor, dan membiarkan orang lewat yang kebanyakan pedagang melangkahi kakiku. Di dekatku ada 2 orang lainnya yang mengalami nasib yang sama denganku. Sementara itu kedua temanku masih menikmati pemandangan dan hembusan angin. 

Aku mulai memejamkan mata, tapi tidak bisa tidur juga meskipun sebenarnya aku merasa ngantuk. Hampir setiap menit ada orang yang melangkahiku sambil menjajakan dagangannya. Sempat sebel juga pada mereka, karena aku sebagai penumpang resmi lebih berhak terhadap kereta ini daripada para pedagang itu. Tapi aku segera menyadari bahwa sebenarnya mereka tengah berjuang untuk hidup. Mereka dengan gigih menawarkan barang dagangannya. Dengan lantang mereka menawarkan dangangannya pada para penumpang. Tanpa menyerah mereka berjalan dari gerbong ke gerbong. Ada saatnya dalam suatu atau mungkin beberapa gerbong selanjutnya tidak ada satu penumpangpun yang mau membeli tapi mereka masih saja berteriak sambil berharap di gerbong selanjutnya ada rejeki untuk mereka. Tapi bagaimanapun permintaan konsumen di dalam kereta tetaplah banyak jadi dengan penjual yang banyak pasti semuanya dapat menjual barang dagangannya walaupun tidak sampai habis. Tapi permintaan yang ada di kereta cukup unik, karena permintaan itu timbul secara mendadak. Hal itu terjadi pada makanan dan minuman. Dalam perjalanan yang panjang tentunya setiap orang merasa haus atau lapar. Dan setiap orang merasakan haus dan lapar itu waktunya berbeda-beda, karena itu tidak semua pedagang mampu memprediksi kapan permintaan itu timbul. Yang bisa mereka lakukan hanyalah terus berjalan dari gerbong ke gerbong sambil berharap ada penumpang yang sedang membutuhkan dan akhirnya memutuskan untuk membeli barang dagangannya. 

Sebagai gambaran sederhananya, misal ada 2 penjual kopi. Penjual pertama lewat di suatu gerbong tapi tidak ada yang membeli. Beberapa saat kemudian pedagang kedua lewat, bersamaan dengan itu ada penumpang yang merasa haus dan ingin membeli. Pada saat itulah penawaran berada di "jalur" yang tepat sehingga bisa bertemu dengan permintaan. Jadi diperlukan keberuntungan dari para pedagang agar bisa berada di waktu dan tempat yang tepat. Sungguh sulit memang berjualan di kereta karena menghadapi ketidakpastian dalam sebuah keniscayaan permintaan. Karena itulah aku sangat kagum dengan perjuangan para pedagang itu. 
pedagang asongan di dalam kereta (dok. pribadi)

Sementara itu kereta terus melaju dengan kencang, dan hari mulai berganti. Sekarang sudah hari selasa sudah hampir 3 hari aku meninggalkan Jogja. Di dalam kereta ini aku masih mencoba untuk memejamkan mataku dan berharap bisa segera tidur karena aku sudah sangat bosan dan mulai pegal-pegal karena terlalu lama duduk. Saat aku berjuang untuk tidur 2 orang yang juga duduk lesehan di sebelahku sudah tertidur pulas. Bahkan salah satu diantaranya terkapar dengan pulasnya di tengah jalan, sehingga orang yang lewat harus melangkahi tubuh bapak itu. Lalu aku melihat kearah kedua temanku yang duduk di dekat pintu. Kulihat pintu sudah ditutup, dan mereka dengan pulasnya tidur. Sementara itu aku masih terjaga, dan terpaksa harus menikmati rasa bosan.

Sekitar jam 2 kulihat kedua temanku sudah bangun dan pintu juga dibuka lagi. Daripada bosan mendingan aku ikut gabung lagi bersama 2 temanku itu. Sambil ngobrol aku merasakan lagi semilir angin malam yang berhembus melewati pintu kereta yang terbuka. Memang enak duduk di dekat pintu, tapi yang sangat mengganggu adalah bau tidak enak yang berasal dari toilet. Kebetulan kami berada tepat di depan toilet, jadinya kami terpaksa harus menerima aroma khas toilet kereta ekonomi. Karena merasa pegal-pegal dan bosan di dalam kereta, kami beberapa kali turun saat kereta sedang berhenti. Lumayanlah.. bisa sejenak menikmati udara bebas. Setelah kereta berjalan selama beberapa jam sampai juga di stasiun Lempuyangan. .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar