Perjalanan panjang selama hampir
10 jam harus kami tempuh dari Jogja menuju Bandung menggunakan KA Kahuripan. Usai
istirahat sejenak, kami lanjutkan perjalanan menuju terminal Leuwi Panjang.
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) adalah tujuan utama kami.
Perjalanan ini sudah kami siapkan sejak sebulan yang lalu. Mulai dari pemesanan
tiket KA sampai pengurusan booking
perizinan pendakian di kawasan TNGGP yang saya pikir sangat ribet. Dibanding
gunung-gunung lain, perizinan pendakian di TNGGP memang serba berbelit-belit
dan menyusahkan terutama bagi yang berdomisili di tempat yang jauh dari lokasi.
Hanya rasa penasaran saja yang membawa kami ke tempat itu, lokasi pendakian
favorit di Jawa Barat.
pertigaan Cimacan yang ramai |
Bus “Garuda Pribumi” jurusan
Jakarta via Puncak membawa kami menuju ke Cimacan, Cianjur. Dengan harga tiket
Rp30.000, mereka sediakan fasilitas AC, Bagasi, dan TV. Tayangan sinetron
picisan yang tersaji di layar televisi mampu membuat saya tertidur. Sekitar
tiga jam kemudian sampailah kami di pertigaan Cimacan, tak jauh dari istana
Cipanas. Di pertigaan itu, beberapa angkot sudah siaga menyambut penumpang. Tak
perlu waktu tunggu, sesaat setelah kami naik, angkotpun langsung meluncur ke
arah TNGGP. Angkot yang tadinya hanya berisi kami berdua, perlahan dimasuki
beberapa penumpang. Tak sampai setengah jam, angkot sudah berhenti tepat di
depan pelataran parkir TNGGP. Setelah membayar Rp6.000 untuk 2 orang ke sopir
angkot, kami pun langsung menuju ke kantor TNGGP untuk mengurus SIMAKSI (Surat
Izin Masuk Kawasan Konservasi).
kantor Taman Nasional Gunung Gede Pangrango |
Gagal mendaki adalah kemungkinan
terburuk yang siap kami hadapi mengingat jumlah tim yang hanya dua orang
(sesuai peraturan, minimal ada tiga orang dalam satu tim). Sebenarnya saat booking online kami mendaftarkan tiga
orang, namun seorang kawan mendadak urung ikut. Karena sudah terlanjur pesan
tiket kereta PP, mau tak mau harus ke sana. Di luar dugaan, petugas dengan
entengnya menyarankan kami gabung ke tim pendaki lain yang kebetulan akan naik
sore itu. Ternyata, meski memiliki
peraturan yang serba ribet masih ada sedikit “celah” yang bisa meringankan.
Jam setengah lima sore, kami
mulai pendakian bersama para Kaskusers regional Cianjur Selatan yang berjumlah
sekitar 20 orang. Sore itu mendung menggantung di kaki gunung Gede. Menurut Pak
Nana, petugas di posko pendakian, akhir-akhir ini tiap sore hujan mengguyur
wilayah gunung Gede. Hampir sejam kemudian, sampailah kami di jembatan kayu
(sebenarnya terbuat dari beton, namun dibentuk seperti kayu). Jembatan
sepanjang 1km itu membentang di atas sungai-sungai dan cekungan kecil. Kabut
tipis pun mulai turun perlahan. Di kejauhan, hutan Pangrango terlihat suram
berselimut kabut. Hawa dingin mulai menembus pakaian yang kami kenakan. Tak
kuat menahan dingin, kami pun minta izin kepada ketua tim Kaskusers untuk jalan
duluan untuk kemudian bertemu kembali di Kandang Badak.
(mirip) jembatan kayu |
Setengah jam kemudian, rintik
hujan mulai tercurah dari langit. Segera ponco dan headlamp kami kenakan mengingat suasana yang semakin gelap.
Vegetasi hutan yang lebat membuat kami hanya bisa melihat kondisi di sekitar
jalur pendakian saja. Beruntung, jalur pendakian di TNGGP via Cibodas relatif
lebar dan jelas sehingga sangat memudahkan bagi kami yang baru pertama mendaki
di gunung ini. Tak berapa lama kemudian, sampailah kami di kawasan air panas. Ini
adalah salah satu dari dua rute pendakian gunung Gede via Cibodas yang
berbahaya. Di rute ini pendaki, harus melewati aliran air panas sepanjang
sekitar 500m dengan tebing di satu sisi dan jurang di sisi lain. Rute ini
sangat sempit, dibatasi dua jalur tali selebar tak lebih dari satu meter.
Selain licin, panasnya air yang mengalir membuat pendaki harus ekstra hati-hati
untuk melewatinya. Sangat disarankan untuk memakai sepatu untuk sedikit
melindungi kaki dari panasnya air. Kabut yang tercipta akibat uap panas akan
memperpendek jarak pandang, karena itu dibutuhkan senter dengan cahaya yang
memadai jika melintas di malam hari. Setelah menempuh lima jam perjalanan yang
melelahkan sampailah kami di Kandang Badak, lokasi mendirikan tenda yang
menjadi favorit pendaki karena dekat dengan puncak.
Jam 10 malam, tenda telah
didirikan dan usai menyantap nasi bungkus kamipun segera tidur. Suhu di kandang
badak relatif tidak terlalu dingin, cukup nyaman untuk tidur. Esoknya, kawan
sependakian saya memutuskan untuk tidak ikut muncak. Akhirnya pada 5.45 saya
mulai perjalanan ke puncak. Saat itu hanya saya saja yang muncak, sebagian
besar pendaki sudah mendaki sejak dini hari tadi untuk mengejar momen sunrise.
Perjalanan diawali dengan mendaki jalur makadam sampai pertigaan Pangrango.
Untuk menuju puncak gunung Gede lurus saja, sedangkan bila ingin ke puncak
gunung Pangrango ke arah kanan. Kali ini saya akan ke puncak Gede saja. Setelah
pertigaan itu, jalur berupa tanah dengan akar-akar pohon yang membentuk seperti
tangga. Dibandingkan jalur pendakian di bawah kandang badak, jalur menuju
puncak ini relatif terjal. Meski di sekitarnya pepohonan cukup lebat, namun
jalur pendakian sangat jelas dan nyaris tak ada percabangan yang membingungkan.
Di beberapa tempat terpasang tiang-tiang kecil dengan tali yang membentang
diantaranya.
rute menuju puncak |
Sekitar sejam dari kandang badak,
sampailah saya di tanjakan setan. Tanjakan itu sangat terjal, dengan kemiringan
hampir 80 derajat kita harus memanjat untuk sampai ke atas. Karena takut
ketinggian dan dalam posisi sendiri, saya memutuskan untuk menghindari tanjakan
setinggi sekitar 10 meter. Jalur alternatiflah yang saya pilih, sedikit memutar
memang namun tidak terlalu terjal. Setengah jam kemudian, kawah gunung Gede
sudah terlihat. Kini saya hanya perlu menyisir tebing di tepi kawah untuk
sampai ke puncak. Tepat di belakang, tampak gunung Pangrango berdiri dengan
gagahnya. Sementara itu tepat di bawah terlihat asap tipis mengepul keluar dari
sisi tebing yang berwarna keemasan.
tanjakan setan |
Tak sampai 10 menit, saya sudah
sampai di puncak gunung Gede. Hanya tiang kecil dengan papan bertuliskan
“Puncak Gede” sebagai penanda kalau saya sudah sampai di puncak gunung
dengan tinggi 2985 mdpl. Beberapa lokasi
di puncak Gede didirikan beberapa tenda. Puncak gunung Gede memang sangat cocok
untuk lokasi kemah karena di beberapa titik terdapat lokasi yang terlindungi
oleh semak dan pepohonan kecil. Sekitar setengah berada di puncak kemudian
turun, tak perlu berlama-lama di puncak jika sendirian. Sebelum turun, saya
bertemu dengan rombongan Kaskusers. Mereka mengajak saya turun ke alun-alun
Suryakencana, tanah lapang di mana edelweiss banyak tumbuh di sana. Sempat
ngiler saya ketika melihat Suryakencana yang ada di bawah, mungkin tak sampai
setengah jam untuk ke sana. Namun, karena tidak ingin kemalaman sampai Bandung
saya pun memutuskan untuk segera turun.
area puncak gunung Gede |
kawah gunung Gede |
megahnya Pangrango |
Matahari sudah mulai meninggi,
namun sinarnya sedikit terhalang oleh rapatnya vegetasi hutan gunung Gede.
Sinar Mentari tampak menembus celah dedaunan membentuk tirai cahaya. Kicauan
burung bersahutan, menambah semarak pagi. Kali ini saya tidak sendiri, ada
beberapa rombongan pendaki lain yang juga turun serta sempat berpapasan dengan
rombongan pendaki yang naik. Sejam kemudian, sekitar jam 9.20 saya sudah sampai
di kandang badak. Segera kami packing setelah menyantap sarapan yang sudah disiapkan
oleh kawan saya yang tidak ikut muncak.
cahaya matahari menembus sela dedaunan |
Jam 9.50 kami beranjak turun dari
kandang badak. Tak sampai sejam, kami sampai di kawasan air panas. Kawan saya
pun mengajak turun ke kali untuk berendam air panas. Sebenarnya aliran air yang
letaknya sekitar 30m di bawah jalur pendakian itu bukan murni air panas. Air
panas murni ada di beberapa titik sepanjang kali, dialirkan melalui pipa dan
ada juga saluran alami. Sumber air panas itu berasal dari aliran air yang
letaknya ada di atas kali. Berendam air panas memang sangat cocok untuk
relaksasi otot-otot yang telah bekerja keras selama pendakian.
Setelah puas berendam air panas,
kami lanjutkan perjalanan turun gunung. Beberapa menit kemudian tibalah kami di
jalur air panas. Kini terlihat jelas jurang yang menganga di sebelah kiri.
Ternyata jalur itu merupakan bagian dari air terjun panas dengan debit air yang
tidak terlalu besar. Tidak seperti semalam di mana kami begitu tegang
melewatinya, siang ini kami lalui jalur ini dengan santai. Selain karena medan terlihat
jelas, air terasa tidak sepanas malam tadi mungkin karena sudah terbiasa dengan
suhu panas air setelah berendam tadi. Jadi agar tidak panik karena kepanasan,
sebelum melewati jalur air panas ini sebaiknya menyesuaikan dulu dengan
merendam kaki sejenak untuk membiasakan.
jalur air panas yang mendebarkan |
Sebelum turun sampai pos
pengecekan SIMAKSI, kami beristirahat di pertigaan curug Cibeureum. Di papan
petunjuk tertulis, jarak curug hanya 0,3km dari pertigaan. Sangat dekat hanya
300 m, tak sampai 5 menit sudah sampai. Tanpa pikir panjang, saya segera
meluncur ke curug meninggalkan kawan yang nampak kepayahan dan tidak mau ikut
ke sana. Jalur menuju curug berupa makadam dengan jembatan yang terbentang di
atas kali. Lima menit kemudian, hanya gemuruh air yang saya dengar tanpa
terlihat aliran air terjun secuil pun. Ternyata dugaan saya salah, dibutuhkan
waktu lebih dari sepuluh menit untuk sampai ke curug. Mungkin yang dimaksud
jarak 0,3km itu adalah jarak lurus dari pertigaan ke curug bukan jarak jalurnya
atau mungkin itu hanya untuk “menipu” pengunjung agar tidak malas untuk jalan
2km.
Curug Cibeureum |
Cibeureum, agak susah dilafalkan
lidah Jawa seperti punya saya. Untuk menjangkaunya pun cukup sulit untuk wisata
umum karena masuk dalam jalur pendakian gunung Gede Pangrango. Diperlukan waktu
lebih dari sejam perjalanan dari kantor TNGGP. Namun, kesulitan itu terbayar
lunas ketika kita sampai di depan air terjun. Muncul dari celah pepohonan,
aliran air terjun berketinggian 30m ini mengalir dengan derasnya. Hijaunya
tebing di sisi kiri dan kanan curug membuat pemandangan semakin sejuk. Di
sebelah curug Cibeureum terdapat dua curug lain yang lebih kecil namun tinggi.
Banyak wisatawan yang bekunjung ke curug Cibeureum, bisa jadi disebabkan karena
bertepatan dengan hari libur (hari buruh). Namun di samping itu, fasilitas yang
cukup lengkap menjadi faktor penarik bagi pengunjung. Beberapa gazebo dibangun
sebagai tempat beristirahat, serta jembatan-jembatan kecil yang mempermudah
pengunjung.
curug lain di area TNGGP |
Hanya sekedar mengambil beberapa
gambar dan memuaskan hasrat keingintahuan saya, tak perlu berlama-lama di sana.
Kami lanjutkan perjalanan, sekitar jam 2 sudah sampai di kantor TNGGP.
Perjalanan yang terasa begitu panjang dari pertigaan Cibeureum ke bawah,
mungkin karena kecapekan. Seperti biasa, naik gunung pasti menguras tenaga.
Namun pendakian gunung Gede via Cibodas ini serasa seperti wisata saja. Ada
banyak tempat wisata yang dapat dikunjungi seperti curug Cibeureum, Cipanas
(air panas), puncak, dan tak ketinggalan hutan taman nasional yang masih
terjaga. Saya rasa tidak rugi harus mengurus perijinan yang ribet untuk mendaki
gunung Gede karena cukup sebanding dengan fasilitas yang didapat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar