Rabu, 19 Agustus 2015

Selamat Pagi Sumba



matahari pagi pulau Sumba
Seuntai senyum menghiasi wajah manis gadis berseragam merah putih diikuti dengan suara terlontar dari mulutnya. “Selamat Pagi!”, sambil berjalan dia menyapa kami yang naik motor berlawanan arah dengan tujuannya. Gadis itu sedang dalam perjalanan menuju sekolahnya, SD-SMP Satu Atap Waitama yang masih satu kilometer perjalanan lagi. Perjalanan yang cukup melelahkan di jalan yang membelah padang sabana harus dia tempuh untuk sekolah. Meski kelelahan, bukan keluhan yang dia tunjukkan melainkan sapaan hangat dan bersahabat.

 




jalan di tengah padang sabana
Salam dan sapaan yang sama kami terima ketika berada di sekolah. Anak-anak yang baru menempuh perjalanan panjang dari rumah menyapa kami dengan ceria tanpa menunjukkan raut muka kelelahan. Dua jam perjalanan adalah jarak tempuh yang sudah biasa dilalui beberapa anak menuju ke sekolahnya. Seperti yang dilalui serombongan anak dari kampung Paddi yang bersekolah di SD-SMP Satu Atap Waitama. Dua bukit, dua lembah, dan dua jam perjalanan harus mereka tempuh dalam sekali jalan. Sembilan tahun mereka harus melalui rute tersebut untuk mendapatkan hak atas pendidikan dasar.
kumpulan rumah menara di balik bukit, itulah kampung Paddi
Tak ada pilihan lain bagi mereka, tak ada sekolah lain yang lebih dekat. Jauhnya jarak sekolah bukanlah disebabkan karena minimnya ketersediaan gedung sekolah, namun karena jarak antar kampung yang berjauhan. Di Sumba, jarak antar kampung bisa mencapai beberapa bukit. Sementara satu kampung penduduknya relatif sedikit, bahkan ada kampung yang hanya dihuni beberapa KK saja. Dengan demikian, hampir tidak mungkin membangun sekolah di tiap kampung mengingat sangat sedikitnya penduduk dalam satu kampung.

Bukanlah hal mudah menentukan tempat untuk mendirikan gedung sekolah di Sumba, seperti di kecamatan Nggaha Ori Angu, Sumba Timur ini. Jarak sekolah dengan beberapa kampung “pemasok” calon siswa harus diperhitungkan dengan seksama agar sebisa mungkin tercapai titik tengahnya. Jika sekolah didirikan di suatu kampung seringkali muncul protes dari kampung lain, untuk itu perlu kesepakatan antar warga beberapa kampung untuk menentukan letak sekolah. Tak jarang, sekolah ditempatkan di area kosong yang jauh dari pemukiman seperti gedung sekolah SD Inpres Maradadita. Sekolah tersebut berdiri di sebuah bukit kecil dengan tak lebih dari lima rumah di sekitarnya. Kampung terdekat dari sekolah berjarak seperempat jam menggunakan motor melalui jalan setapak di tengah padang sabana.

Jauhnya jarak ke sekolah seringkali memunculkan keluhan dari orangtua siswa. Pengadaan asrama menjadi harapan mereka agar anak-anaknya tidak harus menempuh perjalanan jauh setiap hari. Lamanya waktu tempuh akan menjadi masalah besar saat berlangsungnya ujian. Karena itu para guru di SD-SMP Satap Waitama berinisiatif mengkarantina siswanya yang akan menghadapi Ujian Nasional. Beberapa bulan sebelum ujian, para siswa diinapkan di rumah dinas guru sampai ujian berakhir. Dengan cara itulah para siswa bisa dipastikan tak akan terlambat masuk ujian, dan mereka dapat lebih berkonsentrasi dalam menghadapi ujian.
jalan pulang anak-anak kampung Paddi
Sementara itu, jam pelajaran terakhir sudah hampir berakhir. Anak-anak sudah tak sabar lagi untuk mengakhirinya. Akhirnya penantian mereka berakhir sudah, Ibu Guru memberikan aba-aba untuk memulai doa. Selepas itu, mereka berhamburan keluar, terpencar sesuai arah rumah masing-masing. Kebanyakan mereka pulang secara berkelompok, termasuk juga anak-anak dari kampung Paddi. Sesekali gelak tawa terdengar dari mereka yang mulai menjauh melalui rumah dinas guru dan kemudian mendaki di bukit belakang sekolah lalu menghilang setelah sampai di ujung bukit itu. Perjalanan panjang untuk pulang kembali harus mereka lalui. 

Sumber Foto: Tim M 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar