matahari pagi pulau Sumba |
Seuntai senyum menghiasi wajah
manis gadis berseragam merah putih diikuti dengan suara terlontar dari
mulutnya. “Selamat Pagi!”, sambil berjalan dia menyapa kami yang naik motor
berlawanan arah dengan tujuannya. Gadis itu sedang dalam perjalanan menuju
sekolahnya, SD-SMP Satu Atap Waitama yang masih satu kilometer perjalanan lagi.
Perjalanan yang cukup melelahkan di jalan yang membelah padang sabana harus dia
tempuh untuk sekolah. Meski kelelahan, bukan keluhan yang dia tunjukkan
melainkan sapaan hangat dan bersahabat.
jalan di tengah padang sabana |
Salam dan sapaan yang sama kami
terima ketika berada di sekolah. Anak-anak yang baru menempuh perjalanan
panjang dari rumah menyapa kami dengan ceria tanpa menunjukkan raut muka
kelelahan. Dua jam perjalanan adalah jarak tempuh yang sudah biasa dilalui
beberapa anak menuju ke sekolahnya. Seperti yang dilalui serombongan anak dari
kampung Paddi yang bersekolah di SD-SMP Satu Atap Waitama. Dua bukit, dua
lembah, dan dua jam perjalanan harus mereka tempuh dalam sekali jalan. Sembilan
tahun mereka harus melalui rute tersebut untuk mendapatkan hak atas pendidikan
dasar.
kumpulan rumah menara di balik bukit, itulah kampung Paddi |
Tak ada pilihan lain bagi mereka,
tak ada sekolah lain yang lebih dekat. Jauhnya jarak sekolah bukanlah
disebabkan karena minimnya ketersediaan gedung sekolah, namun karena jarak
antar kampung yang berjauhan. Di Sumba, jarak antar kampung bisa mencapai beberapa
bukit. Sementara satu kampung penduduknya relatif sedikit, bahkan ada kampung
yang hanya dihuni beberapa KK saja. Dengan demikian, hampir tidak mungkin
membangun sekolah di tiap kampung mengingat sangat sedikitnya penduduk dalam
satu kampung.
Bukanlah hal mudah menentukan
tempat untuk mendirikan gedung sekolah di Sumba, seperti di kecamatan Nggaha
Ori Angu, Sumba Timur ini. Jarak sekolah dengan beberapa kampung “pemasok”
calon siswa harus diperhitungkan dengan seksama agar sebisa mungkin tercapai
titik tengahnya. Jika sekolah didirikan di suatu kampung seringkali muncul
protes dari kampung lain, untuk itu perlu kesepakatan antar warga beberapa
kampung untuk menentukan letak sekolah. Tak jarang, sekolah ditempatkan di area
kosong yang jauh dari pemukiman seperti gedung sekolah SD Inpres Maradadita.
Sekolah tersebut berdiri di sebuah bukit kecil dengan tak lebih dari lima rumah
di sekitarnya. Kampung terdekat dari sekolah berjarak seperempat jam
menggunakan motor melalui jalan setapak di tengah padang sabana.
Jauhnya jarak ke sekolah
seringkali memunculkan keluhan dari orangtua siswa. Pengadaan asrama menjadi
harapan mereka agar anak-anaknya tidak harus menempuh perjalanan jauh setiap
hari. Lamanya waktu tempuh akan menjadi masalah besar saat berlangsungnya
ujian. Karena itu para guru di SD-SMP Satap Waitama berinisiatif mengkarantina
siswanya yang akan menghadapi Ujian Nasional. Beberapa bulan sebelum ujian,
para siswa diinapkan di rumah dinas guru sampai ujian berakhir. Dengan cara
itulah para siswa bisa dipastikan tak akan terlambat masuk ujian, dan mereka
dapat lebih berkonsentrasi dalam menghadapi ujian.
jalan pulang anak-anak kampung Paddi |
Sementara itu, jam pelajaran terakhir sudah hampir
berakhir. Anak-anak sudah tak sabar lagi untuk mengakhirinya. Akhirnya
penantian mereka berakhir sudah, Ibu Guru memberikan aba-aba untuk memulai doa.
Selepas itu, mereka berhamburan keluar, terpencar sesuai arah rumah
masing-masing. Kebanyakan mereka pulang secara berkelompok, termasuk juga
anak-anak dari kampung Paddi. Sesekali gelak tawa terdengar dari mereka yang mulai
menjauh melalui rumah dinas guru dan kemudian mendaki di bukit belakang sekolah
lalu menghilang setelah sampai di ujung bukit itu. Perjalanan panjang untuk pulang
kembali harus mereka lalui.
Sumber Foto: Tim M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar