Sawahlunto
Lembah Sungai Lunto masa lalu (foto koleksi museum "Goedang Ransoem" |
Sawahlunto dulu hanya merupakan
sebuah lembah subur yang dijadikan sawah oleh warga setempat. Lembah tersebut
dibelah oleh aliran sungai Lunto. Nama Sawahlunto sendiri diambil dari kata
“sawah” dan sungai “lunto”. Lembah sungai lunto yang subur itu kemudian beralih
fungsi menjadi daerah pertambangan batubara setelah ditemukannya kandungan
batubara oleh seorang geolog yang ditugaskan oleh pemerintah Hindia Belanda
meneliti daerah itu. Sejak saat itu, Sawahlunto berkembang menjadi daerah
pertambangan batubara yang modern kala itu.
Lubang Tambang Mbah Soero
terowongan tambang "Mbah Soero" |
Dibangun pada tahun 1880-an
dengan mengerahkan para pekerja paksa dari luar pulau, terowongan ini menjadi
salah satu titik penambangan batubara di Sawahlunto. Para pekerja paksa itu
merupakan narapidana dari berbagai penjara, dan dipekerjakan dengan belenggu
rantai di kaki karena itu mereka disebut juga sebagai orang rantai. Pada awal
abad ke 20, pemerintah Hindia Belanda mendatangkan Soerono atau lebih dikenal
sebagai mbah Soero dari Jawa untuk dijadikan mandor di sini. Ada beberapa versi
cerita mengenai sosok mandor yang didatangkan dari Jawa ini. Menurut cerita,
mbah Suro adalah seorang pekerja keras, tegas, dan taat beragama serta disegani
karena dipercaya memiliki ilmu kebal. Namun dalam versi lain diceritakan bahwa
mbah Suro seorang mandor yang kejam, sering menyiksa anak buahnya menggunakan
cambuk. Entah versi mana yang benar, yang pasti mbah Suro merupakan orang yang
berpengaruh dalam kegiatan pertambangan di Sawahlunto sehingga namanya diabadikan
menjadi situs wisata ini.
Museum Goedang Ransoem
tungku raksasa sebagai pemasok uap panas di dapur |
Museum ini dulunya merupakan
dapur umum yang menyediakan makanan untuk para pekerja tambang dan pasien rumah
sakit di Sawahlunto. Banyak orang dipekerjakan di dapur umum ini termasuk juga
anak-anak. Bangunan dapur umum itu terbilang luas dengan alat masak raksasa.
Maklum saja keterisian perut ribuan orang bergantung pada tempat ini. Untuk
mendukung proses penyediaan makanan, dapur umum ini dilengkapi dengan peralatan
masak paling modern di masa itu. Bahkan di awal abad 20, dapur umum ini sempat
menjadi dapur umum dengan fasilitas paling modern di Indonesia.
Stasiun Kereta Api
Sawahlunto
stasiun KA Sawahlunto |
Stasiun Kereta Api Sawahlunto
diresmikan pada 1918 oleh pemerintah Hindia Belanda. Stasiun ini terhubung
dengan pelabuhan Teluk Bayur, Padang. Rute Sawahlunto – Teluk Bayur merupakan
jalur terpenting saat itu karena menjadi jalur pasokan batubara dan
transportasi. Saat ini Stasiun KA Sawahlunto ini dijadikan museum oleh pemda
setempat. Museum ini menyimpan berbagai koleksi perlengkapan dan peralatan
perkeretaapian dari masa ke masa.
Silokek
Nagari Silokek |
Tersembunyi di suatu lembah yang
sunyi. Diapit oleh tebing tinggi dengan aliran sungainya yang deras. Di sanalah
Nagari Silokek berada. Berada tak jauh dari kota Muaro Sijunjung, Sumatera
Barat, akses menuju daerah ini tidaklah sulit. Jalan aspal relatif bagus
menjadi penghubung antara Muaro dengan Silokek. Hanya saja jalan itu tidaklah
lebar, tak lebih dari 4 meter dengan tebing batu di satu sisi dan sungai di
sisi lainnya. Pemandangan alam di sepanjang jalan menuju Silokek ini sangatlah
menarik. Bukit, tebing, dan sungai terangkai menjadi lukisan alam indah yang dibingkai
sunyi.
Sumpur Kudus Kampung Kecil
Penyelamat Republik
tugu PDRI di nagari Sumpur Kudus |
Tersembunyi dalam sunyi di
belantara lembah Bukit Barisan, tak banyak orang tahu tentang nagari Sumpur
Kudus. Sebuah nagari (desa) kecil yang terletak di kecamatan Sumpur Kudus,
kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat. Letaknya yang terpencil dan tersembunyi
mungkin jadi pertimbangan bagi para pejuang PDRI (Pemerintah Darurat Republik
Indonesia) untuk menjadikannya sebagai salah satu basis pemerintahan. Pada Mei
1949 Sumpur Kudus dijadikan tempat pertemuan bagi para pejabat PDRI untuk
melaksanakan sidang paripurna kabinet. Sumpur Kudus merupakan bagian penting
dari PDRI dalam rangka mempertahankan eksistensi Republik Indonesia di dunia
internasional. Meskipun demikian, selama lebih dari setengah abad Sumpur Kudus
seakan terlupakan seiring dengan pengecilan peran PDRI dalam catatan sejarah.
Perjuangan PDRI sepertinya kalah pamor dibandingkan heroiknya Serangan Umum 1
Maret Yogyakarta ataupun Palagan Ambarawa. Akhirnya pada 2006 diterbitkan
Keppres mengenai penetapan “Hari Bela Negara” untuk memperingati hari
terbentuknya PDRI. Di waktu yang hampir bersamaan, nagari kecil di belantara
lembah Bukit Barisan itu mulai dibenahi. Kini tugu sederhana di antara
rerimbunan bambu menjadi penanda bahwa tempat itu pernah menjadi bagian
perjuangan PDRI untuk menyelamatkan Republik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar