Sabtu, 20 Juni 2015

Sumatera Barat


Sawahlunto
Lembah Sungai Lunto masa lalu (foto koleksi museum "Goedang Ransoem"
Sawahlunto dulu hanya merupakan sebuah lembah subur yang dijadikan sawah oleh warga setempat. Lembah tersebut dibelah oleh aliran sungai Lunto. Nama Sawahlunto sendiri diambil dari kata “sawah” dan sungai “lunto”. Lembah sungai lunto yang subur itu kemudian beralih fungsi menjadi daerah pertambangan batubara setelah ditemukannya kandungan batubara oleh seorang geolog yang ditugaskan oleh pemerintah Hindia Belanda meneliti daerah itu. Sejak saat itu, Sawahlunto berkembang menjadi daerah pertambangan batubara yang modern kala itu.

Lubang Tambang Mbah Soero     
terowongan tambang "Mbah Soero"
Dibangun pada tahun 1880-an dengan mengerahkan para pekerja paksa dari luar pulau, terowongan ini menjadi salah satu titik penambangan batubara di Sawahlunto. Para pekerja paksa itu merupakan narapidana dari berbagai penjara, dan dipekerjakan dengan belenggu rantai di kaki karena itu mereka disebut juga sebagai orang rantai. Pada awal abad ke 20, pemerintah Hindia Belanda mendatangkan Soerono atau lebih dikenal sebagai mbah Soero dari Jawa untuk dijadikan mandor di sini. Ada beberapa versi cerita mengenai sosok mandor yang didatangkan dari Jawa ini. Menurut cerita, mbah Suro adalah seorang pekerja keras, tegas, dan taat beragama serta disegani karena dipercaya memiliki ilmu kebal. Namun dalam versi lain diceritakan bahwa mbah Suro seorang mandor yang kejam, sering menyiksa anak buahnya menggunakan cambuk. Entah versi mana yang benar, yang pasti mbah Suro merupakan orang yang berpengaruh dalam kegiatan pertambangan di Sawahlunto sehingga namanya diabadikan menjadi situs wisata ini.

Museum Goedang Ransoem
tungku raksasa sebagai pemasok uap panas di dapur
Museum ini dulunya merupakan dapur umum yang menyediakan makanan untuk para pekerja tambang dan pasien rumah sakit di Sawahlunto. Banyak orang dipekerjakan di dapur umum ini termasuk juga anak-anak. Bangunan dapur umum itu terbilang luas dengan alat masak raksasa. Maklum saja keterisian perut ribuan orang bergantung pada tempat ini. Untuk mendukung proses penyediaan makanan, dapur umum ini dilengkapi dengan peralatan masak paling modern di masa itu. Bahkan di awal abad 20, dapur umum ini sempat menjadi dapur umum dengan fasilitas paling modern di Indonesia.

Stasiun Kereta Api Sawahlunto
stasiun KA Sawahlunto
Stasiun Kereta Api Sawahlunto diresmikan pada 1918 oleh pemerintah Hindia Belanda. Stasiun ini terhubung dengan pelabuhan Teluk Bayur, Padang. Rute Sawahlunto – Teluk Bayur merupakan jalur terpenting saat itu karena menjadi jalur pasokan batubara dan transportasi. Saat ini Stasiun KA Sawahlunto ini dijadikan museum oleh pemda setempat. Museum ini menyimpan berbagai koleksi perlengkapan dan peralatan perkeretaapian dari masa ke masa.

Silokek
Nagari Silokek
Tersembunyi di suatu lembah yang sunyi. Diapit oleh tebing tinggi dengan aliran sungainya yang deras. Di sanalah Nagari Silokek berada. Berada tak jauh dari kota Muaro Sijunjung, Sumatera Barat, akses menuju daerah ini tidaklah sulit. Jalan aspal relatif bagus menjadi penghubung antara Muaro dengan Silokek. Hanya saja jalan itu tidaklah lebar, tak lebih dari 4 meter dengan tebing batu di satu sisi dan sungai di sisi lainnya. Pemandangan alam di sepanjang jalan menuju Silokek ini sangatlah menarik. Bukit, tebing, dan sungai terangkai menjadi lukisan alam indah yang dibingkai sunyi.


Sumpur Kudus Kampung Kecil Penyelamat Republik

tugu PDRI di nagari Sumpur Kudus
Tersembunyi dalam sunyi di belantara lembah Bukit Barisan, tak banyak orang tahu tentang nagari Sumpur Kudus. Sebuah nagari (desa) kecil yang terletak di kecamatan Sumpur Kudus, kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat. Letaknya yang terpencil dan tersembunyi mungkin jadi pertimbangan bagi para pejuang PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) untuk menjadikannya sebagai salah satu basis pemerintahan. Pada Mei 1949 Sumpur Kudus dijadikan tempat pertemuan bagi para pejabat PDRI untuk melaksanakan sidang paripurna kabinet. Sumpur Kudus merupakan bagian penting dari PDRI dalam rangka mempertahankan eksistensi Republik Indonesia di dunia internasional. Meskipun demikian, selama lebih dari setengah abad Sumpur Kudus seakan terlupakan seiring dengan pengecilan peran PDRI dalam catatan sejarah. Perjuangan PDRI sepertinya kalah pamor dibandingkan heroiknya Serangan Umum 1 Maret Yogyakarta ataupun Palagan Ambarawa. Akhirnya pada 2006 diterbitkan Keppres mengenai penetapan “Hari Bela Negara” untuk memperingati hari terbentuknya PDRI. Di waktu yang hampir bersamaan, nagari kecil di belantara lembah Bukit Barisan itu mulai dibenahi. Kini tugu sederhana di antara rerimbunan bambu menjadi penanda bahwa tempat itu pernah menjadi bagian perjuangan PDRI untuk menyelamatkan Republik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar