Senin, 26 Januari 2015

Sekaroh, Desa Sederhana di Ujung Pulau Lombok

Jerowaru, nama yang masih terasa asing di telinga. Terletak di ujung tenggara pulau Lombok, pembangunan infrastruktur di kecamatan yang masuk dalam wilayah administratif Lombok Timur ini tergolong lambat. Jalan raya yang menghubungkan dengan kota Selong saja masih banyak berlubang pada 2014. Lebih parah lagi jalan antar desa yang kebanyakan masih berupa tanah dan sebagian lagi jalan aspal yang terkelupas.
jalan menuju desa Sekaroh
Sekaroh adalah salah satu desa yang terletak di wilayah paling ujung pulau Lombok. Untuk mencapainya diperlukan usaha dan kesabaran ekstra. Jalan aspal berlubang menuju Jerowaru menjadi pembuka perjalanan, sesampai di daerah selatan jalan sudah relatif mulus. Akan tetapi memasuki jalan menuju Sekaroh, kondisi jalan sangat buruk. Jalan aspal yang terkelupas dengan lubang menganga di beberapa titik cukup menyulitkan perjalanan. Belum lagi untuk masuk ke kampung-kampungnya kita harus melalui jalan tanah yang bergelombang dan terjal di beberapa tempat. Jika musim kemarau jalan berdebu, sedangkan jika musim hujan mendadak berubah jadi “kali asat” (sungai kering) yang berlumpur.

Seperti kebanyakan warga Lombok lain, pertanian menjadi mata pencaharian utama di desa Sekaroh. Karena kondisi tanahnya kering, mereka menjadi petani ladang dengan menanam tanaman yang sesuai seperti jagung dan ketela. Hanya hujan sumber air bagi tanaman mereka, aliran irigasi masih belum sampai desa. Tanah terlihat kering dan cenderung keras karena jarang terkena air. Konon nama Sekaroh diambil dari bahasa Sasak yang berarti menangis karena pada jaman dahulu warga sering menangis karena air tak kunjung membasahi tanah.
kebun jagung milik warga Sekaroh
Selain mengolah lahan, warga sekitar juga membuat garam untuk menambah penghasilan. Tambak-tambak garam mereka buat di daerah dekat pantai. Di bagian selatan kecamatan Jerowaru memang banyak didapati tambak-tambak garam. Nantinya, garam yang mereka hasilkan biasanya dijual dalam kemasan karung dengan harga relatif murah. Tak jarang mereka melakukan barter antara garam yang dihasilkannya dengan kebutuhan pokok. Nilai rupiah garam memang terbilang kecil namun hasilnya dirasa cukup untuk sekadar bertahan hidup.
penggembala sapi
Warga desa Sekaroh mayoritas merupakan petani ladang. Namun ada juga mereka yang mencoba peruntungan dengan beternak hewan seperti sapi, kerbau, dan kambing seperti yang ada di daerah pantai penyisuk. Padang rumput yang luas di sekitar pantai dijadikan padang gembalaan bagi pemilik hewan ternak. Di perbukitan sekitar pantai Penyisuk rumput tumbuh dengan suburnya. Ladang yang berpotensi untuk digarap masih relatif luas, namun hanya beberapa keluarga saja yang tinggal menetap di sini.
pemukiman di Penyisuk
merumput 
Penyisuk memang masih termasuk wilayah desa Sekaroh, namun letaknya cukup terpencil. Perjalanan panjang sekitar 7 km harus ditempuh menuju pantai Penyisuk dari kantor desa Sekaroh. Jalanan berupa tanah yang tidak rata, di beberapa tempat terdapat bebatuan, dan cukup licin. Di kejauhan, tampak perkebunan jagung yang terletak di lereng-lereng bukit. Sekilas dari jauh deretan tanaman jagung itu tampak seperti rerumputan hijau layaknya di padang sabana. Akses menuju pantai ini cukup sulit karena di beberapa tempat harus melewati tepian waduk kecil dengan jalur setapak yang begitu sempit.
jalan menuju Penyisuk dengan lanskap kebun jagung
masjid batu Penyisuk
Memasuki perkampungan, terdapat bangunan masjid dari batu yang belum jadi. Di kampung tersebut hanya tinggal beberapa keluarga saja. Mereka adalah petani yang memilih tinggal di ujung pulau agar lebih dekat dengan ladangnya. Tak jauh dari perkampungan terdapat beberapa sumur air tawar. Uniknya jarak antara sumur itu dengan pantai hanya sekitar 1 km, namun sumur milik warga kampung lain yang jarak dengan pantai lebih jauh airnya payau. Hal itu membuat sebagian warga kampung sebelah harus mengambil air tawar dari Penyisuk. Letak sumur hanya berkisar 300 meter dari perkampungan ke arah pantai melewati jalan setapak. Meskipun hanya ada tiga sumur, namun masih cukup untuk memenuhi kebutuhan warga Penyisuk dan sekitarnya. Sumur tersebut juga biasa digunakan anak-anak untuk membilas badan selepas mandi di pantai pada sore hari.
sumur air tawar dekat pantai Penyisuk
pantai Penyisuk, tempat anak-anak main dan berenang dengan bebas  
Letak kampung ini sangatlah terpencil dan sampai pertengahan 2014 belum teraliri listrik PLN. Jarak rumah dengan kantor desa harus ditempuh selama dua jam jalan kaki. Jarak yang sama juga harus ditempuh anak-anak untuk menuju ke sekolahnya. Jika hujan lebat, jalanan sangat becek dan bahkan tergenang air luapan dari laut ataupun waduk. Praktis kampung ini menjadi terisolasi ketika hujan lebat terjadi. Kalau sudah demikian, anak-anak terpaksa tidak berangkat sekolah.
salah satu waduk kecil di Penyisuk
Dengan segala keterbatasan tersebut tidak menyurutkan semangat warga. Mereka masih tetap bertahan, mengelola dan mengolah lahan semampunya. Anak-anak tetap bersemangat menempuh jarak yang begitu jauh ke sekolahnya meskipun kadang harus jalan kaki karena tidak dapat tumpangan di jalan. Seolah tak kenal lelah, selepas sekolah mereka segera bermain di pantai dekat rumah. Keceriaan masih terasa kental di tengah-tengah kesederhanaan hidup mereka. Kehidupan mereka yang terlihat menyenangkan itu bukannya tanpa keluhan. Kondisi sarana dan prasarana yang sangat memprihatinkan tetap menghambat mereka untuk bisa hidup layak. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar