Senin, 09 Februari 2015

Kelana Indonesia

Mengenal lebih dekat Indonesia melalui keindahan alamnya yang mempesona


INDEKS ARTIKEL:






Manusia Indonesia



Mengenal lebih dekat manusia Indonesia apa adanya. 














Senin, 02 Februari 2015

Berburu Nyale, Mengharap Berkah dari Cacing Laut yang Bertuah

berburu nyale

Makhluk hijau itu tampak menggeliat di tangan saya. Bau amis tercium tatkala hewan itu saya dekatkan ke hidung. Sempat ragu, namun saya beranikan untuk memasukkan cacing laut sepanjang 25cm itu ke dalam mulut saya. Terasa lumer di mulut saat saya mencoba melumatnya, rasa asin dan aroma amis muncul seketika. Sangat aneh rasanya, tetapi akhirnya saya berhasil menelan tanpa harus memuntahkannya. Hal yang sama juga dilakukan beberapa kawan dan juga sejumlah orang lainnya di pantai Seger pagi itu. Kami semua sama-sama sedang berburu cacing laut atau biasa disebut nyale.

Nyale adalah sejenis cacing laut yang dapat ditemui di wilayah Nusa Tenggara. Uniknya nyale hanya muncul setahun sekali. Menurut salah seorang warga, tahun ini nyale muncul pada dini hari tanggal 20 Februari dan 21 Maret lalu. Belum diketahui secara pasti sebabnya, namun banyak warga percaya bahwa nyale adalah jelmaan dari rambut seorang putri yang sengaja muncul setiap tahunnya. Konon, pada jaman dulu ada seorang putri cantik di daratan Lombok yang coba dipersunting empat pangeran. Singkat cerita, sang putri akhirnya menceburkan diri ke laut untuk menghindari terjadinya peperangan antara keempat pangeran. Dengan menceburkan dirinya ke laut, jasadnya akan menjadi satu dengan laut. Pengorbanan sang putri tidaklah sia-sia karena setiap tahunnya, nyale selalu muncul dan dapat dinikmati oleh semua orang. Karena itu, warga sangat percaya akan khasiat nyale.

Putri Mandalika, begitulah masyarakat Sasak menamai sang putri. Untuk merayakan munculnya nyale, setiap tahun digelar festival bau nyale yang dipusatkan di Pantai Seger. Untuk tahun ini acara utama Bau Nyale digelar pada tanggal 19-20 Februari. Sejak beberapa tahun lalu pemerintah daerah menjadikan acara yang sering juga disebut Festival Putri Mandalika ini sebagai agenda wisata utama. Promosi digencarkan baik melalui spanduk yang dipasang di beberapa lokasi sampai di situs internet. Area Pantai Seger disulap layaknya pasar malam. Tidak tanggung-tanggung, pemda setempat mengundang beberapa artis ibu kota untuk tampil di panggung hiburan yang terletak di kaki bukit.

1400477419370855672
panggung hiburan, pusat kemeriahan festival Putri Mandalika

Sebenarnya festival serupa juga diadakan di Kaliantan, Lombok Timur. Namun dikarenakan fasilitas di sana yang belum memadai, pemerintah memilih Pantai Seger sebagai pusat perayaan Bau Nyale. Pantai Seger masih satu kompleks dengan pantai Kuta Lombok yang sudah memiliki fasilitas wisata lengkap dan sudah dikenal sampai mancanegara. Jadi, para turis asing pun juga turut meramaikan festival ini di samping wisatawan lokal dan para warga sekitar yang sudah menjadikan acara ini sebagai ritual tahunan.

Dibutuhkan usaha keras dan kesabaran ekstra untuk memasuki area festival Bau Nyale. Ribuan orang tumpah ruah di Pantai Seger untuk mengikuti acara tahunan ini. Di luar, terdapat antrian kendaraan sepanjang beberapa kilometer. Menjelang tengah malam, antrian kendaraan nyaris tak bergerak. Asap kendaraan yang terakumulasi menjadikan udara sesak. Sesekali terdengar teriakan dari beberapa orang yang emosi karena kendaraan di depannya menghalangi mereka. Malam yang seharusnya sejuk berubah menjadi panas. Kami berada di tengah lautan kendaraan itu. Sialnya, semua portal tempat parkir ditutup dengan alasan sudah penuh.

1400477734602865035
tepi pantai pun dipenuhi kendaraan yang terparkir

Di tengah ketidakpastian dan keputusasaan, petugas mulai membuka portal tempat parkirnya. Saat itu juga orang-orang berebutan membeli karcis dan masuk ke area parkir. Akhirnya kami yang kebetulan berada cukup dekat dengan area parkir bisa masuk juga. Usai memarkir kendaraan, kami harus melewati satu bukit untuk sampai ke pusat acara. Di Pantai Seger memang terdapat beberapa bukit. Dari puncak bukit terlihat jajaran tenda di bawah berhiaskan lampu yang menerangi kelamnya malam. Lereng dan puncak bukit dipenuhi orang-orang yang tengah menunggu pagi. Mereka menunggu munculnya nyale sekitar jam 3 pagi. Kami pun memutuskan bergabung dengan mereka dengan beristirahat sejenak di puncak sebuah bukit yang berbatasan langsung dengan laut.

14004778161774676847
menunggu pagi di puncak bukit

Malam itu cukup cerah meski di sudut langit masih terlihat mendung menggantung. Gerimis yang tadi malam turun enggan kembali lagi. Menurut kepercayaan warga, peristiwa keluarnya nyale selalu diawali gerimis atau hujan di malam harinya kemudian mulai tengah malam langit menjadi cerah. Udara dingin mulai menyergap, jam masih menunjukkan pukul setengah dua. Masih sekitar 1,5 jam lagi acara puncak dimulai. Dengan alas rumput dan beratapkan langit saya tertidur sampai kemudian terbangun karena mendengar suara gaduh dari arah pantai. Dan perburuan pun dimulai.

Sekumpulan titik cahaya terlihat menerangi sepanjang Pantai Seger disertai suara teriakan. Entah apa maksud orang-orang itu berteriak. Mungkinkah itu dilakukan untuk memanggil para nyale? Apa pun itu, yang pasti saya harus segera turun dan ikut gabung bersama mereka. Jalan masuk menuju pantai penuh sesak oleh orang-orang yang ingin mendekat ke pantai. Orang-orang yang menggelar tikar di area pantai mempersempit akses masuk ke pantai, akibatnya sempat terjadi dorong-dorongan di tempat itu.

14004779511578089301
keramaian dalam remang fajar pantai Seger

Jaring kecil di tangan dan senter di satu tangan yang lain, lengkap sudah peralatan para pemburu nyale itu. Tak lupa mereka juga menyediakan ember atau karung sebagai tempat untuk hasil buruan mereka. Biasanya mereka datang berombongan dan saling bahu-membahu untuk berburu nyale. Berbekal senter kecil yang menjadi fitur andalan HP, saya mencoba menangkap nyale menggunakan tangan kosong. Sangat sulit karena nyale lincah di air dan cukup licin ketika dipegang. Menyerah, saya pun hanya bisa menikmati suasana pantai Seger dan segala keriuhan di sekitarnya.


14004781271883348107
menjaring nyale

Fajar menjelang, pantai semakin penuh sesak oleh lautan manusia. Kawan-kawan yang sedari tadi masih merasa nyaman beristirahat di atas bukit akhirnya turun juga. Menggunakan wadah bekas mi seduh, satu per satu nyale kami tangkap lalu dimasukkan ke dalam botol bekas. Dalam keremangan fajar Pantai Seger kami memburu nyale bersama para pemburu lain yang semakin bersemangat menjaring nyale.
Tanpa tahu akan diapakan hasil tangkapan nanti, kami tetap menangkap nyale dan memasukkannya ke dalam botol. Makin surutnya laut mempermudah kami menangkap nyale karena banyak nyale terjebak di kubangan kecil. Temaram berganti menjadi terang, nyale mulai menghilang. Nyale kecil akan mencair ketika terkena panas, sedangkan nyale besar akan menghilang di balik karang.


1400478235459731411
berburu sampai pagi

Perlahan pantai mulai lengang. Tampaknya mereka sudah puas dengan hasil buruannya dan bergegas pulang. Begitu juga dengan kami, nyale sudah mengisi lebih dari setengah botol. Nantinya, nyale dalam botol itu akan dibuang begitu saja karena kami tidak bisa mengolahnya. Dari atas bukit terlihat pintu keluar parkir disesaki kendaraan, akibatnya terjadi antrian panjang di sekitar area parkir. Kami memutuskan untuk menunggu sejenak agar tidak terjebak kemacetan parah. Sementara itu, terlihat kerumunan orang-orang yang masih memadati Pantai Seger. Perbukitan yang semalam terlihat suram kini berubah menjadi hijau segar berselimut rumput. Di ujung cakrawala nampak Rinjani berdiri dengan anggunnya.

Bau Nyale menjadi acara spesial bagi warga Lombok. Di hari itu, mereka berlomba-lomba untuk menangkap nyale yang dipercaya memiliki banyak khasiat. Masyarakat Sasak percaya bahwa nyale dapat membawa kesejahteraan, khususnya bermanfaat untuk kesuburan tanah. Banyak warga yang menabur nyale ke ladang mereka dengan harapan hasil panen yang memuaskan kelak. Selain itu, ada juga yang mengolah nyale menjadi beragam makanan seperti pepes dan rempeyek. Secara ilmiah, Nyale memang mengandung protein hewani yang tinggi sehingga baik untuk dikonsumsi.

1400478430443931967
nyale dalam baskom, banyak ditemui di pasar usai berakhirnya bau nyale

Kemunculannya yang hanya setahun sekali membuat warga begitu antusias menyambut acara ini. Pesta rakyat yang sudah berlangsung ratusan tahun itu sangat dinanti oleh masyarakat Sasak maupun wisatawan yang ingin menikmati momen langka ini. Kini tak hanya tanah yang subur, perekonomian warga sekitar juga turut tumbuh subur. Banyaknya wisatawan yang berkunjung tentunya memberikan “lahan” baru untuk digarap. Bau Nyale menambah satu lagi alasan bagi para pelancong untuk mengunjungi Lombok.

Rabu, 28 Januari 2015

Blusukan Nuswantara

Blusukan berasal dari kata dasar “blusuk” (bahasa Jawa) yang bisa diartikan “masuk ke dalam”. Jadi blusukan dapat diartikan secara bebas sebagai sebuah kegiatan eksplorasi suatu tempat. Blusukan biasanya dilakukan untuk mencari sesuatu yang tidak mudah ditemukan dan butuh waktu relatif lama. Misal: “Meski sudah blusukan di pasar seharian, gaplek yang dicarinya belum ketemu juga”. 

Nuswantara atau Nusantara berasal dari gabungan dua kata dalam bahasa Sansekerta yang dipopulerkan oleh Gajah Mada melalui Sumpah Palapanya. Kedua kata tersebut memiliki penafsiran beragam, cukup rumit, dan mendalam (susah saya mengerti). Yang pasti bagi orang Indonesia saat ini, istilah Nusantara digunakan untuk menggambarkan wilayah kepulauan Indonesia. Jadi dengan kata lain, Nuswantara merupakan sinonim dari Indonesia.

Blusukan Nuswantara merupakan catatan perjalanan saya selama berkunjung ke beberapa wilayah di Indonesia. Mengenal lebih dekat Indonesia apa adanya. Sebuah catatan tentang Indonesia dan manusianya. 

Keramahan dalam Kesedarhanaan, Berkunjung ke Manggarai



masak dan makan bersama di rumah Pak Goris (dok. tim M_arapu)
Jam sebelas malam, waktu yang seharusnya digunakan untuk beristirahat melepas penat setelah seharian bekerja. Sementara itu, kami justru sedang bingung karena mobil yang kami tumpangi gagal naik ke desa tujuan. Jalanan begitu terjal dan penuh lumpur membuat mobil selip sehingga si sopir menyerah untuk melanjutkan perjalanan malam itu juga. Satu-satunya pilihan adalah kembali turun ke jalan aspal dan bermalam di salah satu rumah penduduk. Terdesak keadaan membuat kami berani mengetuk pintu sebuah rumah di pinggir jalan. Rumah sederhana itu begitu sepi, hanya remang lampu terlihat menembus jendela menandakan si empunya rumah ada dan sedang beristirahat
.
Dengan mata terlihat berat, seorang pria paruh baya membuka pintu dan segera mempersilahkan kami masuk. Setelah dijelaskan maksud dan tujuan kami dia dengan ramah menyuruh memasukkan semua barang yang masih berada di luar. Tanpa disangka, dengan mudahnya dia mempersilahkan orang asing yang baru dikenalnya untuk menginap di rumahnya. Bahkan dia rela menyiapkan satu kamar untuk cewek dan memasakkan mi instan yang kami bawa saat seharusnya mereka beristirahat. Pak Goris nama pria itu. Sama seperti orang Manggarai lainnya, dia begitu ramah dan memperlakukan tamu dengan istimewa.

Sudah adat orang Manggarai memang untuk memuliakan tamu. Tak jarang saat memasuki suatu desa, kami disambut dengan upacara adat kecil-kecilan. Setidaknya tuan rumah harus menyediakan ayam putih, sopi/tuak, dan rokok sebagai syarat sah upacara penyambutan tamu. Tidak hanya itu, segelas kopi menjadi “minuman selamat datang” di hampir setiap rumah yang kami kunjungi. Tak jarang dalam sehari kami bisa menghabiskan sampai enam gelas kopi. Jika kita datang bertepatan saat makan siang, tuan rumah akan segera menghidangkan makanan istimewanya. Tak jarang, mereka memaksa untuk makan meski tahu kalau kami sudah makan di rumah tetangga sebelah. Sederhana namun istimewa, begitulah sambutan yang diberikan orang Manggarai, NTT terhadap tamunya.
wellcome drink.. tak ada tuak bir pun jadi (dok. tim M_arapu)
Rumah kayu sederhana di daerah pegunungan yang terisolasi, jauh dari sumber air, lahan pertanian terbatas, itulah potret masyarakat di pedalaman Manggarai pulau Flores. Namun kehidupan yang begitu sederhana itu tak serta merta menyambut tamunya dengan ala kadarnya. Sambutan istimewa diberikan kepada siapapun (bertujuan baik) yang datang berkunjung ke rumah. Mereka tampak puas dan bahagia ketika tamunya merasa senang atas sambutannya.  
ramah tamah bersama tuan rumah (dok tim M_arapu)
Di pedalaman Manggarai, kita tak akan terlantar karena setiap pintu rumah selalu terbuka untuk dijadikan tempat berteduh. Kita tak akan kehausan karena persediaan kopi cukup melimpah sehingga selalu bisa mengisi gelas kosong untuk para tamu. Kita tak akan kelaparan karena selalu ada jatah nasi untuk setiap tamu yang berkunjung. Kita tak akan merasa asing karena senyuman ramah selalu menghiasi wajah orang Manggarai saat kita menyapanya. Bahkan tanpa segan mereka menyapa kami ketika lewat di depan rumahnya. Mereka dengan senang hati berbagi kepada orang lain, bahkan kepada orang yang belum mereka kenal sebelumnya. Kebiasaan memuliakan tamu memang masih mengakar kuat di pedalaman Manggarai

Senin, 26 Januari 2015

Sekaroh, Desa Sederhana di Ujung Pulau Lombok

Jerowaru, nama yang masih terasa asing di telinga. Terletak di ujung tenggara pulau Lombok, pembangunan infrastruktur di kecamatan yang masuk dalam wilayah administratif Lombok Timur ini tergolong lambat. Jalan raya yang menghubungkan dengan kota Selong saja masih banyak berlubang pada 2014. Lebih parah lagi jalan antar desa yang kebanyakan masih berupa tanah dan sebagian lagi jalan aspal yang terkelupas.
jalan menuju desa Sekaroh
Sekaroh adalah salah satu desa yang terletak di wilayah paling ujung pulau Lombok. Untuk mencapainya diperlukan usaha dan kesabaran ekstra. Jalan aspal berlubang menuju Jerowaru menjadi pembuka perjalanan, sesampai di daerah selatan jalan sudah relatif mulus. Akan tetapi memasuki jalan menuju Sekaroh, kondisi jalan sangat buruk. Jalan aspal yang terkelupas dengan lubang menganga di beberapa titik cukup menyulitkan perjalanan. Belum lagi untuk masuk ke kampung-kampungnya kita harus melalui jalan tanah yang bergelombang dan terjal di beberapa tempat. Jika musim kemarau jalan berdebu, sedangkan jika musim hujan mendadak berubah jadi “kali asat” (sungai kering) yang berlumpur.

Seperti kebanyakan warga Lombok lain, pertanian menjadi mata pencaharian utama di desa Sekaroh. Karena kondisi tanahnya kering, mereka menjadi petani ladang dengan menanam tanaman yang sesuai seperti jagung dan ketela. Hanya hujan sumber air bagi tanaman mereka, aliran irigasi masih belum sampai desa. Tanah terlihat kering dan cenderung keras karena jarang terkena air. Konon nama Sekaroh diambil dari bahasa Sasak yang berarti menangis karena pada jaman dahulu warga sering menangis karena air tak kunjung membasahi tanah.
kebun jagung milik warga Sekaroh
Selain mengolah lahan, warga sekitar juga membuat garam untuk menambah penghasilan. Tambak-tambak garam mereka buat di daerah dekat pantai. Di bagian selatan kecamatan Jerowaru memang banyak didapati tambak-tambak garam. Nantinya, garam yang mereka hasilkan biasanya dijual dalam kemasan karung dengan harga relatif murah. Tak jarang mereka melakukan barter antara garam yang dihasilkannya dengan kebutuhan pokok. Nilai rupiah garam memang terbilang kecil namun hasilnya dirasa cukup untuk sekadar bertahan hidup.
penggembala sapi
Warga desa Sekaroh mayoritas merupakan petani ladang. Namun ada juga mereka yang mencoba peruntungan dengan beternak hewan seperti sapi, kerbau, dan kambing seperti yang ada di daerah pantai penyisuk. Padang rumput yang luas di sekitar pantai dijadikan padang gembalaan bagi pemilik hewan ternak. Di perbukitan sekitar pantai Penyisuk rumput tumbuh dengan suburnya. Ladang yang berpotensi untuk digarap masih relatif luas, namun hanya beberapa keluarga saja yang tinggal menetap di sini.
pemukiman di Penyisuk
merumput 
Penyisuk memang masih termasuk wilayah desa Sekaroh, namun letaknya cukup terpencil. Perjalanan panjang sekitar 7 km harus ditempuh menuju pantai Penyisuk dari kantor desa Sekaroh. Jalanan berupa tanah yang tidak rata, di beberapa tempat terdapat bebatuan, dan cukup licin. Di kejauhan, tampak perkebunan jagung yang terletak di lereng-lereng bukit. Sekilas dari jauh deretan tanaman jagung itu tampak seperti rerumputan hijau layaknya di padang sabana. Akses menuju pantai ini cukup sulit karena di beberapa tempat harus melewati tepian waduk kecil dengan jalur setapak yang begitu sempit.
jalan menuju Penyisuk dengan lanskap kebun jagung
masjid batu Penyisuk
Memasuki perkampungan, terdapat bangunan masjid dari batu yang belum jadi. Di kampung tersebut hanya tinggal beberapa keluarga saja. Mereka adalah petani yang memilih tinggal di ujung pulau agar lebih dekat dengan ladangnya. Tak jauh dari perkampungan terdapat beberapa sumur air tawar. Uniknya jarak antara sumur itu dengan pantai hanya sekitar 1 km, namun sumur milik warga kampung lain yang jarak dengan pantai lebih jauh airnya payau. Hal itu membuat sebagian warga kampung sebelah harus mengambil air tawar dari Penyisuk. Letak sumur hanya berkisar 300 meter dari perkampungan ke arah pantai melewati jalan setapak. Meskipun hanya ada tiga sumur, namun masih cukup untuk memenuhi kebutuhan warga Penyisuk dan sekitarnya. Sumur tersebut juga biasa digunakan anak-anak untuk membilas badan selepas mandi di pantai pada sore hari.
sumur air tawar dekat pantai Penyisuk
pantai Penyisuk, tempat anak-anak main dan berenang dengan bebas  
Letak kampung ini sangatlah terpencil dan sampai pertengahan 2014 belum teraliri listrik PLN. Jarak rumah dengan kantor desa harus ditempuh selama dua jam jalan kaki. Jarak yang sama juga harus ditempuh anak-anak untuk menuju ke sekolahnya. Jika hujan lebat, jalanan sangat becek dan bahkan tergenang air luapan dari laut ataupun waduk. Praktis kampung ini menjadi terisolasi ketika hujan lebat terjadi. Kalau sudah demikian, anak-anak terpaksa tidak berangkat sekolah.
salah satu waduk kecil di Penyisuk
Dengan segala keterbatasan tersebut tidak menyurutkan semangat warga. Mereka masih tetap bertahan, mengelola dan mengolah lahan semampunya. Anak-anak tetap bersemangat menempuh jarak yang begitu jauh ke sekolahnya meskipun kadang harus jalan kaki karena tidak dapat tumpangan di jalan. Seolah tak kenal lelah, selepas sekolah mereka segera bermain di pantai dekat rumah. Keceriaan masih terasa kental di tengah-tengah kesederhanaan hidup mereka. Kehidupan mereka yang terlihat menyenangkan itu bukannya tanpa keluhan. Kondisi sarana dan prasarana yang sangat memprihatinkan tetap menghambat mereka untuk bisa hidup layak.