pemukiman di Sawahlunto |
Sawahlunto, pertama kali
mendengarnya saat saya SD sekitar kelas 4 (akhir tahun 90an). Dalam buku IPS
yang juga disampaikan oleh guru, Sawahlunto yang terletak di Sumatera Barat
merupakan salah satu situs tambang batubara di Indonesia. Terletak 95 km
sebelah timur laut kota Padang, Sawahlunto dulu hanya merupakan sebuah lembah
subur yang dijadikan sawah oleh warga setempat. Lembah tersebut dibelah oleh
aliran sungai Lunto. Nama Sawahlunto sendiri diambil dari kata “sawah” dan
sungai “Lunto”. Lembah sungai Lunto yang subur itu kemudian beralih fungsi
menjadi daerah pertambangan batubara.
Lembah Sungai Lunto masa lalu (foto koleksi museum Goedang Ransum) |
Willem Hendrik De Greve, seorang
ahli geologi yang ditunjuk oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menyelidiki
keberedaan batubara di Sawahlunto. Pada tahun 1868, dia menemukan kandungan
batubara di sungai Ombilin. Setelah diketahui kandungan sumber daya alam dan
potensi ekonominya, pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk melanjutkan
eksplorasi. Pada akhirnya dimulai pula pembangunan infrastruktur tambang dan
pendukungnya di Sawahlunto. Pembangunan infrastruktur tersebut dilakukan pada
tahun 1883 hingga 1894. Aktivitas pertambangan sendiri sudah dimulai sejak
tahun 1892 dengan produksi batubara sebanyak 48.000 ton Eksploitasi batubara
terus berlanjut hingga berakhir pada 2004. Sejak saat itu semua fasilitas
pertambangan tidak difungsikan lagi sebagaimana mestinya. Namun beberapa tahun
lalu pemda setempat berinisiatif menjadikan Sawahlunto menjadi kota wisata
tambang dengan tata ruang dan bangunan khas kolonial dengan mengusung slogan
“Kota Wisata Tambang yang Berbudaya”.
suatu sudut jalan kota Sawahlunto |
Pusat kota Sawahlunto yang
terletak di lembah sungai Lunto relatif kecil namun masih banyak ditemukan
bangunan tua peninggalan Belanda beserta tata ruangnya. Pasar, Gereja St.
Barbara, dan Gedung Societeit adalah sebagian dari bangunan tua yang masih lestari
hingga sekarang. Namun yang khas di Sawahlunto adalah beberapa bangunan yang
ada kaitannya dengan tambang batu bara. Beberapa bangunan bekas kegiatan
pertambangan menjadi saksi bisu kejayaan tambang Sawahlunto selama lebih dari
seabad.
Lubang Tambang Mbah Suro,
merupakan salah satu situs tambang batubara yang sejak tahun 2007 dibuka untuk
umum sebagai tempat wisata. Nama Mbah Suro sendiri diambil dari nama seorang
mandor bernama Soerono yang ditugaskan pemerintah Hindia Belanda pada awal abad
20 untuk mengawasi kegiatan pertambangan. Ada beberapa versi cerita mengenai
sosok mandor yang didatangkan dari Jawa ini. Menurut cerita, mbah Suro adalah
seorang pekerja keras, tegas, dan taat beragama serta disegani karena dipercaya
memiliki ilmu kebal. Namun dalam versi lain diceritakan bahwa mbah Suro seorang
mandor yang kejam, sering menyiksa anak buahnya menggunakan cambuk. Entah versi
mana yang benar, yang pasti mbah Suro merupakan orang yang berpengaruh dalam
kegiatan pertambangan di Sawahlunto sehingga namanya diabadikan menjadi situs
wisata ini.
Terowongan tambang ini dibuka
pemerintah Hindia Belanda pada 1898. Pembuatan terowongan ini mengerahkan
pekerja paksa yang berasal dari berbagai penjara seperti Jawa, Sulawesi, Medan,
dan Padang. Pekerja paksa yang berasal dari luar Sumbar, diangkut menggunakan
kapal menuju pelabuhan Teluk Bayur kemudian dilanjutkan perjalanan menggunakan
kereta api menuju Sawahlunto. Jalur rel kereta dari Sawahlunto ke pelabuhan
Teluk Bayur telah ada sejak tahun 1894 yang digunakan untuk mengangkut hasil
tambang batubara sekaligus alat transportasi. Sebagai fasilitas pendukung,
stasiun kereta api Sawahlunto dengan fasilitas memadai baru dibangun pada 1918.
Kini stasiun kereta api tersebut dijadikan sebagai museum kereta api.
stasiun kereta api Sawahlunto |
Di Sawahlunto inilah para
narapidana tersebut dipekerjakan untuk membuat terowongan tambang. Pekerja
paksa ini dikenal juga dengan sebutan orang rantai karena dalam kegiatan
penambangannya kaki mereka dirantai. Siksaan berupa cambukan seringkali mereka
terima dari mandor, makanan yang diberikanpun terbatas, karena itu banyak orang
rantai yang meninggal selama berlangsungnya kerja paksa itu.
Untuk memasok kebutuhan makanan
pekerja tambang, dibuatlah dapur umum yang dibangun pada 1918. Dapur umum itu
juga bertanggungjawab pada
ketersediaan makanan pasien rumah sakit di Sawahlunto. Dapur umum tersebut kini
telah berubah fungsi menjadi Museum Goedang Ransum. Banyak orang dipekerjakan
di dapur umum ini termasuk juga anak-anak. Bangunan dapur umum itu terbilang
luas dengan alat masak raksasa. Maklum saja keterisian perut ribuan orang
bergantung pada tempat ini. Untuk mendukung proses penyediaan makanan, dapur
umum ini dilengkapi dengan peralatan masak paling modern di masa itu. Bahkan di
awal abad 20, perlengkapan dapur modern di Sawahlunto menjadi yang pertama ada
di Indonesia.
tungku raksasa pemasok uap panas untuk memasak di dapur |
Sebelum masuk ke terowongan,
pengunjung disarankan untuk memakai perlengkapan keamanan yang telah disediakan
pihak pengelola. Helm dan sepatu tambang tersedia di ruang khusus, selain itu
disediakan pula loker tempat menyimpan barang-barang pengunjung. Setelah
perlengkapan dikenakan, seorang pemandu siap mengantar masuk ke terowongan
tambang. Puluhan anak tangga mengantarkan pengunjung menuju ke dalam perut
bumi. Lampu-lampu sudah dipasang untuk menerangi terowongan. Hanya sampai
kedalaman sekitar 18 meter saja, karena di bawah lagi masih dipenuhi air.
Sebelum dibuka, air menggenang hingga pintu masuk terowongan. Rembesan air yang
berasal dari sungai Lunto ini memang menjadi alasan terowongan tambang ini
ditutup pada tahun 1920-an dan baru dibuka lagi pada 2007 untuk tujuan wisata.
terowongan tambang "Mbah Soero" |
Perjalanan kemudian dilanjutkan
menyusuri terowongan. Sebagian jalan sudah dipasang paving blok, namun dinding
yang berbentuk setengah lingkaran masih asli berupa batu bata dan sebagian lagi
dinding alami berupa lapisan batubara. Selang besar berdiameter 50 cm
diletakkan di sepanjang terowongan untuk memasok udara segar ke dalam. Tak
sampai satu kilometer, perjalanan mentok sampai ujung terowongan yang ditutup
dengan beton. Sebenarnya di balik beton itu ada terowongan lagi yang
menghubungkan langsung menuju bangunan pembangkit listrik tenaga uap yang kini
berubah fungsi menjadi Masjid Agung Sawahlunto. Rencananya beberapa tahun
terowongan menuju masjid itu akan dibuka untuk wisata, jika ada dana.
Kini Sawahlunto telah menjelma
menjadi kota wisata tambang. Industri pariwisata yang dikembangkan oleh pemerintah
setempat membuat warga menjadikannya sebagai salah satu sumber mata pencaharian
utama. Beberapa kios souvenir berderet di sekitar lokasi museum. Meskipun demikian,
sebagai tempat wisata Sawahlunto masih terbilang sepi. Kota itu kalah populer
dibandingkan dengan Padang atau Bukittinggi. Jarak 100 km, 2 – 3 jam perjalanan
dari kota Padang bisa jadi membuat wisatawan dari luar kota berpikir panjang
untuk mejadikan Sawahlunto sebagai destinasi utama. Meskipun sebenarnya Sawahlunto
memiliki keunikan yang sulit ditemukan di destinasi wisata lainnya di Sumatera
Barat atau bahkan di Indonesia. Diperlukan promosi yang gencar untuk
meningkatkan kunjungan wisatawan dan menjadikan Sawahlunto sebagai salah satu
ikon wisata di Sumatera Barat.
Sawahlunto, sebuah kota tua dengan beragam cerita. Cerita
tentang batubara yang pernah jaya. Cerita tentang penderitaan para pekerja
paksa dan hasil karya mereka. Cerita yang terangkai dalam beberapa museum dan
bangunan tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar