Senin, 03 Februari 2020

Kisah Pilu Masa Lalu tentang PGRS/PARAKU

hutan Kalimantan



“Dulu di sini banyak orang Cina, tapi karena ada kerusuhan mereka pergi”. Sepotong cerita dari seorang warga di salah satu desa di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Hanya sepotong itu saja ceritanya, tak lebih. Tidak dijelaskan alasan kepergian orang-orang etnis Tionghoa maupun latar belakang kerusuhan itu. Usai menceritakan cerita itu, dia pun diam sejenak. Kemudian melanjutkan dengan pokok bahasan yang lain. Kerusuhan apa lagi ini? Waktu itu saya belum tahu tentang kerusuhan yang melibatkan etnis Tionghoa di Kalimantan Barat. Mungkinkah itu kerusuhan 1998? Tapi mengapa itu bisa sampai ke pedalaman Kalimantan? Entah kenapa, saya yang biasanya kepo tidak berusaha mengulik cerita yang terpotong itu. Dan akhirnya pertanyaan-pertanyaan itu tenggelam begitu saja, tak sempat tertanya.

Menapak Jejak Sejarah Kerajaan Tertua di Kalimantan Barat

Keraton Ismahayana, Ngabang (dok. pribadi)

Seorang lelaki paruh baya menghampiri kami yang sedang bersantai di beranda. Hanya tersenyum, lalu dia membuka pintu dan mempersilahkan kami masuk. Sebuah rumah panggung kecil dengan warna kuning yang dominan dipermanis dengan warna hijau di bagian pintu, jendela, dan tiang. Bagian beranda dibatasi pagar kayu bermotif unik dibalut dengan warna kuning cerah. Enam pilar kayu berwarna hijau menjadi bagian dari pagar beranda sekaligus menjadi selingan dari warna kuning yang mendominasi. Di bagian tengah beranda terdapat lampu gantung klasik. Di samping beranda, terdapat selasar kecil yang masih terhubung dengan beranda namun tidak beratap. Bangunan beraksitektur khas Melayu itu cukup kecil, sama seperti beberapa rumah di sekitarnya.

Selasa, 05 November 2019

HeHa Sky View, Sepetak Balkon di Jogja Lantai Dua


Malam di HeHa Sky View

Jarum jam menunjuk angka 4 saat kami tiba di halaman parkir HeHa Sky View. Kami pun segera masuk ke ruangan yang lebih mirip lobby hotel dibanding loket penjualan tiket masuk yang saya bayangkan. Di meja petugas tiket terpasang papan kecil bertuliskan biaya masuk yang dibedakan berdasarkan waktu. Sebelum jam 16.00 pengunjung dikenakan biaya masuk sebesar Rp10.000/orang, setelah jam 16.00 menjadi Rp15.000/orang. Pada hari biasa HeHa Sky View buka mulai pukul 11.00, sedangkan di akhir pekan buka pukul 10.00. Jam tutup di hari Minggu hingga Kamis pukul 22.00, hari jumat pukul 22.30, dan hari Sabtu pukul 23.00.

Rabu, 24 Oktober 2018

Gunung Prau via Wates, Jalan Panjang Menuju Puncak Dieng


Jalan Panjang

Kembang api meluncur tanpa henti saat kami akan memulai perjalanan dari basecamp. Cahaya purnama kini mendapat saingan dari cahaya warna-warni kembang api. Suara letusan khasnya memecah kesunyian malam di awal bulan Juli 2018. Sejenak kami berhenti, sekadar menikmati atraksi kembang api. Lima menit berlalu, namun tak ada tanda-tanda akan berakhir. Awalnya saya kira itu hanya ulah iseng anak-anak desa Wates mengisi malam minggunya. Namun ternyata atraksi kembang api merupakan salah satu rangkaian acara peresmian mushola. Acara puncaknya, yakni pemotongan pita baru dilakukan Minggu pagi.

Selasa, 17 April 2018

Jalan Panjang dari Ketapang ke Manismata


jalan panjang 
Perjalanan Panjang (2014)

Menjelang siang, dengan membawa barang seperlunya kami beragkat ke Manismata diantar pakai motor. Katanya jarak Ketapang – Manismata lebih dari 200 km. Jika pakai motor dapat ditempuh 4 hingga 6 jam perjalanan tergantung kondisi jalan dan kehandalan pemotor. Ada alternatif lain sebenarnya yaitu naik "Susi Air" dari Ketapang turun di lapangan terbang Harapan (milik sebuah perusahaan sawit) di Manismata. Meski terbilang mahal, harga tiket pesawat pun tak beda jauh dengan ongkos ojek Ketapang – Manismata. Namun sayangnya jadwal keberangkatan pesawat seminggu sekali. Tak ada waktu untuk menunggu jadwal pesawat itu.

Senin, 06 November 2017

Menembus Kabut Gunung Prau via Kalilembu

menembus kabut 
Gerimis turun sesaat setelah kami membungkus rapat tubuh dengan sleeping bag. Beberapa saat kemudian suara rintik gerimis itu memudar, kemudian hilang. Sudah reda, semoga dini hari nanti langit cerah sehingga tampak jelas bintang-bintang. Melihat megahnya langit dengan miliaran titik cahaya bintang dari dalam tenda sambil makan cemilan berkadar micin tinggi. Namun harapan itu hanya sebatas angan. Hujan kembali turun, kali ini lebih deras dan semakin deras. Kilatan petir menyambar disertai dentuman guntur yang bersahutan. Suhu semakin terasa dingin, resleting sleeping bag kunaikkan. Saat hujan memang sangat nyaman untuk tidur, suara rintiknya membuatku segera terlelap. Sempat nglilir beberapa kali karena suara gludug, namun segera bisa tertidur kembali.

Basecamp Kalilembu yang Sunyi

Basecamp Kalilembu

Gelap, hanya papan petunjuk kecil di pinggir jalan bertuliskan “Basecamp Kalilembu”. Sangat sepi, tak ada tanda-tanda kehidupan saat kami masuk beberapa ratus meter ke dalam gapura desa. Hanya ada kebun sayur di sisi kiri dan dinding tebing di sisi kanan. Namun yang menarik adalah jalan desa ini berupa aspal mulus dengan marka jalan yang begitu jelas, sepertinya jalan ini baru saja selesai dibuat. Lebar jalan sekitar 3 meter, cukup lebar untuk ukuran jalan desa. Kalilembu merupakan salah satu dari dua dusun yang ada di desa Dieng Wetan.