Senin, 06 November 2017

Menembus Kabut Gunung Prau via Kalilembu

menembus kabut 
Gerimis turun sesaat setelah kami membungkus rapat tubuh dengan sleeping bag. Beberapa saat kemudian suara rintik gerimis itu memudar, kemudian hilang. Sudah reda, semoga dini hari nanti langit cerah sehingga tampak jelas bintang-bintang. Melihat megahnya langit dengan miliaran titik cahaya bintang dari dalam tenda sambil makan cemilan berkadar micin tinggi. Namun harapan itu hanya sebatas angan. Hujan kembali turun, kali ini lebih deras dan semakin deras. Kilatan petir menyambar disertai dentuman guntur yang bersahutan. Suhu semakin terasa dingin, resleting sleeping bag kunaikkan. Saat hujan memang sangat nyaman untuk tidur, suara rintiknya membuatku segera terlelap. Sempat nglilir beberapa kali karena suara gludug, namun segera bisa tertidur kembali.

Sayup-sayup terdengar suara ocehan dari tenda lain. Keadaan sekitar tampak lebih terang, sepertinya sudah pagi. Dan memang benar, jam menunjukkan pukul lima lebih. Harusnya sekarang sudah waktunya sunrise. Tapi yang tampak di luar hanyalah kabut pekat. Putih, lanskap Sindoro – Sumbing yang epik itu tak terlihat sama sekali tertutup kabut. Beberapa saat kemudian kabut perlahan menghilang, nampaklah cahaya matahari dari sisi timur. Mendung pun tersingkap, menyisakan sedikit ruang untuk cahaya pagi. Kuning keemasan cahaya matahari pagi sedikit memberi warna langit yang kelabu. Gunung Ungaran dan awan di sekelilingnya tampak menarik diterpa cahaya keemasan mentari pagi. Namun pemandangan itu segera menghilang, tertutup kembali kabut pekat.

hanya gunung Sindoro yang menampakkan wujudnya
Kabut datang dan pergi berulang kali. Gunung Sindoro – Sumbing dan bahkan Merapi – Merbabu di kejauhan sesekali menampakkan wujudnya. Sebenarnya mendung sudah mulai terbuka dan menampakkan wujud langit biru di beberapa titik. Namun kabut pekat sepertinya masih enggan pergi, dia hanya hilang sebentar kemudian muncul kembali. Cuaca di gunung seringkali berubah-ubah tak bisa diprediksi. Hari ini berkabut, mungkin saja besok cerah. Lagipula sekarang sedang musim hujan, jadi wajar jika cuaca mendung dan berkabut seperti ini. Momen golden sunrise yang katanya terbaik di Asia Tenggara urung terjadi pagi itu.

Hampir jam 8 pagi, kami bersiap untuk turun. Sempat terpikir untuk turun lewat jalur Patak Banteng, sekadar untuk menikmati secangkir kopi dan renyahnya tempe kemul di warung bawah pos 2. Maklum saja di sepanjang jalur Kalilembu tak ada warung sementara perut sudah mulai lapar. Tapi niat itu kami urungkan lantaran agak ribet nanti kalau harus nyari ojek dari basecamp Patak Banteng ke basecamp Kalilembu.

Kembali kami lewati padang sabana yang sempat membuat putus asa tadi malam. Padang sabana luas dengan jalan setapak yang seakan tanpa batas. Padang sabana ini juga dikenal dengan nama bukit Teletubbies. Meski disebut Teletubbies, di sini hanya ada bukit dan rerumputan hijau seperti latar dalam serial televisi tersebut. Sempat was-was juga semalam, kepikiran kalau-kalau ujug-ujug empat makhluk aneh itu menampakkan batang hidungnya di tengah gelap malam.

Kabut masih setia menyelimuti gunung Prau, jarak pandang tak lebih dari 50 meter. Di sepanjang jalan tampak beberapa pohon tumbang dengan bekas terbakar di patahannya seperti tersambar petir. Kalau memang pohon itu tumbang karena tersambar petir, berarti tempat ini sangat berbahaya saat terjadi hujan dengan petir.

dalam selimut kabut
Entah seberapa luas padang sabana ini, sepertinya tampak indah jika cuaca cerah. Jalur sabana ini mengingatkanku pada jalur sabana gunung Lawu via Candi Cetho. Bedanya kalau di jalur Candi Cetho bukit-bukitnya lebih tinggi dan tentunya lebih luas. Hampir setengah jam kami melintas padang sabana. Setelah melewati hutan kecil, sampailah kami di puncak gunung Prau. Puncak hanya ditandai dengan patok kecil yang sudah rusak dan banyak coretan. Hanya ada dua tenda di sana, sepertinya para pengunjung lebih tertarik mendirikan tenda di spot sunrise daripada di puncak. Menuju pos 3, jalur relatif landai dan dapat ditempuh dalam waktu kurang dari 20 menit saat turun. Pos 3 merupakan percabangan rute dengan jalur Dieng, karena itu tidak dibolehkan mendirikan tenda di sini.

patok puncak yang terabaikan
Beberapa ratus meter dari puncak jalur bercabang dua lagi, arah kiri menuju basecamp Kalilembu sedangkan arah kanan menuju basecamp Dieng. Setelah percabangan itu, jalur menuju pos 2 cukup terjal. Namun pengunjung sudah dimudahkan dengan dibuatnya “anak tangga” di beberapa titik. Selain itu adanya akar-akar pohon yang menjalar di permukaan tanah sangat membantu sebagai pijakan. Menjelang pos 2 terdapat hutan pinus dengan pepohonan yang cukup rapat. Selimut kabut yang masih cukup pekat memberi kesan mistis pada hutan pinus ini.

menuju pos 2, menuruni jalan setapak yang cukup terjal
Sekitar 10 menit melintasi hutan pinus, sampailah kami di pos 2. Lokasi pos 2 berada di tempat terbuka yang sempit. Ditandai dengan papan bertulis “Pos 2 Bukit Pandang” di bawah pohon cemara kecil. Cukup lama kami berada di pos 2, istirahat sambil memandang layar ponsel masing-masing. Di pos 2 ini sinyal seluler hampir semua operator cukup kuat. Kami bertiga menggunakan kartu SIM yang berbeda, dan semuanya bisa digunakan untuk internetan. Jalur pendakian ini sangat bersahabat, tak ada diskriminasi terhadap pelanggan operator tertentu. Kalau biasanya yang terlayani jaringan seluler di daerah gunung hanya pengguna operator elit saja. Di sini pengguna operator yang biasanya termarjinalkan seperti aku pun bisa menikmati layanan internet.

papan pos 2 dan cemara kecil
Turun dari pos 2, langsung menemui jalur yang cukup terjal di kawasan hutan pinus. Derajat kecuramannya mirip dengan jalur pos 3 menuju pos 2 tadi. Namun seperti jalur sebelumnya, di jalur ini pun pengunjung dimudahkan dengan anak tangga yang dibuat pengelola di banyak titik. Anak tangga yang dibuat cukup membantu sebagai pijakan yang relatif aman saat tanah dalam keadaan basah dan licin seperti ini. Namun tetap saja, pengunjung dituntut untuk hati-hati terutama saat tanah dalam keadaan basah setelah hujan. Beberapa kali kami sempat terpeleset akibat licinnya tanah.

Selepas hutan pinus, jalur relatif landai. Jalan setapak melipir bukit, berkelok-kelok mengikuti alur lekukannya. Sisi kiri jalan terbentang lanskap lembah di kaki gunung Prau. Suara gemercik air terdengar dari kedalaman lembah yang tak tampak dasarnya tertutup rimbunnya pepohonan. Lanskap yang tampak masih alami dibanding sisi kaki gunung lain yang sudah dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan. Sementara itu bunga Aster liar masih bisa ditemui di jalur ini. Di sepanjang jalur Kalilembu warna-warni bunga Aster menghiasi tepi jalan setapak. Bunga Aster atau dikenal juga dengan nama bunga Daisy juga banyak ditemui di gunung Prau terutama di spot sunrise. Namun bunga ini sepertinya hanya mekar di akhir tahun, karena dalam beberapa kali kunjungan ke gunung  Prau di awal dan tengah tahun bunga Aster ini tak tampak satu tangkai pun.                         

bunga di tepi jalan
Sebelum sampai pos 1 mulai banyak didapati tanaman Carica. Berbeda dengan kebun Carica di tempat lain, di sini tanaman Carica tumbuh di lokasi yang acak dan dengan ukuran berbeda-beda. Tanaman Carica mirip seperti pepaya tapi ukuran buahnya lebih kecil. Carica banyak ditanam di kawasan Dataran Tinggi Dieng. Buah Carica biasanya diolah menjadi manisan dan merupakan oleh-oleh khas Dieng. Ada teori menarik diungkapkan seorang kawan ahli ekonomi, bahwa Carica sebenarnya sama seperti buah pepaya pada umumnya. Namun karena ditanam di daerah bersuhu dingin, buahnya mengkerut rasanya pun masam dan jadilah buah Carica yang kita kenal selama ini.

pohon carica di tengah hutan
Jalur tetap landai hingga kita sampai di pos 1. Tak jauh dari pos 1 terdapat shelter bambu bertuliskan “Selamat Datang di Jalur Pendakian Gn Prau Kalilembu”. Di bawahnya terdapat tulisan motivasi “Dengan diawali doa dan senyuman, maka langkah kita menjadi ringan”. Dari depan shelter tampak lanskap perkebunan yang mengikuti kontur berbukit. Setidaknya tampak tiga warna yang kontras yaitu hijau (tanaman), coklat (tanah), dan putih (plastik penutup). Ketiga warna itu mendominasi lanskap perkebunan yang dari kejauhan tampak seperti susunan mozaik dengan bentuk beragam.

shelter "Selamat Datang"
Jalan setapak menyempit memasuki kawasan perkebunan warga. Sangat sempit, bahkan di beberapa titik lebar jalan tak sampai 30 cm. Harus hati-hati, kalau tidak ingin terperosok dan jatuh ke area kebun yang cukup dalam. Tebing di satu sisi dan jurang (sebut saja demikian meski hanya sedalam 1 – 2 meter) di sisi lain dengan jalan setapak sempit. Entah bagaimana jika berpapasan dengan pengunjung lain.

jalan setapak sempit di area perkebunan
Pemandangan pun berganti dari perkebunan menjadi area perkampungan, menandakan sudah dekat dengan basecamp. Dari kejauhan terlihat beberapa petak perkampungan. Bukit dan lembah menjadi pemisah antar kampung. Tampak pula jembatan yang menghubungkan dua bukit kecil. Dari jalan setapak kecil, jalur berubah menjadi tangga beton di antara rumah penduduk. Tangga yang dilalui tidaklah tinggi, sekitar 5 menit sudah sampai bawah. Tangga jalur pendakian berada tepat di pertigaan jalan kampung. Dari pertigaan itu jarak ke basecamp hanya sekitar 200 meter saja.

dusun Kalilembu
Kata salah seorang penjaga basecamp, waktu tempuh menuju puncak normalnya sekitar 2 – 2,5 jam. Waktu tempuh kami dari basecamp ke puncak pun juga sekitar 2 jam. Tapi jarang ada pengunjung yang bermalam di puncak, mereka kebanyakan lebih memilih mendirikan tenda di spot sunrise. Dibutuhkan waktu setidaknya setengah jam untuk mencapai spot sunrise melewati padang sabana yang juga dikenal sebagai bukit Teletubbies. Jadi total dibutuhkan waktu 2,5 – 3 jam untuk mencapai spot sunrise dari basecamp Kalilembu. Agak lebih jauh dibanding jalur Patak Banteng karena jalur Kalilembu lebih banyak melipir memutari bukit. Hanya jalur hutan pinus hingga pertemuan dengan jalur dieng saja yang agak terjal, selebihnya jalur relatif landai.

Jika ingin melihat penampakan golden sunrise istimewa, maka waktu yang tepat adalah saat musim kemarau. Karena besar kemungkinan terbitnya matahari akan terpampang nyata, tanpa selimut kabut yang menghalangi. Namun musim kemarau tidak menjamin pagi selalu cerah, ada kalanya kabut pagi menyapa terlalu lama dan enggan pergi. Cuaca di gunung memang sulit diprediksi, saat musim hujan pun ada kemungkinan paginya cerah ceria. Butuh keberuntungan memang untuk mendapat momen terbaik. Dan kadang keberuntungan tidak datang dalam satu kali kesempatan. Kalau sekarang kurang beruntung, bisa dicoba lagi di lain kesempatan. Gunung Prau tak pernah membosankan untuk dikunjungi.  
salah satu momen pagi terbaik di gunung Prau (Juli 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar