Rabu, 19 Agustus 2015

Sekolah di Atas Awan, Sunrise yang Manis dari Halaman Belakang Sekolah

pantulan matahari terbit dari jendela SDN Heret
“Bangunan sekolah jelek, mirip kandang kambing kan?”, cerita singkat dari Pak Gabriel sambil menunjukkan foto SDN Heret di awal pembukaannya. Cerita yang diakhiri dengan pertanyaan yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban. Bangunan berdinding bambu dan kayu serta beratapkan ilalang, sekilas mirip kandang kambing. Kumuh dan tak layak pakai adalah kesan pertama melihat gambar “kandang kambing” yang dijadikan tempat belajar anak-anak. Gambar yang diambil sekitar enam tahun yang lalu pada awal beroperasinya SD Heret terpajang di dinding bambu rumah Pak Gabriel.

 


kampung Heret
Pak Gabriel adalah salah seorang guru yang mengajar di SDN Heret. Di rumah sederhana ini, dia tinggal bersama dua orang anak dan istrinya yang juga merupakan guru di SDN Heret. Meskipun telah mengajar sejak awal sekolah berdiri, namun sampai saai ini dia masih berstatus sebagai guru honorer begitu juga dengan istrinya. Bersama beberapa orang guru lain, mereka mengajar puluhan murid SDN Heret. Pria yang dulunya bekerja sebagai pemandu wisata di Bali ini mengampu mata pelajaran Bahasa Inggris di samping guru kelas tentunya.
sekolah di atas bukit, SDN Heret
Susunan batako yang membentuk ruang persegi panjang 25m X 4m, beratapkan seng dan berlantai semen. Bangunan sekolah tersebut terbagi dalam 6 ruang kelas dan sebuah ruang guru. Antar ruang kelas diberi sekat dinding dari jalinan batang bambu dengan luas masing-masing 2m X 4m. Setiap ruang kelas diisi beberapa meja kursi dari kayu yang sudah reyot, dan sebuah papan tulis kapur. Jumlah meja kursi disesuaikan dengan jumlah siswa per kelas. SD Negeri Heret, namanya saja yang negeri namun masih terlalu sederhana sebagai sekolah milik negara. Tapi bagaimanapun juga, yang patut disyukuri adalah bangunan yang dulu serupa kandang kambing kini telah menyerupai sekolah.

Pada Tahun Ajaran 2013/2014, jumlah murid SDN Heret sekitar 70an siswa. Jumlah yang relatif sedikit mengingat hanya kampung dari Heret lah kebanyakan murid berasal. Letak sekolah berada di bukit, terpisah dari pemukiman. 500 meter adalah jarak rata-rata yang ditempuh anak-anak kampung Heret untuk ke sekolah. Bagi mereka jarak setengah kilometer tak jadi soal karena tiap hari mereka sudah terbiasa menempuh jarak dua hingga empat kali lipat untuk mengambil air. Beberapa kelas bisa diisi hingga belasan siswa. Mereka harus duduk berdesakan di ruangan sempit yang hanya dibatasi sekat bambu setinggi 1,5 meter. Bisa dibayangkan, suara antar ruang bercampur menimbulkan keriuhan. Namun apa daya, tak ada yang bisa mereka lakukan selain menerima begitu saja. Asal ada tempat permanen untuk belajar meski dengan fasilitas seadanya.
ruang kelas SDN Heret
Meskipun terbilang sederhana, SDN Heret memiliki kemewahan yang tak semua sekolah punya. Tanah tempat sekolah berdiri ini dulunya berupa sebuah bukit yang cukup tinggi. Namun banyaknya warga yang memanfaatkan bebatuan bukit untuk berbagai keperluan, menjadikan puncak bukit itu hilang dan menyisakan dataran di belakang sekolah. Halaman belakang sekolah cukup luas dengan beberapa cekungan batu yang terisi air hujan yang seringkali dimanfaatkan warga untuk kegiatan MCK. Di ujung halaman berbatasan langsung dengan lerengan tebing yang curam yang berakhir di dasar lembah. Jauh di seberang terhampar perbukitan hijau yang luas. Menariknya lagi, pemandangan matahari terbit bisa dilihat dengan jelas dari sini. Berada di ketinggian, tanpa terhalang apapun matahari dapat terlihat muncul di balik horizon.

Tak sia-sia rupanya berjalan ke sekolah dalam keremangan fajar. Sepi, warga kampung masih terlelap dalam gelap. Pancaran cahaya pelita terlihat menembus celah dinding anyaman bambu beberapa rumah. Hanya cahaya purnama yang menerangi kampung ini. Lolongan anjing terdengar bersahutan memecah kesunyian tatkala saya tiba di halaman belakang sekolah. Ternyata sekawanan anjing kampung sudah tiba lebih dulu di sana. Mereka menyalak garang saat melihat sesosok manusia tak dikenal yang datang. Tak mendapat respon, mereka pun lelah juga dan meninggalkan saya sendiri. Langit kala itu cukup cerah meski ada sedikit awan menggantung di ujung horizon. Gradasi biru kemerahan mewarnai kaki langit. Matahari perlahan muncul memancarkan sinarnya, menerangi bumi Manggarai. Tak perlu pergi jauh untuk naik-naik ke puncak gunung. Cukup pergi ke halaman belakang sekolah, sudah bisa menikmati keindahan bumi dari ketinggian dengan bonus sunrise yang manis.
matahari terbit dari halaman belakang sekolah

SDN Heret, sebuah sekolah sederhana dengan lanskap istimewa. Terletak jauh di pedalaman belantara Manggarai Timur, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Tempat yang hanya bisa dijangkau dengan kaki dan kendaraan tertentu (yang dikendarai orang nekat dan berpengalaman). Dibutuhkan waktu setengah hari berjalan kaki dari jalan aspal lintas kabupaten. Namun kabarnya sejak beberapa waktu yang lalu jalan menuju kampung Heret sudah diperbaiki kembali sehingga dapat dilewati motor dan kendaraan bergardan ganda dengan relatif aman. Semoga saja dengan terbukanya akses menuju kampung Heret, terbuka pula peluang perbaikan fasilitas dasar seperti pendidikan dan ketersediaan air. Dan pada akhirnya sekolah di atas awan itu bisa menjadi tempat belajar yang memadai bagi anak-anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar