Sabtu, 20 Juni 2015

Menapak Jejak Sejarah Tambang Batubara di Sawahlunto



pemukiman di Sawahlunto

Sawahlunto, pertama kali mendengarnya saat saya SD sekitar kelas 4 (akhir tahun 90an). Dalam buku IPS yang juga disampaikan oleh guru, Sawahlunto yang terletak di Sumatera Barat merupakan salah satu situs tambang batubara di Indonesia. Terletak 95 km sebelah timur laut kota Padang, Sawahlunto dulu hanya merupakan sebuah lembah subur yang dijadikan sawah oleh warga setempat. Lembah tersebut dibelah oleh aliran sungai Lunto. Nama Sawahlunto sendiri diambil dari kata “sawah” dan sungai “Lunto”. Lembah sungai Lunto yang subur itu kemudian beralih fungsi menjadi daerah pertambangan batubara.

 

Lembah Sungai Lunto masa lalu (foto koleksi museum Goedang Ransum)
Willem Hendrik De Greve, seorang ahli geologi yang ditunjuk oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menyelidiki keberedaan batubara di Sawahlunto. Pada tahun 1868, dia menemukan kandungan batubara di sungai Ombilin. Setelah diketahui kandungan sumber daya alam dan potensi ekonominya, pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk melanjutkan eksplorasi. Pada akhirnya dimulai pula pembangunan infrastruktur tambang dan pendukungnya di Sawahlunto. Pembangunan infrastruktur tersebut dilakukan pada tahun 1883 hingga 1894. Aktivitas pertambangan sendiri sudah dimulai sejak tahun 1892 dengan produksi batubara sebanyak 48.000 ton Eksploitasi batubara terus berlanjut hingga berakhir pada 2004. Sejak saat itu semua fasilitas pertambangan tidak difungsikan lagi sebagaimana mestinya. Namun beberapa tahun lalu pemda setempat berinisiatif menjadikan Sawahlunto menjadi kota wisata tambang dengan tata ruang dan bangunan khas kolonial dengan mengusung slogan “Kota Wisata Tambang yang Berbudaya”.
suatu sudut jalan kota Sawahlunto
Pusat kota Sawahlunto yang terletak di lembah sungai Lunto relatif kecil namun masih banyak ditemukan bangunan tua peninggalan Belanda beserta tata ruangnya. Pasar, Gereja St. Barbara, dan Gedung Societeit adalah sebagian dari bangunan tua yang masih lestari hingga sekarang. Namun yang khas di Sawahlunto adalah beberapa bangunan yang ada kaitannya dengan tambang batu bara. Beberapa bangunan bekas kegiatan pertambangan menjadi saksi bisu kejayaan tambang Sawahlunto selama lebih dari seabad.
Lubang Tambang Mbah Suro, merupakan salah satu situs tambang batubara yang sejak tahun 2007 dibuka untuk umum sebagai tempat wisata. Nama Mbah Suro sendiri diambil dari nama seorang mandor bernama Soerono yang ditugaskan pemerintah Hindia Belanda pada awal abad 20 untuk mengawasi kegiatan pertambangan. Ada beberapa versi cerita mengenai sosok mandor yang didatangkan dari Jawa ini. Menurut cerita, mbah Suro adalah seorang pekerja keras, tegas, dan taat beragama serta disegani karena dipercaya memiliki ilmu kebal. Namun dalam versi lain diceritakan bahwa mbah Suro seorang mandor yang kejam, sering menyiksa anak buahnya menggunakan cambuk. Entah versi mana yang benar, yang pasti mbah Suro merupakan orang yang berpengaruh dalam kegiatan pertambangan di Sawahlunto sehingga namanya diabadikan menjadi situs wisata ini.

Terowongan tambang ini dibuka pemerintah Hindia Belanda pada 1898. Pembuatan terowongan ini mengerahkan pekerja paksa yang berasal dari berbagai penjara seperti Jawa, Sulawesi, Medan, dan Padang. Pekerja paksa yang berasal dari luar Sumbar, diangkut menggunakan kapal menuju pelabuhan Teluk Bayur kemudian dilanjutkan perjalanan menggunakan kereta api menuju Sawahlunto. Jalur rel kereta dari Sawahlunto ke pelabuhan Teluk Bayur telah ada sejak tahun 1894 yang digunakan untuk mengangkut hasil tambang batubara sekaligus alat transportasi. Sebagai fasilitas pendukung, stasiun kereta api Sawahlunto dengan fasilitas memadai baru dibangun pada 1918. Kini stasiun kereta api tersebut dijadikan sebagai museum kereta api.
stasiun kereta api Sawahlunto
Di Sawahlunto inilah para narapidana tersebut dipekerjakan untuk membuat terowongan tambang. Pekerja paksa ini dikenal juga dengan sebutan orang rantai karena dalam kegiatan penambangannya kaki mereka dirantai. Siksaan berupa cambukan seringkali mereka terima dari mandor, makanan yang diberikanpun terbatas, karena itu banyak orang rantai yang meninggal selama berlangsungnya kerja paksa itu.

Untuk memasok kebutuhan makanan pekerja tambang, dibuatlah dapur umum yang dibangun pada 1918. Dapur umum itu juga bertanggungjawab pada ketersediaan makanan pasien rumah sakit di Sawahlunto. Dapur umum tersebut kini telah berubah fungsi menjadi Museum Goedang Ransum. Banyak orang dipekerjakan di dapur umum ini termasuk juga anak-anak. Bangunan dapur umum itu terbilang luas dengan alat masak raksasa. Maklum saja keterisian perut ribuan orang bergantung pada tempat ini. Untuk mendukung proses penyediaan makanan, dapur umum ini dilengkapi dengan peralatan masak paling modern di masa itu. Bahkan di awal abad 20, perlengkapan dapur modern di Sawahlunto menjadi yang pertama ada di Indonesia.
tungku raksasa pemasok uap panas untuk memasak di dapur

Sebelum masuk ke terowongan, pengunjung disarankan untuk memakai perlengkapan keamanan yang telah disediakan pihak pengelola. Helm dan sepatu tambang tersedia di ruang khusus, selain itu disediakan pula loker tempat menyimpan barang-barang pengunjung. Setelah perlengkapan dikenakan, seorang pemandu siap mengantar masuk ke terowongan tambang. Puluhan anak tangga mengantarkan pengunjung menuju ke dalam perut bumi. Lampu-lampu sudah dipasang untuk menerangi terowongan. Hanya sampai kedalaman sekitar 18 meter saja, karena di bawah lagi masih dipenuhi air. Sebelum dibuka, air menggenang hingga pintu masuk terowongan. Rembesan air yang berasal dari sungai Lunto ini memang menjadi alasan terowongan tambang ini ditutup pada tahun 1920-an dan baru dibuka lagi pada 2007 untuk tujuan wisata.
terowongan tambang "Mbah Soero"
Perjalanan kemudian dilanjutkan menyusuri terowongan. Sebagian jalan sudah dipasang paving blok, namun dinding yang berbentuk setengah lingkaran masih asli berupa batu bata dan sebagian lagi dinding alami berupa lapisan batubara. Selang besar berdiameter 50 cm diletakkan di sepanjang terowongan untuk memasok udara segar ke dalam. Tak sampai satu kilometer, perjalanan mentok sampai ujung terowongan yang ditutup dengan beton. Sebenarnya di balik beton itu ada terowongan lagi yang menghubungkan langsung menuju bangunan pembangkit listrik tenaga uap yang kini berubah fungsi menjadi Masjid Agung Sawahlunto. Rencananya beberapa tahun terowongan menuju masjid itu akan dibuka untuk wisata, jika ada dana.

Kini Sawahlunto telah menjelma menjadi kota wisata tambang. Industri pariwisata yang dikembangkan oleh pemerintah setempat membuat warga menjadikannya sebagai salah satu sumber mata pencaharian utama. Beberapa kios souvenir berderet di sekitar lokasi museum. Meskipun demikian, sebagai tempat wisata Sawahlunto masih terbilang sepi. Kota itu kalah populer dibandingkan dengan Padang atau Bukittinggi. Jarak 100 km, 2 – 3 jam perjalanan dari kota Padang bisa jadi membuat wisatawan dari luar kota berpikir panjang untuk mejadikan Sawahlunto sebagai destinasi utama. Meskipun sebenarnya Sawahlunto memiliki keunikan yang sulit ditemukan di destinasi wisata lainnya di Sumatera Barat atau bahkan di Indonesia. Diperlukan promosi yang gencar untuk meningkatkan kunjungan wisatawan dan menjadikan Sawahlunto sebagai salah satu ikon wisata di Sumatera Barat.   

Sawahlunto, sebuah kota tua dengan beragam cerita. Cerita tentang batubara yang pernah jaya. Cerita tentang penderitaan para pekerja paksa dan hasil karya mereka. Cerita yang terangkai dalam beberapa museum dan bangunan tua. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar