Selasa, 22 Juli 2014

Safari Masjid Papua Barat (2): Sepinya Surau Kami



1405406496297737940
luas dan lengang

Di seberang kampung Sidomakmur, terdapat kampung Wimro. Sama seperti Sidomakmur, Wimro dulunya adalah wilayah transmigrasi. Pabrik udang menjadi daya tarik pendatang untuk mengadu nasib di sana. Pabrik udang Jayanti yang sempat berjaya di era 90-an mempekerjakan ribuan buruh. Jayanti adalah perusahaan milik keluarga Cendana yang memiliki beberapa unit usaha di Teluk Bintuni, salah satunya adalah pabrik udang di Wimro. Seiring dengan runtuhnya era orde baru, pada awal 2000-an Jayanti bangkrut dan menghentikan kegiatan operasional pabriknya. Perlahan Wimro semakin sepi ditinggal para buruh yang kehilangan pekerjaannya.

1405406650387075953
jalan masuk kampung Wimro

Tak lebih dari 100 KK tinggal di kampung utama. Itu pun sebagian dari mereka adalah nelayan yang sering meninggalkan kampung beberapa hari saat melaut. Begitu sepi kampung itu, sama seperti masjidnya yang sepi dari aktivitas ibadah. Masjid Miftahul Huda, sebuah masjid besar nan megah memiliki halaman yang luas. Masjid yang dindingnya terbuat dari kayu itu memiliki atap tumpang berwarna hijau. Serambi masjid berlantai tegel hitam dibatasi pagar kayu. Ruangan dalam masjid begitu luas, dengan lantai keramik putih dan keramik merah yang menjadi pembatas shaf. Di empat sisi dindingnya terdapat kaligrafi ayat-ayat suci Al Quran. Banyak kipas angin menggantung di langit-langit, siap sedia untuk membuat nyaman para jamaah di tengah cuaca Papua yang sangat panas. Masjid megah itu mampu menampung ratusan jamaah.

1405406714914945614
masjid Miftahul Huda Wimro

Namun kini tak lagi didapati masjid penuh sesak oleh Jamaah. Selama lima hari saya di sana, tak satu warga pun terlihat sholat di masjid. Bahkan saya tak pernah sekalipun mendengar suara adzan berkumandang dari masjid itu. Bukannya sudah tidak ada muslim lagi di sana. Justru penghuni beberapa rumah di dekat masjid beragama Islam. Memang di kampung Wimro ini, umat muslim cukup sedikit karena sudah banyak di antaranya yang pindah akibat tidak memiliki pekerjaan lagi di sana. Sebenarnya di area masjid sendiri tinggal sepasang suami-istri, si suami didaulat menjadi takmir masjid. Selama kami di sana kebetulan Bapak itu sedang melaut sehingga aktivitas di masjid  berhenti total. Jika si Bapak sedang di rumah, dialah yang mengumandangkan adzan dan mengimami sholat jika ada jamaah.

14054068461031178919
Entah sejak kapan aktivitas ibadah di masjid ini berhenti total dan mengapa hal itu bisa terjadi. Yang pasti setiap memasuki ruangan masjid, hanya kesunyian yang menyambut kami. Tak ada barisan rapat jamaah yang sedang sholat, tak terdengar keriuhan anak-anak yang sedang mengaji, tak pula terdengar suara adzan. Debu tipis menyelimuti lantai, meski demikian keramik putih itu masih bisa memantulkan bayangan walaupun tidak sesempurna dulu. Beberapa eksemplar Al Quran teronggok rapi di dalam lemari, sepertinya sudah lama tidak dijamah. Masjid Miftahul Huda Wimro, masjid megah yang ditinggalkan. Sampai sekarang masjid itu masih berdiri dengan kokoh meski hanya segelintir orang yang peduli terhadapnya.

Tak ingin ikut larut dalam kesepian, sudah saatnya untuk berpindah ke kampung selanjutnya. Destinasi selanjutnya adalah kampung Otoweri. Untuk menuju ke sana, kita harus mengarungi perairan terbuka teluk Bintuni menggunakan ketinting. Perjalanan cukup mulus ketika melewati sungai besar di kawasan Wimro. Memasuki muara, ombak makin meninggi disertai angin kencang. Sempat kembali ke sungai untuk menunggu badai reda, akhirnya siangnya kapal bisa melewati muara dan lanjut mengarungi teluk Bintuni.
Perjalanan seharian harus kami tempuh setelah terjebak badai di muara. Jam 8 malam sampailah kami di Otoweri. Otoweri masuk dalam wilayah Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Kampung kecil ini hanya dihuni sekitar 70-an KK yang mayoritasnya bekerja sebagai nelayan. Cukup banyak pendatang seperti orang Buton, Bugis, dan Jawa yang tinggal di sini. Namun orang Papua masih jadi yang terbanyak. Berbeda dengan beberapa kampung sebelumnya, orang Papua di kampung ini cukup beragam karena terdiri dari beberapa suku dan marga.

14054070771851413516
jalan kampung

Kampung Otoweri hanya memiliki satu tempat ibadah, yaitu Masjid Baburrahman. Dinding masjid ini berupa tembok berwarna putih. Atapnya bersusun tiga, terbuat dari seng yang dicat hijau. Di puncak atap terdapat kubah kecil dengan hiasan bintang di atasnya. Di sekeliling masjid terdapat pagar kayu setinggi setengah meter yang berfungsi mencegah hewan masuk ke area masjid. Serambi masjid dibatasi oleh pagar tembok dengan dua buah pintu di dua sisi.

14054071362092666930
masjid Baburrahman Otoweri

Ruangan utama masjid cukup luas, dapat menampung sekitar 250 jamaah. Lantai masjid berupa keramik putih dan keramik hijau sebagai batas shaf. Terdapat empat tiang penyangga utama terbuat dari kayu besi, jenis kayu ini masih sangat mudah ditemukan di Papua. Terdapat beberapa lampu menempel di langit-langit, namun sayangnya lampu ini tidak berfungsi karena tak ada listrik.

1405407274823830275
ruang utama masjid Baburrahman

Masjid Baburrahman ini bisa dibilang megah dan luas untuk ukuran kampung kecil nan terpencil seperti Otoweri. Namun sangat disayangkan, masjid ini juga sepi dari aktivitas ibadah. Sangat jarang suara adzan dikumandangkan dari dalam masjid. Dari pagi sampai sore hampir tidak ada warga yang berkunjung ke masjid. Hanya pada malam hari saja seseorang datang ke masjid untuk menyalakan pelita. Bahkan saat jumat siang, hanya berkumpul lima orang warga termasuk seorang anak kecil di masjid. Ditambah kami, jamaah sholat jumat hanya delapan orang. Sempat terjadi kebingungan di antara kami karena jamaah terlalu sedikit untuk menunaikan sholat Jumat.

Menurut sang imam, kejadian ini sudah biasa. Siang hari kebanyakan warga laki-laki pergi melaut. Sebenarnya sempat diberlakukan sebuah peraturan bahwa setiap hari Jumat tidak ada kegiatan melaut. Barang siapa yang pergi melaut di hari Jumat dan tidak menunaikan sholat Jumat akan diberi sanksi berupa denda sejumlah uang. Peraturan itu hanya berlangsung beberapa minggu saja, setelah itu kembali ke kondisi semula. Sang Imam sempat menawarkan salah satu di antara kami sebagai orang yang menyerahkan tongkat ke Imam karena orang yang biasa melakukan itu sedang melaut. Karena di antara kami tidak ada yang bisa ritual penyerahan tongkat itu, khotbah pun urung terlaksana. Sang Imam memutuskan untuk melaksanakan sholat sunnah dua rakaat saja.

Hampir semua warga Otoweri adalah Muslim, baik warga asli maupun pendatang. Kondisi ekonomi mereka bisa dikatakan relatif bagus karena ditunjang sektor perikanan yang sangat menghasilkan. Udang sebagai komoditas andalan nelayan di sini sangat mudah diperoleh. Hanya dengan mendayung sampan di sekitar muara, berkilo-kilo udang bisa mereka dapatkan. Jetty/dermaga kampung sering kali dijadikan sebagai tempat bersandar sampan dari kampung sebelah dan kadang sebagai tempat transit ketinting. Bisa dikatakan kegiatan perekonomian di sini cukup ramai. Warga sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing sehingga tidak sempat ke masjid dan bahkan tidak bisa menyisihkan waktu luang untuk menunaikan sholat Jumat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar