Rabu, 19 Agustus 2015

Kisah Para Guru yang Mengabdi di Pelosok Negeri: Mengabdi dengan Hati (Manggarai, NTT)

Pak Gabriel (paling belakang), mengantar kami kembali ke kampung Heret
Seorang pria paruh baya menyambut dengan ramah sesaat setelah kami berada di depan pintu rumahnya sambil mengucap salam. Beliau segera mempersilahkan kami masuk ke rumahnya tanpa curiga sedikitpun terhadap kedatangan ketiga orang asing ini. Di dalam rumahnya, kami menyampaikan maksud dan tujuan datang ke kampung itu. Pak Gabriel, yang juga seorang guru di SDN Heret itu langsung bersedia membantu penelitian kami di sekolahnya.


Di rumah seluas sekitar 30m2, beliau tinggal bersama istri dan dua anaknya. Rumah sederhana, berdinding bambu, dan berlantai tanah itu menjadi tempat istirahat sementara setelah perjalanan panjang dan melelahkan selama hampir 5 jam. Jalan kaki adalah satu-satunya cara untuk sampai di kampung Heret saat itu, tidak ada ojek yang berani mengantar sampai sana. Medan terjal berbatu, ditambah adanya semak liar yang mempersempit jalur makin memperparah jalan yang menghubungkan antar desa di Kecamatan Lamba Leda, Manggarai Timur. Beruntung kami dapat bantuan dari beberapa warga yang bersedia menjadi porter dan mengantar kami sampai ke Heret. Syukurlah, kabarnya kini jalan tersebut sudah diperbaiki dan bisa dilewati motor.

Kopi dan beberapa potong kue segera terhidang di meja menjadi pelengkap obrolan kami. Keramahan orang Manggarai memberikan kenyamanan bagi kami yang baru pertama datang ke sana. Tidak hanya hidangan istimewa yang diberikan, namun beliau juga bersedia membantu kami dalam melakukan penelitian di sekolahnya dan sekolah di kampung sebelah. Meski mendadak, beliau bersedia menyiapkan segala sesuatu kebutuhan kami termasuk “pemandu” untuk menuju sekolah di kampung sebelah.

Usai mengantar kami sehari semalam di kampung sebelah, beliau menawarkan untuk menginap di rumahnya. Di sana, kami diperlakukan seperti saudara sendiri. Keramahannya dan warga di sekitar rumah membuat kami dapat dengan mudah terlibat obrolan yang menyenangkan. Dari obrolan itu diketahui bahwa ternyata Pak Gabriel dulunya bekerja sebagai seorang pemandu wisata di Bali. Saat itu, hidupnya begitu berkecukupan dengan pekerjaan yang menjanjikan. Di sana pula dia bertemu dengan istrinya dan menikah serta memiliki dua orang anak. Sampai suatu ketika karena ada suatu hal mereka harus kembali ke kampung halaman Pak Gabriel. Beliau dan keluarga rela meninggalkan kemapanan di rantau untuk kembali pulang ke kampung. Tidak mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan kampung, terutama bagi anak-anak dan istrinya yang merupakan orang Bima. Namun perlahan mereka bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan yang sangat sederhana di kampung Heret. Bahkan sang istri juga ikut mengajar di SDN Heret sebagai guru honorer.

Di sekolah kecil berukuran 25 m X 4m beliau beserta beberapa orang guru mendidik sekitar 70 siswa. Gedung sekolah itu terbagi menjadi tiga ruang utama dan kemudian masih dibagi lagi dengan sekat triplek menjadi enam kelas. Saat berkunjung ke sana pada 2013, dinding bangunan tersusun dari batako dan beratap seng. Sudah jauh lebih layak daripada beberapa tahun lalu, di mana saat itu bangunan sekolah hanyalah tersusun dari papan kayu dan bambu dengan atap seadanya sehingga sering bocor. “Seperti kandang kambing kan”, kata Pak Gabriel sambil menunjukkan foto gedung sekolah sebelum direnovasi yang dipajang dinding rumahnya. Beliau memang menjadi salah satu pendiri sekolah yang mulai dioperasikan pada tahun 2007 itu. Meski demikian, sampai saat ini (2013) beliau masih berstatus sebagai guru honorer meski sudah mengabdi sejak sekolah didirikan.      

Di rumahnya, hidangan istimewa berupa nasi merah sering disajikan kepada kami. Nasi yang disajikan terasa jauh lebih nikmat dari nasi merah yang pernah saya makan di Jawa. Selama berada di rumah itu kami memang diperlakukan seperti keluarga sendiri. Bahkan saat malam tiba, kami diberi “keistimewaan” untuk tidur di dua dipan milik mereka. Kedua anak mereka harus rela tidur di rumah saudaranya yang lain akibat dipan yang biasa dipakainya harus dipinjamkan ke kami.

Pak guru Gabriel, seorang guru berdedikasi yang rela menjalani hidup sederhana untuk mendidik anak di kampungnya. Pak guru yang juga seorang warga Manggarai yang begitu ramah dalam menyambut tamunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar