Senin, 21 Juli 2014

Senandung Merdu dalam Kesunyian Kampung Wimro

Hitam kulit, keriting rambut... Aku Papua” seorang pemuda berkulit hitam dan berambut keriting pendek mendendangkan lagu “Aku Papua”. Diiringi petikan gitar, dia bernyanyi di teras rumahnya yang terletak di pinggir kali. Suaranya yang merdu khas orang timur memecah kesunyian kampung Wimro sore itu.


1391754555637453696
kampung Wimro (dok. pribadi)

Wimro, sebuah kampung kecil di kawasan Teluk Bintuni Papua Barat memiliki sejarah yang unik. Kampung ini dulunya merupakan area pabrik udang Jayanti milik keluarga Cendana. Di era 90-an, perusahaan udang Jayanti mengalami kejayaan di Wimro. Ribuan karyawan menyesaki area pabrik dan tinggal di mess-mess yang disediakan perusahaan. Orang-orang dari luar daerah terutama transmigran berbondong-bondong datang menambah populasi di Wimro. Bahkan dibangun juga kampung transmigran di sebelah Wimro yang dinamakan kampung Sidomakmur. 
Udanglah yang menjadi daya tarik bagi pengusaha dan pendatang yang membuat perekonomian di Wimro berkembang pesat. Berton-ton udang dijaring dan kemudian diolah di pabrik. Perairan Wimro memang surganya nelayan udang. Tak perlu jauh-jauh berlayar, cukup mendayung sampan beberapa menit dan menebar jala. Tak lama kemudian jaring sudah dijejali udang. Bisa dibayangkan berapa hasil yang didapat kapal besar milik Jayanti waktu itu. Namun, kejayaan Jayanti tidak berlangsung lama. Awal tahun 2000-an, perusahaan itu bangkrut. Tidak hanya pabrik udangnya saja tetapi pabrik loging di Tofoi (masih di area Teluk Bintuni) milik Jayanti Group juga ikut tutup. Di masa jayanya, Jayanti memang memiliki beragam usaha di Teluk Bintuni. Akhirnya perusahaan milik penguasa Orde Baru itu kolaps seiring jatuhnya kekuasaan Orba di akhir 90-an.
Tutupnya pabrik, membuat kampung menjadi sepi kembali. Para karyawan yang sudah tak punya pekerjaan lagi pergi meninggalkan kampung. Namun ada juga beberapa yang bertahan di sana sampai sekarang. Mereka memilih bertahan dengan berbagai alasan salah satunya karena hasil laut yang masih menjanjikan. Meski sudah berkurang banyak, udang di perairan Wimro masih dirasa cukup layak untuk dijadikan “pegangan”. Selain udang, masih ada kepiting mangi-mangi (rawa) yang juga memiliki nilai ekonomis cukup tinggi. Sampai sekarang, warga masih bisa dengan mudah mendapatkan kepiting. Menggunakan perangkap kawat berbentuk balok, mereka tinggal memasangnya di pinggir rawa. Tak sampai sehari, perangkap itu sudah penuh sesak oleh kepiting dengan ukuran yang beragam.


1391754633917053439
nelayan penangkap kepiting (dok. pribadi)
13917546781817900356
kepiting mangi-mangi yang berhasil ditangkap (dok. pribadi)

Sebenarnya ada beberapa perusahaan yang mencoba menghidupkan pabrik udang di Wimro karena hasil udang masih cukup menjanjikan. Namun karena beberapa kendala, pabrik itu kembali tutup. Saat saya ke Wimro pada November 2013, pabrik udang kembali dibuka oleh PT Timika Samudera sejak 4 bulan sebelumnya. Beberapa warga sekitar direkrut sebagai karyawan. Kapal-kapal yang mangkrak di jetty pabrik, sebagian kembali dioperasikan. Menurut pengakuan seorang nahkoda, dalam sekali trip (2 minggu) mereka bisa menjaring udang 3 ton dengan kapal besarnya. Jika harga udang 50 ribu/kg, maka udang 3 ton bernilai 150 juta. Jadi dalam sebulan, satu kapal bisa menghasilkan 300 juta. Sebuah hasil yang cukup menjanjikan meski setelah dikurangi berbagai biaya operasional. Meski demikian, dikabarkan pabrik udang itu akan tutup beberapa bulan lagi. Alasannya adalah karena adanya konflik dengan warga lokal pemilik tanah adat.


1391754783143043357
kapal milik perusahaan udang bersandar di jetty pabrik (dok. pribadi)

Tak terlihat kesibukan di sekitar pabrik. Hanya sayup-sayup terdengar suara mesin dari dalam pabrik. Sementara mess-mess di sekitar pabrik tampak terbengkalai, hanya beberapa kamar saja yang dihuni karyawan. Di jetty, banyak kapal teronggok begitu saja karena sudah lama tidak terpakai. Bahkan sebagian sudah menjadi onggokan besi tua tak berguna. Meski sudah beroperasi kembali namun kapasitas produksinya masih belum optimal.


13917548361075256546
area pabrik udang Wimro (dok. pribadi)
13917548741401899753
kapal yang terbengkalai (dok. pribadi)

Tak lebih dari 100 KK yang mendiami kampung utama. Selebihnya, populasi terkonsentrasi di di mess-mess sekitar pabrik yang dihuni karyawan yang kebanyakan berasal dari luar kampung. Tidak banyak warga kampung yang bekerja di pabrik. Mereka lebih banyak bekerja sebagai nelayan udang dan kepiting. Sunyi, begitu kesan pertama saya ketika memasuki kampung ini. Jalanan utama tampak sepi, hanya terlihat beberapa orang beraktivitas di dalam rumah. Selain karena penduduknya yang sedikit, siang itu warga masih banyak yang bekerja baik itu melaut maupun kerja di pabrik. 
Sunyi, lagi-lagi saya rasakan di kampung itu. Empat hari tinggal di sana tidak sekalipun saya dengar suara adzan. Muslim memang bukan lagi menjadi mayoritas di Wimro. Dahulu memang mayoritas warga yang didominasi pendatang beragama Islam. Karena itu, di kampung ini terdapat masjid yang cukup megah. Sampai sekarang masjid itu tetap berdiri kokoh. Ironisnya, tidak terlihat satupun warga yang sholat di masjid itu. Padahal di sekitarnya terdapat beberapa keluarga Muslim. Memang takmir masjidnya sedang pergi melaut, tapi tidak adakah warga yang berinisiatif memakmurkan masjid? Ah... kampung sunyi ini terlalu sulit untuk saya pahami.


13917549471100875482
masjid megah yang sepi (dok. pribadi)

Kampung yang terlupakan, begitulah kira-kira kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan Wimro. Sisa-sisa kejayaan tempo dulu hanya dapat dilihat dari pabrik udang yang saat ini “mati segan hidup tak mau”. Nyaris tak ada fasilitas umum di kampung ini. Untuk sekolah anak-anak harus menyeberang ke kampung sebelah karena tidak ada sekolah di sini. Bahkan seorang ibu harus membawa anaknya yang sering sakit-sakitan menyeberang ke Sidomakmur untuk mendapatkan perawatan di Pustu (Puskesmas Pembantu). 
Senandung dari sang pemuda sudah tak terdengar lagi. Sunyi pun kembali, mengiringi sang surya menuju peraduannya. Beberapa perahu tertambat di jetty, kosong ditinggalkan pemiliknya. Air begitu tenang, tak mau membuat keriuhan dengan riak gelombangnya. Mentari sudah menghilang di balik cakrawala. Kini, merahnya langit senja menaungi kampung sunyi itu.


1391755067529330118
senja yang sunyi di kampung Wimro (dok. pribadi)

Catatan Kecil: Cinta Bersemi di Jayanti


13917549982123306154
salah satu gedung di pabrik udang Wimro (dok. pribadi)

Jayanti, sebuah perusahaan pengolahan udang besar dengan ribuan karyawan. Orang Jawa, Sulawesi, Maluku, dan tak ketinggalan orang asli Papua bekerja di tempat itu. Banyak dari mereka yang masih lajang. “Terjebak” di sebuah kampung kecil di pelosok Papua dalam waktu yang lama membuat  sering terjadi cinlokdiantara mereka. Mess yang terpisah antara laki-laki dan perempuan tak menyurutkan langkah seorang lelaki untuk mendapat perhatian wanita pujaannya. Seringkali mereka menyambangi mess perempuan untuk mengajaknya kencan atau sekedar cari-cari perhatian. Di sinilah kawin campur terjadi dan melahirkan anak-anak Indonesia, bukan anak Jawa, Maluku, atau Papua. Belasan tahun kemudian, beberapa keluarga memilih untuk menetap di kampung tempat mereka dipertemukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar