Senin, 20 Mei 2013

Lempuyangan - Senen

Stasiun Lempuyangan

Teringat kembali perjalanan pertamaku ke Jakarta. Dengan kereta ekonomi yang masih "merakyat" waktu itu. Empat tahun yang lalu, di stasiun Lempuyangan. Kereta perlahan-lahan berjalan meninggalkan stasiun. Sebenarnya aku duduk bersama 3 temanku tapi sampai disuatu stasiun kami "diusir" oleh pemilik tempat duduk yang kami tempati. Terpaksa kami cari tempat duduk sesuai tiket. Aku dan satu temanku duduk di kursi yang sama bersama orang lain. Karena bosan, kami jalan-jalan dari gerbong ke gerbong. Dan akhirnya bertemu dengan 2 orang teman tadi kebetulan di situ masih ada tempat, ya udah duduk di situ aja sambil berharap tidak diusir lagi. Dan akhirnya setelah stasiun terakhir menaikkan penumpang, kami tidak diusir lagi.

Jam menunjukkan pukul 9 malam, kami masih asyik ngobrol diiringi suara penjaja barang dagangan. Seperti di kereta kelas ekonomi lainnya di kereta ini memang banyak orang menjajakan barang dagangan mulai dari makanan, minuman, sampai mainan anak-anak. Hampir setiap menit mereka lalu lalang menjajakan dagangannya. Memang hal itu menjadi suatu hal yang menarik bagiku karena untuk pertama kalinya aku naik kereta ekonomi jarak jauh. 

Malam mulai larut, Kereta memasuki Jawa Barat. Kereta yang tadinya ramai oleh canda dan obrolan penumpang mulai sepi. Banyak yang sudah terlelap begitu juga dengan ketiga temanku. Mereka sudah berada di alam mimpi sedangkan aku masih berada di alam nyata sambil menikmati suasana malam di Jawa Barat melalui Jendela. Sulit tidur, itulah kebiasaanku yang belum hilang jika aku berada ditempat asing (tempat selain kamarku). Kadang aku iri dengan beberapa orang yang gampang sekali tidur diberbagai tempat. Tapi anehnya kebiasaan sulit tidur ini tidak berlaku di kelas. Terutama saat siang hari waktu masuk kelasnya Pak U*** dan Pak P*******, ga tau entah pelajarannya yang susah atau penyampaian yang membosankan. Tapi yang pasti kelas adalah tempat yang bisa membuatku mudah tidur selain di kamarku.

Laju kereta semakin cepat dengan suara gemuruh dan guncangan khas kereta Indonesia. Hanya cahaya lampu dan benda di sekitarnya yang dapat kulihat malam itu. Keadaan begitu gelap, ditambah dengan daerah pinggiran rel yang jarang ada rumah. Di sekitar rel hanya terlihat dataran kosong diselingi beberapa rumah. 

Jakarta semakin dekat ditandai dengan terlihatnya gedung-gedung tinggi yang dihiasi lampu. Daerah pinggiran rel yang tadinya hanya dataran kosong kini mulai berubah menjadi daerah pemukiman kumuh. Pemukiman kumuh yang biasa kulihat di tv telah kulihat langsung dan ternyata tidak ada bedanya. Di sebuah tempat kulihat ada gedung megah yang tepat diseberangnya ada pemukiman kumuh. Keadaan masih gelap sehingga aku sulit melihat suasana di luar walaupun ada banyak lampu di daerah pemukiman.
Sekitar jam 4 pagi kereta sampai di stasiun Jatinegara (klo ga salah), rencananya kami mau ke Bogor naik kereta listrik (KRL) dari Jatinegara. Tapi setelah melihat-lihat loket ternyata tidak ada KRL jurusan Bogor, ternyata kami salah stasiun. Kebingungan mulai timbul apalagi diantara kami berempat tidak ada 1 orang pun yang tahu seluk beluk Jakarta apalagi 2 orang diantaranya termasuk aku belum pernah ke Jakarta. Lengkap sudah semua dan aku kini merasa menjadi si Bolang (Bocah ilang) yang tersesat di kota, benar-benar seperti orang "hilang" yang kebingungan. Karena bingung salah satu teman bertanya pada seorang bapak berkumis pegawai stasiun. Bapak itu mengatakan kalau KRL jurusan Bogor ada di stasiun Jakarta Kota. Dia menyarankan kami untuk numpang di kereta kelas bisnis yang sedang berhenti, lalu setelah sampai di stasiun Senen dilanjutkan naik kereta yang ada di belakangnya. Akhirnya sampai juga kami di stasiun Jakarta Kota, kamipun membeli tiket KRL yang berangkat jam 6 pagi.

Sekitar jam 6 lebih KRL tiba dari Bogor, sudah banyak orang yang menunggu kereta. Saat kereta berhenti di dalamnya telah banyak orang. Ternyata orang-orang itu mau turun ke stasiun ini. Lalu terjadilah desak-desakan, yang di dalam kereta berusaha keluar dan yang diluar berusaha masuk secepatnya agar mendapat tempat duduk. Untungnya aku mendapat tempat duduk, walaupun desak-desakan tapi yang penting bisa duduk. Dari jendela dan pintu yang terbuka aku bisa melihat suasana Jakarta. Lalu tibalah kereta di daerah pemukiman kumuh dan tepat dipinggir rel ada pasar. Dari kejauhan kulihat gedung-gedung tinggi menjulang dengan angkuhnya. 

Seperti yang pernah kulihat sebelumnya di televisi dan banyak kudengar dari cerita orang kalau di Jakarta itu selain ada banyak gedung pencakar langit ada lebih banyak lagi pemukiman kumuh. Kini aku melihat langsung kenyataan itu, kenyataan yang timbul akibat kapitalisme yang semakin mengakar kuat di Jakarta. Faham yang mengagung-agungkan materi ini telah membuat para pemilik kapital atau modal berusaha melipatgandakan kekayaannya dan menunjukkan eksistensinya dengan berlomba-lomba membangun gedung pencakar langit tanpa mempedulikan lingkungan sekitarnya yang semakin menderita akibat kemiskinan. Akibatnya bisa ditebak, gedung-gedung semakin tinggi menjulang dan "perumahan" rakyat kecil yang sudah kumuh akan bertambah padat serta menjadi lebih kumuh lagi akibat banyaknya pendatang yang tergiur akan secuil "emas" yang ditawarkan para pemilik modal. Mereka membutuhkan banyak orang yang bisa dijadikan alat untuk melipatgandakan kekayaan mereka, karena itu mereka memberi tawaran pekerjaan yang menarik bagi orang-orang dari berbagai daerah. Tapi sayangnya, lapangan pekerjaan yang ditawarkan lebih sedikit dari jumlah pendatang. Sehingga bagi yang tidak mendapat pekerjaan mereka berusaha bertahan hidup dengan berbagai cara termasuk dengan cara-cara yang tidak halal seprti misalnya dengan mencopet. 

Di KRL ekonomi yang aku tumpangi ini kata orang-orang memang banyak berkeliaran para pencopet karena itu aku mempersiapkan diri sebaik mungkin dengan mengamankan dompet ke dalam tas. Dan memang, saat desak-desakan di stasiun Jakarta Kota tadi salah seorang temanku melihat ada seseorang yang mengambil HP orang lain. Inilah realita kota Jakarta yang kulihat dan kurasakan langsung. Kota yang penuh dengan ketimpangan sosial, penuh dengan kejahatan, dan dikuasai kapitalis. Tapi siapa peduli dengan kapitalisme, toh aku juga belajar dan didik menjadi seorang kapitalis di lingkungan yang mayoritas menganut faham kapitalis disamping itu ada pula yang agamis, sosialis, hedonis, dan segala ”-is” lainnya. Sementara itu kereta melaju menuju Bogor, aku masih ada di dalammnya yang dipenuhi para penumpang, penjual, dan pencopet sambil berharap semoga tidak menjadi aktor dalam drama pencopetan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar