Rabu, 11 November 2015

Selamat Datang di Kota Juang Nanga Pinoh


Tugu Juang Nanga Pinoh
Sekitar enam jam perjalanan dari Pontianak sampailah di pertigaan jalan dengan sebuah tugu berada tepat di tengah persimpangan jalan. Simpang Pinoh, begitu orang menamai simpang jalan yang ditandai dengan tugu yang menggambarkan dua orang yang sedang mengibarkan bendera merah putih. Sesuai namanya, simpang Pinoh menjadi jalan masuk ke kota Nanga Pinoh. Sekitar setengah jam kemudian sampailah di kota Nanga Pinoh ditandai dengan jembatan yang membelah sungai Pinoh. Dari jembatan kita bisa melihat muara sungai Pinoh yang terhubung dengan sungai Melawi. Muara sungai atau dalam bahasa setempat disebut “nanga” seringkali dijadikan pusat perdagangan dan kemudian berkembang menjadi sebuah kota. Setelah melewati jembatan kita memasuki kawasan pertokoan dan pasar yang menjadi pusat keramaian di kota Nanga Pinoh.


Di sebuah perempatan terdapat tugu dengan patung seorang pejuang sedang membawa bendera merah putih. Dua buah tugu peringatan yang ditemui sepanjang perjalanan tadi rasanya cukup menggambarkan semangat perjuangan di masa lalu. Sejarah mencatat bahwa kota Nanga Pinoh menjadi salah satu lokasi pertempuran antara pejuang RI dengan tentara Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia.
tepian sungai
Kota Nanga Pinoh sudah berkembang sejak abad ke 19, dimulai dengan masuknya para pedagang Tionghoa. Di saat yang hampir bersamaan, masuk pula pemerintahan kolonial Belanda. Sejak saat itu akses jalan darat mulai dibangun, ditandai dengan dibuatnya jalan Sintang – Nanga Pinoh dan Nanga Pinoh – Kota Baru. Selain jalan, pemerintah Hindia Belanda juga membangun pasar dan membuat penataan kota sedemikian rupa sehingga perkembangan kota Nanga Pinoh makin pesat.

Pasca proklamasi kemerdekaan, pergolakan terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia tak terkecuali di Melawi. Berita kepastian kemerdekaan RI baru sampai di Melawi pada Maret 1946, sebelumnya berita tentang kemerdekaan masih simpang siur. Setelah menerima berita tentang proklamasi kemerdekaan, dibentuklah Badan Organisasi Pemberontak Merah Putih (BOPMP). Organisasi ini pada awalnya bertujuan untuk mempertahankan kemerdekaan melalui jalur politik mengingat Belanda yang sudah kembali menduduki wilayah itu. Namun pada perkembangan selanjutnya pergerakan di bidang politik itu berubah menjadi perlawanan fisik.

Pada 10 November 1946, setelah kekuatan pasukan dirasa cukup dilakukanlah penyerangan terhadap benteng Belanda di Nanga Pinoh. Beberapa daerah sekitar termasuk para pejuang dari bagian hulu sungai Pinoh turut membantu penyerangan tersebut. Selain itu bala bantuan pun datang dari Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Peperangan berlangsung sengit, banyak korban berjatuhan dari kedua pihak. Pada akhirnya para pejuang berhasil memenangkan pertempuran itu. Bendera merah putih pun dikibarkan di Nanga Pinoh pada keesokan harinya sebagai tanda kemenangan.

Namun sepertinya Belanda tidak mau menyerah begitu saja. Pada 15 November 1946, tentara KNIL yang didatangkan dari Pontianak tiba di Nanga Pinoh. Mereka datang dengan tiga kapal melalui Sungai Kapuas kemudian sesampai Sintang masuk ke arah hulu sungai Melawi. Setibanya di Nanga Pinoh, mereka mendarat di kampung Liang yang berada tepat di seberang benteng Belanda. Sebelum mendarat mereka melancarkan tembakan secara membabi buta. Selanjutnya di darat mereka langsung disambut dengan perlawanan sengit dari para pejuang meski dengan persenjataan sekadarnya. Semangat perlawanan para pejuang tak mampu menaklukkan tentara KNIL dengan persenjataan lengkapnya. Belanda pun kembali berhasil menduduki Melawi hingga adanya perjanjian Konferensi Meja Bundar.   
Nanga Pinoh, sebuah nama yang masih terdengar asing bahkan bagi orang Kalimantan Barat  sekalipun. Wajar saja mengingat kota ini baru diresmikan menjadi kota kabupaten pada tahun 2003 sebagai hasil pemekaran kabupaten Melawi. Letaknya yang bukan berada di jalur perlintasan utama Kalimantan Barat membuat daerah ini kurang begitu dikenal. Namun kota kecil ini menyimpan cerita sejarah perjuangan. Dari jantung pulau Kalimantan perjuangan dilakukan. Mereka gigih berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tak gentar menghadapi musuh terlatih dengan persenjataan yang lengkap. Nyala api semangat mereka melengkapi titik-titik api yang berkobar di seantero Nusantara ketika kemerdekaan yang sudah diraih coba dirampas oleh penjajah. Hanya dari beberapa tugu peringatan itulah, semangat juang rakyat Melawi akan tetap terkenang.

Catatan Kecil: Asal Mula Nama Nanga Pinoh dan Melawi
muara sungai Pinoh
Nanga Pinoh
Konon pada zaman dahulu ada dua kerajaan yang sering berperang, yaitu kerajaan Hulu dan kerajaan Hilir. Pada suatu waktu, Raja daerah Hulu mendengar kabar bahwa kerajaan Hilir akan menyerang. Sang Raja pun memerintahkan prajuritnya untuk menghalangi pasukan Hilir dengan menebangi pohon di sekitar sungai dan menghanyutkannya (mungkin sang Raja sedang malas meladeni musuhnya). Sungai pun penuh kayu, pasukan Hilir urung bersampan ke Hulu. Sejak saat itu, warga sekitar menyebut sungai itu dengan nama Sungai Penuh. Adanya perubahan dialek masyarakat sekitar membuat namanya kini jadi Pinoh. Nama Nanga Pinoh sendiri diberikan karena letaknya di muara (nanga) sungai Pinoh.


Melawi
Alkisah ada seorang pengelana sedang menjelajah belantara Kalimantan. Pada suatu hari sampailah dia di tepi sungai besar. Karena penasaran, dia pun coba bertanya nama sungai itu pada seseorang di seberang sungai yang sedang memotong bambu. “Oo.. Pak, apa nama sungai ni?, teriak sang pengelana. “Melah ui (memotong bambu)!”, balas si Bapak. “Mela..ui? Oh, Melawi mungkin.” Pikir sang pengelana. Sejak saat itu sungai tersebut dinamakan Melawi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar