kota Banda Aceh |
Melihat gedung-gedung pertokoan yang
membentuk labirin jalan, tetiba ingatan saya kembali terlempar ke masa 10 tahun
silam. Suatu masa di mana air laut meluap hingga ke kota ini. Menjadikan
labirin jalan sebagai jalur masuk menuju pusat kota. Labirin jalan yang relatif
sempit membuat arus air semakin deras. Dari video yang pernah saya lihat, pada
awalnya air terlihat mengalir perlahan namun beberapa saat kemudian alirannya
semakin deras seiring bertambahnya ketinggian air. Tanpa ampun, luapan air laut
itu menyapu apapun yang dilewatinya. Terlihat puing-puing kayu terbawa arus
kuat air laut yang masuk jauh ke
daratan. Dalam beberapa jam kota itu luluh lantak diterjang gelombang tsunami
pada 26 Desember 2004.
Banda Aceh Maret 2015 pada suatu
sore, keramaian nampak di kawasan pertokoan Peunayong. Kedai-kedai kopi mulai
dipadati pengunjung, sementara itu lalu lalang bentor dan kendaraan lain makin
memadati jalanan yang relatif sempit. Saat malam menjelang mulai tampak
kerumunan di salah satu ruas jalan yang dijejali para penjual batu akik
sepanjang jalan. Mereka tampak antusias melihat batu dari satu lapak ke lapak
lain dengan bekal senter kecil sebagai alat bantu untuk melihat kualitas batu.
Para penjualpun tak kalah heboh, ada yang menawarkan batu dagangannya sambil
teriak-teriak. Keriuhan tersebut bertahan sampai jelang tengah malam.
krueng Aceh kini |
Kini nyaris tak nampak lagi
sisa-sisa bencana besar sepuluh tahun yang lalu. Kota Banda Aceh sudah seperti
kota-kota besar lain yang ramai dengan berbagai fasilitas umum yang lengkap.
Namun ketika melewati jembatan krueng/sungai
Aceh, kembali saya ingat gambaran pada sebuah video yang menunjukkan aliran
deras air bah yang melaui krueng Aceh
dengan ketinggian air yang mencapai jembatan. Di sana terlihat beberapa orang
yang terhanyut mencoba naik ke daratan menggunakan puing-puing yang mengapung
sebagai pijakan untuk mencapai daratan. Sungai begitu kotor dipenuhi berbagai
benda yang terapung, namun kini sungai itu terlihat bersih dengan pepohonan di
pinggiran sungai.
Masjid Raya Baiturrahman |
Tak jauh dari jembatan, sekumpulan
kubah berwarna hitam mulai tampak. Itulah bangunan ikonik di Banda Aceh, masjid
raya Baiturrahman. Masjid megah yang menjadi kebanggaan warga serambi Mekkah.
Halaman masjid begitu asri dengan adanya taman ditambah lagi adanya air mancur
di sebelah timur masjid. Ukiran khas “Pintoe Aceh” tampak di berbagai sudut
masjid. Nuansa putih nampak baik di bagian luar maupun dalam masjid. Terdengar
suara riuh di dalam masjid, di sana tampak sekelompok anak-anak belajar mengaji
didampingi oleh para ustadz. Sementara itu, di luar masjid para pelancong sibuk
berfoto ria dengan berbagai gaya. Masjid Raya Baiturrahman memang menjadi
destinasi wajib jika berkunjung ke Aceh.
maket museum tsunami, yang jadi salah satu benda koleksi di museum itu. |
Beranjak dari Masjid Raya
Baiturrahman, perjalanan dilanjutkan menuju Museum Tsunami Aceh. Sebuah museum
yang dibuat untuk mengenang bencana gempa dan tsunami 2004. Gedung hasil
rancangan Ridwan Kamil ini jika dilihat dari atas menyerupai gelombang air,
sedangkan jika dilihat dari samping akan tampak sebagai perahu penyelemat. Di
dalamnya, Museum Tsunami menyimpan koleksi berbagai benda yang terkait dengan
peristriwa tsunami 10 tahun silam seperti jam yang jarumnya berhenti berdetak
saat tersapu tsunami dan sepeda motor yang secara fisik masih terlihat utuh
meski sudah terhanyut tsunami. Selain itu, Museum Tsunami juga menyajikan
foto-foto, diorama, dan video terkait dengan bencana tsunami Aceh. Museum
Tsunami Aceh mengabadikan peristiwa bersejarah serta memiliki arsitektur yang
unik dan penuh makna.
Menuju ke arah pantai Ulee lheue,
masih terlihat beberapa reruntuhan bangunan di pinggir jalan. Reruntuhan
bangunan itu terlihat sudah dibiarkan bertahun-tahun. Tidak terlalu jelas
memang apakah reruntuhan itu akibat bencana gempa dan tsunami 2004 atau karena
sebab lain. Sekitar 3 km sebelum memasuki area pantai, tampak sebuah kapal
besar terdampar di tengah pemukiman. PLTD Apung yang biasanya bersandar di
pantai Ulee Lheue terdampar ke daratan akibat hempasan tsunami. Kapal seberat
2600 ton itu kini dijadikan sebagai salah satu monumen tsunami.
pantai Ulee Lheue |
Menjelang senja tibalah kami di
pantai Ulee Lheue, sebuah nama yang seringkali disebut di pemberitaan mengenai
tsunami. Ulee Lheue merupakan salah satu daerah yang paling parah terkena
tsunami. Kampung nelayan ini dulunya memang dipadati pemukiman, namun kini
hanya terlihat jalan lebar dan taman dengan pemandangan laut lepas. Tidak
terlihat pantai berpasir, hanya tebing pemecah ombak dari batu yang biasa
digunakan warga sebagai tempat mancing. Di sisi jalan yang menghadap pantai,
berjajar para penjual aneka makanan dan minuman. Tiap sore pantai ini memang
ramai dikunjungi warga dan wisatawan untuk sekedar bersantai sambil menikmati
suasana sore. Perkampungan padat itu kini tak ada bekasnya, hilang tersapu
tsunami.
Duka mendalam tentunya dirasakan oleh warga Aceh akibat gempa dan tsunami sepuluh tahun silam. Sanak keluarga, teman, rumah, dan harta benda hilang tersapu tsunami. Namun kesedihan itu berkurang seiring dengan berlalunya waktu. Sepuluh tahun kemudian sudah nyaris tak nampak lagi kesedihan itu. Kota Banda telah berbenah, begitu juga dengan warganya. Kenangan akan bencana itu mungkin tetap membekas meski rasa duka telah sirna. Seperti senja di Ulee Lheue kala itu, sinar surya masih membekas terbias manis di gumpalan awan meski ia sudah sepenuhnya terbenam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar