Rabu, 17 Juni 2015

Selamat Datang di Serambi Mekkah

Add caption
“Mbak, itu masjid ya?”, tanya seorang bocah. “Bukan le (panggilan untuk anak laki-laki di Jawa), itu bandara”, jawab seorang perempuan yang duduk di sebelahnya. Percakapan itu terdengar sesaat setelah pesawat mendarat mulus di bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh. Dari jendela nampak dengan jelas bangunan bandara dengan kubah besar di bangunan utama dan beberapa menara kubah kecil di sampingnya. Sekilas bangunan bandara itu memang mirip masjid, dan banyak bangunan umum lain di Aceh yang bergaya Timur Tengah dengan kubah sebagai ciri khasnya. Selamat Datang di Serambi Mekkah.

 
Bandara Sultan Iskandar Muda

Nuansa Islami begitu terasa ketika menginjakkan kaki di Bandara Sultan Iskandar Muda. Hampir semua perempuan terlihat mengenakan hijab kecuali turis asing dan seorang kawan kami yang kesehariannya memang tidak berhijab. Namun tak berapa lama kemudian kawan kami itu segera mengenakan hijab dengan kain yang telah disiapkan sebelumnya. Sudah hal yang lumrah jika di Aceh setiap orang diharuskan mengenakan pakaian yang menutup aurat atau paling tidak pakaian sopan bagi turis asing. Di beberapa tempat terdapat baliho berupa himbauan untuk menutup aurat bagi muslim dan muslimah, salah satunya ada di depan Islamic Centre kota Lhokseumawe.

Syariat atau hukum Islam memang berusaha diterapkan oleh pemerintah daerah di Aceh. Untuk mendukung penerapan syariat Islam, maka dibentuklah Dinas Syariat Islam di tiap kabupaten kota. Seperti halnya yang ada di kota Lhokseumawe, meskipun hanya berkantor di ruko kecil namun dinas syariat Islam setempat mengemban tugas yang besar. Dinas tersebut bertugas mensosialisasikan dan menerapkan syariat Islam bekerjasama dengan berbagai pihak untuk melaksanakan syariat Islam secarah kaffah (menyeluruh).
Area Islamic Centre Lhokseumawe
Tidak mudah dalam menerapkan hukum Islam tak terkecuali di Aceh. Beberapa peraturan bisa jadi masih belum biasa di masyarakat umum. Seperti misalnya adalah hukum yang membatasi pergaulan antara laki-laki dengan perempuan. Bahkan dalam Qanun Aceh mengatur tentang hukum ikhtilath (bermesraan antar lawan jenis yang bukan muhrim) yang diganjar dengan hukuman cambuk. Bagi sebagian orang, ikhtilath atau gampangnya disebut pacaran bisa jadi dianggap hal yang lumrah dan menjadi fenomena umum. Oleh karena itu dilakukan sosialisasi tentang pasal yang mengatur hukum dengan memasang baliho besar di depan masjid raya Baiturrahman Banda Aceh. Baliho dapat menjadi media sosialisasi yang efektif terutama untuk pasal yang diperkirakan seringkali dilanggar. Peraturan yang belum lama diberlakukan itu menuntut sosialisasi yang gencar dan menyeluruh mengingat adanya beberapa peraturan yang belum biasa di masyarakat umum.
Baliho di depan Masjid Raya Baiturrahman

Aceh dan Islam tidak dapat dipisahkan. Latar belakang sejarah dan mayoritas penduduknya yang beragama Islam adalah faktor utamanya. Keistimewaan berupa otonomi khusus dari pemerintah pusat menjadi peluang untuk menerapkan hukum Islam sebagai aturan tambahan di Aceh. Dengan segala pro dan kontra, Aceh berusaha menegakkan kembali syariat Islam di bumi Serambi Makkah. Karena hukum Islam merupakan sebuah aturan yang menyeluruh mengatur segala aspek kehidupan. Bukan bermaksud untuk mengekang namun hanya untuk melindungi hak dan kehormatan manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar