Kamis, 04 Februari 2016

Malam di Sabana Sumba, Menikmati Benderang Bulan dan Dinginnya Angin Musim Kering

jelang malam musim kering, langit Sumba biasanya cerah
Sudah sejam yang lalu matahari menghilang di balik perbukitan. Kini gantian rembulan muncul, menyembul dari sebuah bukit. Bulat dan begitu terang, kebetulan saat ini waktunya bulan purnama. Awalnya sinar bulan terlihat biasa saja, sama seperti bulan purnama yang biasa kulihat di tempat lain. Tapi makin lama, sinar bulan makin terang. Dari jendela tampak dengan jelas puncak bukit belakang sekolah. Seperti ada lampu yang dinyalakan, setiap sudut tak luput dari limpahan cahaya bulan. Bukit belakang sekolah yang biasanya hanya tampak temaram, kini bisa terlihat dengan jelas detail rumputnya yang bergoyang-goyang tertiup angin malam.

Bertandang ke Kampung Maling

bukan di kampung maling, cuma foto salah satu lokasi aja (biar ada gambarnya)
Sejak awal kami tiba di Sumba Barat ini sudah diwanti-wanti sama orang sini kalau harus hati-hati jika pergi ke suatu kampung. Katanya di kampung itulah para begal dan rampok berasal. Konon katanya mereka tak segan-segan membunuh korban saat merampas motornya. Tidak hanya di Sumba Barat saja, daerah operasi mereka meliputi hampir seluruh pulau Sumba. Sepak terjang para begal dari kampung itu sudah terkenal di seantero Sumba. Katanya para begal itu sebagian juga punya ilmu kebal dan terkenal berani. Sialnya, ada sekolah dan beberapa rumah yang harus kami kunjungi di sana.

Senja Sempurna Sabana Sumba

gedung sekolah (Tim M)
Sore di Waitama biasa kami habiskan untuk bersantai-santai sambil menunggu waktu berbuka. Dua kawan cewek biasanya sibuk masak, sedangkan kami para lelaki sibuk melayani ajakan anak-anak main bola di lapangan sekolah. Cukup adil mungkin karena kami punya tugas dan kesibukan masing-masing. Meski kadang kami ikut juga bantu para nona, sekadar ngidupin kompor atau angkut air dari luar ke dalam.

Susahnya Air di Tanah Sumba

halaman sekolah di Waitama (Tim M)

Waitama, sebuah kampung kecil di pedalaman Sumba Timur. SD SMP Satu Atap Waitama adalah sekolah tujuan kami. Di sekolah ini pula kami tinggal, tepatnya di ruang kelas 9 yang masih belum diisi. Pada tahun ajaran 2013/2014 ini SMP Waitama dibuka setahun yang lalu sehingga baru menerima dua angkatan. Setelah menimbang-nimbang dan mikir-mikir, kami serta pengelola sekolah sepakat menggunakan ruang kelas 9 sebagai beskem. Di sinilah ruang kerja, kamar, ruang makan sekaligus dapur kami.

“Mati Rasa” dan Musiknya Orang Manggarai

bersiap menyanyi lagu lokal, saat menyambut kedatangan tim (Tim M)

“Sungguh.. sayang beta mati rasa Nona, cinta yang beta kasi cuma pelarian semata...” itulah sepenggal lagu berjudul “Mati Rasa” yang sering kudengar dalam berbagai kesempatan. Mulai dari di dalam mobil dari Ende menuju Borong hingga rumah-rumah penduduk. Lagu “Mati Rasa” bisa dibilang sangat ngehits pada tahun 2013. Mulai dari Sulawesi hingga Papua, termasuk NTT lagu ini seringkali diputar di berbagai tempat. Anak-anak di kampung pun seringkali terdegar mendendangkan lagu Ambon ini. Lagu ini memiliki beberapa versi, dan versi yang sering diputar konon kabarnya dinyanyikan oleh Pasha “Ungu”.

Melihat Lingko, Harapan yang Jadi Kenyataan


sawah lingko yang baru masuk masa tanam (Tim M)

Sekitar tiga bulan lalu, seorang kawan menunjukkan foto epiknya hasil dari traveling di Flores. Dari layar ponselnya tampak hamparan sawah dengan pola jaring laba-laba jika dilihat dari atas. Sawah yang saat itu sedang hijau-hijaunya terlihat sangat menakjubkan karena polanya yang unik. Dia pun cerita pengalamannya selama di Flores hingga sampai ke sawah lingko itu. Sempat ngiler juga, pengen rasanya ke sana. Tapi apa daya, uang tak ada. Aku pun hanya bisa bertanya dalam hati, kapan bisa ke sana?  Dan jawabannya pasti “kapan-kapan”

Kembali ke Ruteng, Meresapi Dinginnya Hawa Pegunungan Manggarai

langit biru Elar sebelum kembali ke Ruteng

Hampir seminggu berada di Elar, kembali gunung harus didaki dan lembah harus dilewati. Penat, lelah, dan capek sudah pasti. Namun dengan keterbukaan dan keramahan orang Manggarai, itu semua jadi terobati. Kini, sudah saatnya kami kembali melanjutkan tugas di tempat lain yang sudah menanti.