Senin, 11 Januari 2016

Di Sini, Harga Kangkung Sepuluh Ribu Seikat

kebun sekolah
Menu makan siang kami kali ini sangat spesial. Tak ada sarden kalengan yang kalau cium baunya saja udah berasa enek. Sayuran segar, kangkung dan terong yang barusan dipetik dari kebun menjadi pembeda. Kalau lauk lain ya masih tetep telur dadar, tapi gapapa lah asal bukan sarden. Selama beberapa minggu terakhir ini kami jarang makan sayur. Di daerah pesisir Teluk Bintuni, pertanian bukanlah budaya dari masyarakat setempat. Kalaupun ada yang bertani, mereka adalah para transmigran yang kebanyakan berasal dari Jawa. Baru beberapa tahun terakhir ini pemda setempat membekali warga di kampung-kampung pengetahuan tentang pertanian salah satunya di Tomage ini. Perwakilan warga tiap kampung di Fakfak diberikan pelatihan singkat mengenai pertanian. Mereka dikirim ke Malang untuk selanjutnya diberi tanggungjawab mengembangkan ilmunya di kampung masing-masing.

Nikmatnya Manisan Pala Buatan Ibu Guru

sekolah tempat Ibu Guru mengabdi

“Mas.. masuk sudah, di dapur su ada manisan pala”, Ibu guru menyuruhku masuk ke dapur. Di sana sudah ada Pak Eli yang baru saja selesai makan. Dia pun menyuruhku buat makan manisan Pala yang terhidang di meja makan. Pertama mengunyahnya terasa aneh, agak pahit, berbau kuat dengan nuansa hangat ketika masuk ke tenggorokkan. Tapi selanjutnya makin terbiasa dan mulai menikmatinya. Manisan pala ini menjadi teman ngobrol kami, menghabiskan waktu siang yang lengang.

Tomage, Kampung yang Tersembunyi di Belantara Hutan Papua.

secarik pelangi di langit teluk Bintuni

Pagi di muara Otoweri, hening sesekali ditimpali kicauan burung di rerimbunan hutan. Langit sedikit berawan membiaskan cahaya matahari yang mulai menampakkan wujudnya. Di ufuk barat langit memerah berhiaskan secarik pelangi. Jangkar masih mengakar di dasar muara. Sejak malam tadi ketinting kami berlabuh di muara Otoweri sebelum melanjutkan perjalanan ke kampung Tomage, kampung yang letaknya berada di daerah hulu.

Bermalam di muara Otoweri

tiduran di atap ketinting, melepas lelah  

Nasi yang terhampar di nampan kecil itu masih mengepulkan asap tipis. Kemudian sarden yang juga masih hangat ditumpahkan di atas nasi disusul dengan mi instan yang baru saja matang. Sebagai sentuhan akhir, beberapa potong telur dadar dijadikan sebagai topping. Seketika itu juga tangan-tangan kami segera menjamah makanan yang sudah melambai-lambai itu. Nasi yang sudah becek dengan kuah sarden kalengan itu makin becek akibat beberapa tangan masih lembab karena barusan cuci tangan pakai air laut. Potongan telur dan ikan sarden menjadi incaran, siapa cepat dia dapat. Makan bareng dengan nampan seperti ini memang sudah jadi kebiasaan kami terutama saat berada di ketinting. Tak peduli cowok maupun cewek, semua bisa ikutan makan kembulan. Satu nampan memang tidak cukup buat kami bersebelas (termasuk awak kapal). Karena itu kami punya satu nampan lagi dan beberapa piring sebagai cadangan.

Kamis, 07 Januari 2016

Menembus Ganasnya Gelombang Teluk Bintuni

nakhoda dan asistennya serta ketua tim (dalam bingkai) saat badai 

Hujan deras mengiringi perjalanan menuju jetty. Kami putuskan berangkat pagi-pagi benar karena perjalanan menuju kampung selanjutnya butuh waktu seharian. Tomage, adalah nama kampung yang akan kami tuju selanjutnya. Sebuah kampung kecil di tengah hutan, dan masuk wilayah kabupaten Fakfak. Katanya untuk ke sana kita harus menyusuri sungai yang berkelok-kelok. Karena itu nakhoda menyarankan berangkat pagi-pagi agar saat masuk ke sungai keadaan masih terang. Akan sangat riskan jika memaksakan masuk ke sungai saat gelap karena sungai relatif sempit dan di kanan kirinya berupa hutan lebat.

Kisah Sunyi dari Kampung Wimro yang Sepi


pabrik udang Jayanti yang dulu pernah jaya

Wimro, kampung kecil yang berada di seberang RKI tujuan kami selanjutnya. Beda dengan RKI, Wimro cukup sepi. Tak nampak jajaran kapal yang tertambat di jetty. Tak ada warung atau kios di dekat jetty, hanya terlihat beberapa rumah berdinding kayu kusam saja. Sepanjang jalan kampung yang kami lewati hanya tampak beberapa warga siang itu.

Menikmati Papua Rasa Jawa (Nyaris) Dapat Bonus "Susu Gantung"


selamat datang di Rumah Kayu Indonesia
Sekitar dua jam berketinting dari Babo sampailah kami di kampung Sidomakmur. Kampung Sidomakmur, kok namanya njawani? Macam kampung di Jawa aja. Katanya sih di sini emang banyak orang Jawanya. Jetty sudah penuh sesak oleh beberapa kapal, kami hanya bisa merapat di kapal terdekat. Lompat dari satu kapal ke kapal lain sampailah di atas jetty. Banyaknya barang bawaan membuat kami harus bersusah payah membawanya ke atas jetty. Untungnya beberapa orang di sekitar jetty membantu kami dengan sukarela.