aktivitas bongkar muat di sebuah dermaga |
“Es teh di Papua itu, harganya 12
ribu lho. Lha wong bawanya aja pake pesawat..”, kata salah seorang kawan.
Sebuah guyonan yang sering dia lontarkan sebagai pencair suasana saat ngobrol
dengan warga kampung. Saya yang sudah berulang kali mendengar ceritanya, sampai
bosan. Namun bagi yang pertama kali mendengarnya, akan tertawa keheranan dan
pasti penasaran akan kelanjutan “cerita dari tanah Papua”. Saya pun juga
bereaksi demikian, ketika mendengar ceritanya untuk pertama kali. Kalau tidak
terpaksa, saya tak akan membelinya. Hanya untuk memanjakan kerongkongan
sekejap, harus mengorbankan jatah makan di Jogja selama sehari. Sebenarnya,
semahal itukah harga segelas es teh di Papua?
Tidak juga, selama dua bulan
berada di Papua Barat tidak pernah saya temukan es teh seharga 12 ribu. Bahkan
di kampung Sidomakmur (Teluk Bintuni) saya hanya perlu membayar 3 ribu untuk
menebus segelas es dawet (biasanya es dawet cenderung lebih mahal dari es teh).
Sebuah jawaban yang baru bisa saya temukan beberapa bulan setelah saya
penasaran dengan cerita “es teh 12 ribu” itu. Tidak semua harga barang di Papua
mahal, tapi hampir semua emang mahal. Kasus es dawet seharga 3 ribu (setara
dengan harga es dawet di Jogja) hanya ditemukan di satu kampung saja. Sama
kasusnya seperti harga seikat kangkung (tak jauh beda banyaknya dengan yang
dijual di Jogja) yang harganya 10 ribu di kampung lain. Sungguh “sesuatu” rasanya ketika menyantap
kangkung mahal itu.
Banyak faktor yang mempengaruhi
harga barang di Papua. Biaya transportasi yang mahal, jadi alasan utamanya.
Masih belum banyak barang yang diproduksi di Papua. Jadi hampir semua barang
yang dijual di sana, harus didatangkan langsung dari pulau lain terutama Jawa.
Perjalanan panjang akan ditempuh sekantong teh celup dari pabriknya yang ada di
Jawa, sampai di gelas Pace/Mace di Papua sana. Mulai dari perjalanan darat ke
Surabaya, dilanjutkan numpang kapal ke Sorong, kemudian lanjut ke Babo (kampung yang menjadi salah satu pusat
perekonomian di Kabupaten Teluk Bintuni), masih lanjut lagi naik ketinting
(kapal motor kecil yang menjadi moda transportasi utama antar kampung di Teluk
Bintuni) dan sampailah di kampung yang dituju. Itu baru transportnya saja,
belum dihitung biaya TKBM (Tenaga Kerja Bongkar Muat). Para TKBM selalu bersiap
menyambut kapal barang yang akan berlabuh. Mereka bertugas membawakan
barang-barang ke gudang atau kios. Biaya angkut beragam, tergantung jenis,
berat, dan volume barang. Sebagai gambarannya, seorang TKBM bisa dapat 3 ribu
untuk mengangkut sekardus teh celup dari dermaga ke kios yang berjarak 400
meter. Makin banyak kampung yang disinggahi, makin bengkak pula harga suatu
barang.
Normalnya, harga barang di Papua
bisa mencapai 2 sampai 3 kali lipat dari harga barang di Jawa. Contoh kecil sebotol
cola yang di Jawa dibanderol dengan harga 3 ribu, di Sorong dijual seharga 5
ribu sementara di kampung Sidomakmur dihargai 8 ribu. Selisih harga yang lebih
besar yaitu antara Sorong dan Sidomakmur, padahal jaraknya lebih dekat
dibanding Jawa-Sorong. Ini menunjukkan antara Sorong-Sidomakmur terdapat
komponen biaya yang lebih banyak dan lebih besar seperti biaya transportasi dan
ongkos TKBM.
Untuk contoh ekstrim seperti es
dawet seharga 3 ribu dan seikat kangkung 10 ribu, ada beberapa kemungkinan yang
menjadi penyebabnya. Pertama es dawet 3 ribu, di kampung itu ada kios grosir
yang kulakan (membeli barang untuk dijual kembali) dari Jawa langsung sehingga
memotong rantai distribusi yang berarti meminimalkan biaya, dan harga jual
relatif lebih murah. Dengan adanya kios tersebut, pedagang dawet mendapat harga
beli bahan baku yang cenderung murah. Kedua seikat kangkung 10 ribu di kampung
Tomage (pedalaman Fakfak). Bisa jadi hal itu disebabkan karena faktor
kelangkaan. Masih sedikit warga yang menanam sayuran. Kebanyakan mereka masih
tergantung dari hasil hutan seperti sagu, hewan buruan, dan dedaunan.
Kenyataan seperti ini membuat
saya yang baru pertama ke Papua merasa miskin. Bagaimana tidak, rupiah saya
berkurang nilainya menjadi setengah bahkan sepertiganya. Meski sudah banyak
dengar cerita tentang mahalnya biaya hidup di Papua, tetap saja kaget ketika
mengalaminya secara langsung. Hidup di Papua memang mahal.
Perjalanan Segalon Air, Sebuah Ilustrasi Rantai Distribusi di Teluk
Bintuni
Untuk menyediakan kebutuhan akan
air galon, pedagang kios di Sidomakmur harus kulakan dari Babo sebagai tempat
produksi air galon terdekat. Jarak Sidomakmur ke Babo tak lebih dari 7km, dapat
ditempuh sekitar dua jam menggunakan ketinting. Harga kulakan air galon di Babo
13 ribu. Ongkos TKBM Babo (bawa galon dari pabrik ke dermaga dengan jarak
sekitar 500m) 4 ribu/galon air. Sewa ketinting Babo-Sidomakmur dihitung per
barang, 3 ribu/galon air. Sesampai di Sidomakmur ada lagi ongkos TKBM (bawa
galon dari dermaga ke kios berjarak sekitar 600m) 6 ribu. Biaya total yang
harus dikeluarkan pedagang untuk kulakan segalon air adalah 26 ribu, mereka
menjualnya ke konsumen dengan harga 30 ribu.
Fakta:
- Terdapat selisih harga lebih dari dua kali lipat antara harga air galon di Babo dengan di Sidomakmur yang jaraknya tak lebih dari 7km.
- Ongkos TKBM untuk segalon air mencapai 9 ribu, hampir sama dengan harga barang itu sendiri.
Kalau dipikir ya memang masuk akal juga harga barang di Papua menjadi mahal karena biaya transportasinya memang besar. Tapi, kalau tidak ada kiriman barang dari Jawa, apa mungkin Papua jadi lumpuh ya?
BalasHapusbisa jadi lumpuh mas, terutama di perkotaan. Lha wong kebanyakan kebutuhan sehari-hari diambil dari Jawa. Intinya orang-orang sana sudah dibiasakan hidup konsumtif dan banyak barang yang biasa dikonsumsi berasal dari Jawa.
Hapus