Rabu, 17 Juni 2015

Cerita dari Tanah Gayo (2): “Kami Orang Gayo, Bukan Orang Aceh”



perkampungan di Bener Meriah
Kopi dan Gayo, perpaduan keduanya menciptakan komoditas unggulan yang dikenal hingga mancanegara. Para penikmat kopi mengakui kopi Gayo menjadi salah satu kopi terbaik di dunia. Dataran tinggi, tanah subur, Burni Telong, dan penduduknya yang ulet menciptakan salah satu jenis kopi terbaik di dunia. Selain di dataran tinggi Gayo, di dataran rendah Aceh bagian utara juga ada perkebunan kopi. Banyak orang lebih mengenal kopi Aceh daripada kopi Gayo, toh Gayo juga masuk daerah Aceh juga. Namun jika dilihat dari sejarahnya, Aceh dan Gayo adalah sesuatu yang berbeda.


“Kami orang Gayo bukan orang Aceh, jadi Gayo dan Aceh itu beda” ujar salah seorang warga kabupaten Bener Meriah di tengah obrolan kami. Menurutnya, orang Gayo adalah masyarakat pertama yang mendiami daerah ujung utara pulau Sumatera. Dalam perkembangannya beberapa kelompok diantara mereka hijrah ke selatan sampai daerah danau Toba dan kini dikenal sebagai orang Karo. Jadi orang Batak terutama Batak Karo masih memiliki hubungan kekerabatan dengan orang Gayo. Secara fisik, sekilas dapat dilihat persamaan antara orang Gayo dengan orang Karo diantaranya ada pada rahangnya yang terlihat tegas.

Orang Aceh, merupakan kelompok yang datang di kemudian hari dan mendiami daerah pantai. Secara budaya, bahasa, dan fisik orang Aceh berbeda dengan orang Gayo. Secara politik pun Aceh dan Gayo berbeda. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi konflik beberapa tahun silam. Orang Gayo cenderung tidak setuju dengan gerakan separatis yang ingin memisahkan dari NKRI. Menurut seorang warga Gayo lain, gerakan separatis berasal dari daerah Aceh dan kemudian menyusup ke daerah pegunungan Gayo.
tanda merah putih di salah satu rumah warga
Tanda Merah Putih yang tertempel di depan rumah menunjukkan bahwa mereka pro NKRI dan tidak setuju dengan adanya gerakan separatis. Tanda tersebut biasanya terbuat dari tripleks yang dicat warna merah dan putih kemudian ditempel di atas pintu. Tanda Merah Putih tersebut juga menjadi penanda keberpihakan mereka semasa konflik dulu. Meski konflik sudah berakhir sejak satu dasawarsa yang lalu, namun masih banyak rumah di Bener Meriah yang memasang tanda Merah Putih. Ada beragam alasan bagi mereka masih memasang tanda tersebut. Bisa jadi mereka malas mencopot tanda yang sudah lama terpasang itu atau tanda tersebut dijadikan simbol nasionalisme dan kesetiaan mereka terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar