Rabu, 17 Juni 2015

Pada Suatu Sore di Kota Banda

kota Banda Aceh
Melihat gedung-gedung pertokoan yang membentuk labirin jalan, tetiba ingatan saya kembali terlempar ke masa 10 tahun silam. Suatu masa di mana air laut meluap hingga ke kota ini. Menjadikan labirin jalan sebagai jalur masuk menuju pusat kota. Labirin jalan yang relatif sempit membuat arus air semakin deras. Dari video yang pernah saya lihat, pada awalnya air terlihat mengalir perlahan namun beberapa saat kemudian alirannya semakin deras seiring bertambahnya ketinggian air. Tanpa ampun, luapan air laut itu menyapu apapun yang dilewatinya. Terlihat puing-puing kayu terbawa arus kuat air laut  yang masuk jauh ke daratan. Dalam beberapa jam kota itu luluh lantak diterjang gelombang tsunami pada 26 Desember 2004.



Banda Aceh Maret 2015 pada suatu sore, keramaian nampak di kawasan pertokoan Peunayong. Kedai-kedai kopi mulai dipadati pengunjung, sementara itu lalu lalang bentor dan kendaraan lain makin memadati jalanan yang relatif sempit. Saat malam menjelang mulai tampak kerumunan di salah satu ruas jalan yang dijejali para penjual batu akik sepanjang jalan. Mereka tampak antusias melihat batu dari satu lapak ke lapak lain dengan bekal senter kecil sebagai alat bantu untuk melihat kualitas batu. Para penjualpun tak kalah heboh, ada yang menawarkan batu dagangannya sambil teriak-teriak. Keriuhan tersebut bertahan sampai jelang tengah malam.
krueng Aceh kini
Kini nyaris tak nampak lagi sisa-sisa bencana besar sepuluh tahun yang lalu. Kota Banda Aceh sudah seperti kota-kota besar lain yang ramai dengan berbagai fasilitas umum yang lengkap. Namun ketika melewati jembatan krueng/sungai Aceh, kembali saya ingat gambaran pada sebuah video yang menunjukkan aliran deras air bah yang melaui krueng Aceh dengan ketinggian air yang mencapai jembatan. Di sana terlihat beberapa orang yang terhanyut mencoba naik ke daratan menggunakan puing-puing yang mengapung sebagai pijakan untuk mencapai daratan. Sungai begitu kotor dipenuhi berbagai benda yang terapung, namun kini sungai itu terlihat bersih dengan pepohonan di pinggiran sungai.
Masjid Raya Baiturrahman
Tak jauh dari jembatan, sekumpulan kubah berwarna hitam mulai tampak. Itulah bangunan ikonik di Banda Aceh, masjid raya Baiturrahman. Masjid megah yang menjadi kebanggaan warga serambi Mekkah. Halaman masjid begitu asri dengan adanya taman ditambah lagi adanya air mancur di sebelah timur masjid. Ukiran khas “Pintoe Aceh” tampak di berbagai sudut masjid. Nuansa putih nampak baik di bagian luar maupun dalam masjid. Terdengar suara riuh di dalam masjid, di sana tampak sekelompok anak-anak belajar mengaji didampingi oleh para ustadz. Sementara itu, di luar masjid para pelancong sibuk berfoto ria dengan berbagai gaya. Masjid Raya Baiturrahman memang menjadi destinasi wajib jika berkunjung ke Aceh.
maket museum tsunami, yang jadi salah satu benda koleksi di museum itu.
Beranjak dari Masjid Raya Baiturrahman, perjalanan dilanjutkan menuju Museum Tsunami Aceh. Sebuah museum yang dibuat untuk mengenang bencana gempa dan tsunami 2004. Gedung hasil rancangan Ridwan Kamil ini jika dilihat dari atas menyerupai gelombang air, sedangkan jika dilihat dari samping akan tampak sebagai perahu penyelemat. Di dalamnya, Museum Tsunami menyimpan koleksi berbagai benda yang terkait dengan peristriwa tsunami 10 tahun silam seperti jam yang jarumnya berhenti berdetak saat tersapu tsunami dan sepeda motor yang secara fisik masih terlihat utuh meski sudah terhanyut tsunami. Selain itu, Museum Tsunami juga menyajikan foto-foto, diorama, dan video terkait dengan bencana tsunami Aceh. Museum Tsunami Aceh mengabadikan peristiwa bersejarah serta memiliki arsitektur yang unik dan penuh makna.

Menuju ke arah pantai Ulee lheue, masih terlihat beberapa reruntuhan bangunan di pinggir jalan. Reruntuhan bangunan itu terlihat sudah dibiarkan bertahun-tahun. Tidak terlalu jelas memang apakah reruntuhan itu akibat bencana gempa dan tsunami 2004 atau karena sebab lain. Sekitar 3 km sebelum memasuki area pantai, tampak sebuah kapal besar terdampar di tengah pemukiman. PLTD Apung yang biasanya bersandar di pantai Ulee Lheue terdampar ke daratan akibat hempasan tsunami. Kapal seberat 2600 ton itu kini dijadikan sebagai salah satu monumen tsunami.
pantai Ulee Lheue
Menjelang senja tibalah kami di pantai Ulee Lheue, sebuah nama yang seringkali disebut di pemberitaan mengenai tsunami. Ulee Lheue merupakan salah satu daerah yang paling parah terkena tsunami. Kampung nelayan ini dulunya memang dipadati pemukiman, namun kini hanya terlihat jalan lebar dan taman dengan pemandangan laut lepas. Tidak terlihat pantai berpasir, hanya tebing pemecah ombak dari batu yang biasa digunakan warga sebagai tempat mancing. Di sisi jalan yang menghadap pantai, berjajar para penjual aneka makanan dan minuman. Tiap sore pantai ini memang ramai dikunjungi warga dan wisatawan untuk sekedar bersantai sambil menikmati suasana sore. Perkampungan padat itu kini tak ada bekasnya, hilang tersapu tsunami.

Duka mendalam tentunya dirasakan oleh warga Aceh akibat gempa dan tsunami sepuluh tahun silam. Sanak keluarga, teman, rumah, dan harta benda hilang tersapu tsunami. Namun kesedihan itu berkurang seiring dengan berlalunya waktu. Sepuluh tahun kemudian sudah nyaris tak nampak lagi kesedihan itu. Kota Banda telah berbenah, begitu juga dengan warganya. Kenangan akan bencana itu mungkin tetap membekas meski rasa duka telah sirna. Seperti senja di Ulee Lheue kala itu, sinar surya masih membekas terbias manis di gumpalan awan meski ia sudah sepenuhnya terbenam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar