Senin, 21 Juli 2014

Meriahnya Pesta Pernikahan Suku Sasak Lombok

Laju mobil kami tersendat lantaran jalan dipenuhi oleh serombongan orang berpakaian adat suku Sasak. Tepat di tengahnya, terdapat seorang perempuan dengan pakaian adat berbeda dari sekelilingnya dan dinaungi payung tradisional. Di belakangnya, tampak segerombolan pemuda yang berjoget tak karuan diiringi musik khas Sasak. Kemeriahan tercipta seketika sore itu dalam upacara Nyongkolan.


13954756601810626289
rombongan Nyongkolan (dok. pribadi)

Nyongkolan adalah sebuah tradisi yang menyertai prosesi pernikahan pada suku Sasak di Lombok. Dalam tradisi ini, sepasang pengantin diarak menuju rumah mempelai perempuan. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan pasangan tersebut ke khalayak, terutama kerabat/warga di sekitar rumah mempelai perempuan karena biasanya seluruh prosesi pernikahan dilaksanakan di tempat mempelai laki-laki.
Riuhnya suara musik disertai semaraknya pengiring pengantin membuat prosesi Nyongkolan menyedot perhatian warga sekitar tak terkecuali pengendara yang kebetulan lewat. Warga berbondong-bondong memadati tepian jalan untuk menyaksikan prosesi pernikahan yang sebetulnya lebih mirip pawai tersebut. Arak-arakan itu biasanya memakan separuh badan jalan sehingga memaksa pengendara untuk melambatkan laju kendaraannya atau bahkan menepi sejenak sampai semua rombongan lewat.


13956557541301788998
rombongan Nyongkolan yang memadati jalan raya

Prosesi Nyongkolan dapat ditemui di seluruh pulau Lombok. Dari mulai jalan kecil antar kecamatan sampai jalan lintas kabupaten. Waktu pelaksanaan biasanya dilakukan di akhir pekan. Dalam perjalanan dari Pujut (Lombok Tengah) menuju Masbagik (Lombok Timur) kami berpapasan dengan 3 rombongan Nyongkolan. Cuaca sore itu mendung dan turun hujan di beberapa tempat. Namun, mendekati daerah yang dilalui rombongan Nyongkolan tak ada setetes air pun yang turun dari langit. Ketika menjauh dari rombongan, titik gerimis kembali menghiasi kaca depan mobil. Hal yang sama terjadi ketika kami berpapasan dengan rombongan nyongkolan di tempat berikutnya.
Macet adalah suatu keniscayaan dalam prosesi Nyongkolan. Pengendara harus rela menunda perjalanan mereka untuk mempersilahkan rombongan lewat. Bagi pengendara motor tidaklah sulit untuk meliuk-liuk melewati celah badan jalan yang tersisa. Namun, untuk pengendara mobil haruslah sabar menanti beberapa saat untuk dapat kembali melanjutkan perjalanan. Biasanya, ada beberapa orang dalam rombongan yang bertugas mengatur lalu-lintas dan memastikan rombongan tidak keluar dari jalur yang ditentukan.

1395477196821895203
ketertiban tetap harus dijaga (dok. pribadi)

Meski perjalanan sedikit terhambat, kemeriahan Nyongkolan menjadi suatu hiburan selama menunggu. Remaja tanggung terus berjoget asal-asalan sepanjang perjalanan mengikuti alunan musik. Para penabuh drumband dan gendang beleq (alat musik khas Sasak) berkolaborasi dengan pemain organ tunggal menciptakan harmoni nada yang menghibur. Alunan musik tradisional Sasak dipadu dengan alat musik modern seperti drumband dan organ menambah keceriaan. Tak lupa, pengantin yang tetap sumringah meski harus berjalan kaki cukup jauh.


13956559991014007564
sang pengantin pria dengan beberapa pengawalnya

Suatu tradisi yang unik dan kolosal karena melibatkan banyak orang dan biaya yang tidak sedikit. Belasan hingga puluhan juta rupiah harus disediakan untuk membuat pesta meriah seperti itu. Tentu saja, tidak semua upacara pernikahan di Lombok menyertakan Nyongkolan besar-besaran. Esensinya, Nyongkolan ditujukan untuk memperkenalkan pengantin ke masyarakat. Jadi, tidak perlu bermewah-mewah dalam melangsungkan upacara pernikahan. Tapi bagaimanapun juga, pesta pernikahan ala sasak kurang afdal tanpa Nyongkolan.


13956561801207433934
pokoke njoged..

Senandung Merdu dalam Kesunyian Kampung Wimro

Hitam kulit, keriting rambut... Aku Papua” seorang pemuda berkulit hitam dan berambut keriting pendek mendendangkan lagu “Aku Papua”. Diiringi petikan gitar, dia bernyanyi di teras rumahnya yang terletak di pinggir kali. Suaranya yang merdu khas orang timur memecah kesunyian kampung Wimro sore itu.


1391754555637453696
kampung Wimro (dok. pribadi)

Wimro, sebuah kampung kecil di kawasan Teluk Bintuni Papua Barat memiliki sejarah yang unik. Kampung ini dulunya merupakan area pabrik udang Jayanti milik keluarga Cendana. Di era 90-an, perusahaan udang Jayanti mengalami kejayaan di Wimro. Ribuan karyawan menyesaki area pabrik dan tinggal di mess-mess yang disediakan perusahaan. Orang-orang dari luar daerah terutama transmigran berbondong-bondong datang menambah populasi di Wimro. Bahkan dibangun juga kampung transmigran di sebelah Wimro yang dinamakan kampung Sidomakmur. 
Udanglah yang menjadi daya tarik bagi pengusaha dan pendatang yang membuat perekonomian di Wimro berkembang pesat. Berton-ton udang dijaring dan kemudian diolah di pabrik. Perairan Wimro memang surganya nelayan udang. Tak perlu jauh-jauh berlayar, cukup mendayung sampan beberapa menit dan menebar jala. Tak lama kemudian jaring sudah dijejali udang. Bisa dibayangkan berapa hasil yang didapat kapal besar milik Jayanti waktu itu. Namun, kejayaan Jayanti tidak berlangsung lama. Awal tahun 2000-an, perusahaan itu bangkrut. Tidak hanya pabrik udangnya saja tetapi pabrik loging di Tofoi (masih di area Teluk Bintuni) milik Jayanti Group juga ikut tutup. Di masa jayanya, Jayanti memang memiliki beragam usaha di Teluk Bintuni. Akhirnya perusahaan milik penguasa Orde Baru itu kolaps seiring jatuhnya kekuasaan Orba di akhir 90-an.
Tutupnya pabrik, membuat kampung menjadi sepi kembali. Para karyawan yang sudah tak punya pekerjaan lagi pergi meninggalkan kampung. Namun ada juga beberapa yang bertahan di sana sampai sekarang. Mereka memilih bertahan dengan berbagai alasan salah satunya karena hasil laut yang masih menjanjikan. Meski sudah berkurang banyak, udang di perairan Wimro masih dirasa cukup layak untuk dijadikan “pegangan”. Selain udang, masih ada kepiting mangi-mangi (rawa) yang juga memiliki nilai ekonomis cukup tinggi. Sampai sekarang, warga masih bisa dengan mudah mendapatkan kepiting. Menggunakan perangkap kawat berbentuk balok, mereka tinggal memasangnya di pinggir rawa. Tak sampai sehari, perangkap itu sudah penuh sesak oleh kepiting dengan ukuran yang beragam.


1391754633917053439
nelayan penangkap kepiting (dok. pribadi)
13917546781817900356
kepiting mangi-mangi yang berhasil ditangkap (dok. pribadi)

Sebenarnya ada beberapa perusahaan yang mencoba menghidupkan pabrik udang di Wimro karena hasil udang masih cukup menjanjikan. Namun karena beberapa kendala, pabrik itu kembali tutup. Saat saya ke Wimro pada November 2013, pabrik udang kembali dibuka oleh PT Timika Samudera sejak 4 bulan sebelumnya. Beberapa warga sekitar direkrut sebagai karyawan. Kapal-kapal yang mangkrak di jetty pabrik, sebagian kembali dioperasikan. Menurut pengakuan seorang nahkoda, dalam sekali trip (2 minggu) mereka bisa menjaring udang 3 ton dengan kapal besarnya. Jika harga udang 50 ribu/kg, maka udang 3 ton bernilai 150 juta. Jadi dalam sebulan, satu kapal bisa menghasilkan 300 juta. Sebuah hasil yang cukup menjanjikan meski setelah dikurangi berbagai biaya operasional. Meski demikian, dikabarkan pabrik udang itu akan tutup beberapa bulan lagi. Alasannya adalah karena adanya konflik dengan warga lokal pemilik tanah adat.


1391754783143043357
kapal milik perusahaan udang bersandar di jetty pabrik (dok. pribadi)

Tak terlihat kesibukan di sekitar pabrik. Hanya sayup-sayup terdengar suara mesin dari dalam pabrik. Sementara mess-mess di sekitar pabrik tampak terbengkalai, hanya beberapa kamar saja yang dihuni karyawan. Di jetty, banyak kapal teronggok begitu saja karena sudah lama tidak terpakai. Bahkan sebagian sudah menjadi onggokan besi tua tak berguna. Meski sudah beroperasi kembali namun kapasitas produksinya masih belum optimal.


13917548361075256546
area pabrik udang Wimro (dok. pribadi)
13917548741401899753
kapal yang terbengkalai (dok. pribadi)

Tak lebih dari 100 KK yang mendiami kampung utama. Selebihnya, populasi terkonsentrasi di di mess-mess sekitar pabrik yang dihuni karyawan yang kebanyakan berasal dari luar kampung. Tidak banyak warga kampung yang bekerja di pabrik. Mereka lebih banyak bekerja sebagai nelayan udang dan kepiting. Sunyi, begitu kesan pertama saya ketika memasuki kampung ini. Jalanan utama tampak sepi, hanya terlihat beberapa orang beraktivitas di dalam rumah. Selain karena penduduknya yang sedikit, siang itu warga masih banyak yang bekerja baik itu melaut maupun kerja di pabrik. 
Sunyi, lagi-lagi saya rasakan di kampung itu. Empat hari tinggal di sana tidak sekalipun saya dengar suara adzan. Muslim memang bukan lagi menjadi mayoritas di Wimro. Dahulu memang mayoritas warga yang didominasi pendatang beragama Islam. Karena itu, di kampung ini terdapat masjid yang cukup megah. Sampai sekarang masjid itu tetap berdiri kokoh. Ironisnya, tidak terlihat satupun warga yang sholat di masjid itu. Padahal di sekitarnya terdapat beberapa keluarga Muslim. Memang takmir masjidnya sedang pergi melaut, tapi tidak adakah warga yang berinisiatif memakmurkan masjid? Ah... kampung sunyi ini terlalu sulit untuk saya pahami.


13917549471100875482
masjid megah yang sepi (dok. pribadi)

Kampung yang terlupakan, begitulah kira-kira kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan Wimro. Sisa-sisa kejayaan tempo dulu hanya dapat dilihat dari pabrik udang yang saat ini “mati segan hidup tak mau”. Nyaris tak ada fasilitas umum di kampung ini. Untuk sekolah anak-anak harus menyeberang ke kampung sebelah karena tidak ada sekolah di sini. Bahkan seorang ibu harus membawa anaknya yang sering sakit-sakitan menyeberang ke Sidomakmur untuk mendapatkan perawatan di Pustu (Puskesmas Pembantu). 
Senandung dari sang pemuda sudah tak terdengar lagi. Sunyi pun kembali, mengiringi sang surya menuju peraduannya. Beberapa perahu tertambat di jetty, kosong ditinggalkan pemiliknya. Air begitu tenang, tak mau membuat keriuhan dengan riak gelombangnya. Mentari sudah menghilang di balik cakrawala. Kini, merahnya langit senja menaungi kampung sunyi itu.


1391755067529330118
senja yang sunyi di kampung Wimro (dok. pribadi)

Catatan Kecil: Cinta Bersemi di Jayanti


13917549982123306154
salah satu gedung di pabrik udang Wimro (dok. pribadi)

Jayanti, sebuah perusahaan pengolahan udang besar dengan ribuan karyawan. Orang Jawa, Sulawesi, Maluku, dan tak ketinggalan orang asli Papua bekerja di tempat itu. Banyak dari mereka yang masih lajang. “Terjebak” di sebuah kampung kecil di pelosok Papua dalam waktu yang lama membuat  sering terjadi cinlokdiantara mereka. Mess yang terpisah antara laki-laki dan perempuan tak menyurutkan langkah seorang lelaki untuk mendapat perhatian wanita pujaannya. Seringkali mereka menyambangi mess perempuan untuk mengajaknya kencan atau sekedar cari-cari perhatian. Di sinilah kawin campur terjadi dan melahirkan anak-anak Indonesia, bukan anak Jawa, Maluku, atau Papua. Belasan tahun kemudian, beberapa keluarga memilih untuk menetap di kampung tempat mereka dipertemukan.

Bertandang ke Kampung RKI (Rumah Kayu Indonesia)



139037041558794154
pintu masuk kampung Sidomakmur/RKI (dok. pribadi)

Segelas es dawet menjadi penawar haus yang nikmat siang itu. Matahari Papua terasa begitu terik menyengat. “Bu, dawet e pinten (dawetnya berapa)?” tanyaku, “Tiga ribu, Mas,” jawabnya. Meski sedikit kaget (murah untuk ukuran Papua), kurogoh selembar dua ribuan dan seribuan kumal lalu kuserahkan kepadanya.
Ibu Jawa itu adalah salah satu dari warga kampung Sidomakmur yang mayoritas penduduknya adalah orang Jawa. Ada juga orang Jawa yang kesehariannya berbahasa Madura, mereka berasal dari Probolinggo yang tinggal di dekat jetty (dermaga). Mayoritas mereka bekerja sebagai nelayan udang. Selain orang Jawa, terdapat pula orang Maluku, Buton, dan tentunya orang asli Papua yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Banyaknya orang Jawa, membuat saya tidak merasa asing di sini. Percakapan sehari-hari mereka menggunakan bahasa Jawa. Orang non-Jawa juga kadang memakai bahasa Jawa untuk percakapan ringan seperti membeli barang di kios, terdengar kaku dan wagu tapi lucu.
Sidomakmur, dikenal juga dengan sebutan RKI (Rumah Kayu Indonesia) terletak di distrik Aroba, Teluk Bintuni, Papua Barat. Sesuai dengan namanya, semua rumah di sana terbuat dari kayu. Tidak hanya itu, jalan penghubung antarrumah juga terbuat dari kayu papan. Kampung kecil yang dihuni sekitar 100 KK itu dulunya adalah kawasan transmigrasi di era 90-an. Namun, banyak transmigran yang tidak betah dan meninggalkan tempat itu. Rumah-rumah yang kosong itu, kemudian ditempati para nelayan udang yang mengadu nasib di perairan RKI. Sebagai bekas area transmigrasi infrastruktur seperti jalan dan perumahan sudah tertata dengan baik. Rumah-rumah panggung tersusun rapi mengikuti jalur jalan papan yang mengelilingi kampung.


13903705131721493617
jalan kampung penghubung antar rumah (dok. pribadi)

Fasilitas publik di RKI terbilang cukup lengkap untuk ukuran kampung di Papua. Fasilitas pendidikan mulai dari TK sampai SMP tersedia di tempat itu. Bangunan sekolah juga terbuat dari kayu, tampak masih baru. Siswanya tidak hanya dari RKI saja, tetapi juga berasal dari kampung Wimro yang tidak memiliki sekolah. Selain sekolah di kampung ini juga terdapat sebuah PUSTU (Puskesmas Pembantu) dan tempat ibadah seperti masjid dan gereja.


13903706171823359701
SD-SMPN Satu Atap Wimro, kampung Sidomakmur (dok. pribadi)

Perairan di sekitar RKI payau airnya. Untuk memenuhi kebutuhan air tawar, mereka biasa menampung air hujan. Dengan talang, mereka menampung air hujan di drum-drum yang sudah disiapkan. Jika air drum habis, mereka biasa menyedot air dari kolam penampungan air hujan yang ada di sebelah sekolah. Sebagian warga memilih untuk menjadikan air galon untuk memenuhi kebutuhan air minum.


13903707632000579351
kolam penampungan air hujan (dok. pribadi)


Catatan Kecil: Tetap Terang Meski Malam


13903709672111481374
malam tetap terang di jetty RKI (dok. pribadi)

Seperti perkampungan kecil di Papua lain, PLN masih belum bisa menjangkau RKI. Namun berbeda dengan kampung lain yang selalu diselimuti kegelapan dan kesunyian saat malam. Lampu listrik sudah menjadi sumber utama penerangan, bahkan kebanyakan rumah sudah memiliki televisi lengkap dengan parabolanya. Selain itu, ada pula lampu penerangan umum yang dipasang di beberapa titik. Listrik tersebut berasal dari genset, baik genset pribadi maupun genset umum. Ada beberapa genset umum yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan warga. Tidak sedikit rupiah yang harus dikeluarkan untuk menebus fasilitas itu. Dibutuhkan sekitar 10 liter (15 ribu/liter) bensin semalam untuk menghidupkan genset. Bagi warga yang tidak punya genset, bisa memanfaatkan genset umum atau numpang dari genset tetangga dengan tarif tertentu. Biaya listrik biasa dibayar bulanan kepada pemilik genset. Biaya pemakaian listrik, dihitung per alat elektronik (lampu apa pun jenisnya tarifnya 100 ribu/bulan, sedangkan untuk TV tarifnya 300 ribu/bulan). Untuk alat elektronik lain, menyesuaikan dengan besaran watt-nya. Ratusan ribu hingga jutaan rupiah mereka keluarkan tiap bulannya untuk kebutuhan listrik. Cukup besar memang, tapi perekonomian di RKI yang relatif mapan membuat mereka mampu memenuhinya.

Menyusuri Jalan Jamin Ginting, Menjelajah Tanah Karo yang Memukau



13914110882058503216
Gunung Sinabung tegak berdiri di ujung jalan (dok. pribadi)

Jam menunjukkan pukul 7 lebih, sesaat setelah mobil sewaan datang kami berebutan masuk. Tak sabar rasanya untuk menyambangi danau terbesar se Asia Tenggara. Di antara kami bertujuh, hanya dua orang yang pernah ke Danau Toba. Seorang kawan yang merupakan “orang lokal” bertugas menjadi sopir sekaligusguide kami. Sambil menyalakan mesin dia menanyakan mau makan di mana. Terserah... jawaban konvensional dan paling aman. Segera dia menyarankan suatu tempat, “gimana kalau kita makan di Peceren aja?”. Sejenak kami terdiam, dan pecahlah tawa di dalam mobil itu. Hanya si guide saja yang bengong kebingungan. Kami biarkan dia larut dalam kebingungan sejenak, lalu menjelaskan arti peceren dalam bahasa Jawa. Sambil tertawa, dia berkata, “ayo kita makan di “Comberan”!”.

Selasa, 01 Juli 2014

Mahalnya Biaya Hidup di Papua

aktivitas bongkar muat di sebuah dermaga
“Es teh di Papua itu, harganya 12 ribu lho. Lha wong bawanya aja pake pesawat..”, kata salah seorang kawan. Sebuah guyonan yang sering dia lontarkan sebagai pencair suasana saat ngobrol dengan warga kampung. Saya yang sudah berulang kali mendengar ceritanya, sampai bosan. Namun bagi yang pertama kali mendengarnya, akan tertawa keheranan dan pasti penasaran akan kelanjutan “cerita dari tanah Papua”. Saya pun juga bereaksi demikian, ketika mendengar ceritanya untuk pertama kali. Kalau tidak terpaksa, saya tak akan membelinya. Hanya untuk memanjakan kerongkongan sekejap, harus mengorbankan jatah makan di Jogja selama sehari. Sebenarnya, semahal itukah harga segelas es teh di Papua?

Tidak juga, selama dua bulan berada di Papua Barat tidak pernah saya temukan es teh seharga 12 ribu. Bahkan di kampung Sidomakmur (Teluk Bintuni) saya hanya perlu membayar 3 ribu untuk menebus segelas es dawet (biasanya es dawet cenderung lebih mahal dari es teh). Sebuah jawaban yang baru bisa saya temukan beberapa bulan setelah saya penasaran dengan cerita “es teh 12 ribu” itu. Tidak semua harga barang di Papua mahal, tapi hampir semua emang mahal. Kasus es dawet seharga 3 ribu (setara dengan harga es dawet di Jogja) hanya ditemukan di satu kampung saja. Sama kasusnya seperti harga seikat kangkung (tak jauh beda banyaknya dengan yang dijual di Jogja) yang harganya 10 ribu di kampung lain.  Sungguh “sesuatu” rasanya ketika menyantap kangkung mahal itu.

Banyak faktor yang mempengaruhi harga barang di Papua. Biaya transportasi yang mahal, jadi alasan utamanya. Masih belum banyak barang yang diproduksi di Papua. Jadi hampir semua barang yang dijual di sana, harus didatangkan langsung dari pulau lain terutama Jawa. Perjalanan panjang akan ditempuh sekantong teh celup dari pabriknya yang ada di Jawa, sampai di gelas Pace/Mace di Papua sana. Mulai dari perjalanan darat ke Surabaya, dilanjutkan numpang kapal ke Sorong, kemudian lanjut  ke Babo (kampung yang menjadi salah satu pusat perekonomian di Kabupaten Teluk Bintuni), masih lanjut lagi naik ketinting (kapal motor kecil yang menjadi moda transportasi utama antar kampung di Teluk Bintuni) dan sampailah di kampung yang dituju. Itu baru transportnya saja, belum dihitung biaya TKBM (Tenaga Kerja Bongkar Muat). Para TKBM selalu bersiap menyambut kapal barang yang akan berlabuh. Mereka bertugas membawakan barang-barang ke gudang atau kios. Biaya angkut beragam, tergantung jenis, berat, dan volume barang. Sebagai gambarannya, seorang TKBM bisa dapat 3 ribu untuk mengangkut sekardus teh celup dari dermaga ke kios yang berjarak 400 meter. Makin banyak kampung yang disinggahi, makin bengkak pula harga suatu barang.

Normalnya, harga barang di Papua bisa mencapai 2 sampai 3 kali lipat dari harga barang di Jawa. Contoh kecil sebotol cola yang di Jawa dibanderol dengan harga 3 ribu, di Sorong dijual seharga 5 ribu sementara di kampung Sidomakmur dihargai 8 ribu. Selisih harga yang lebih besar yaitu antara Sorong dan Sidomakmur, padahal jaraknya lebih dekat dibanding Jawa-Sorong. Ini menunjukkan antara Sorong-Sidomakmur terdapat komponen biaya yang lebih banyak dan lebih besar seperti biaya transportasi dan ongkos TKBM.

Untuk contoh ekstrim seperti es dawet seharga 3 ribu dan seikat kangkung 10 ribu, ada beberapa kemungkinan yang menjadi penyebabnya. Pertama es dawet 3 ribu, di kampung itu ada kios grosir yang kulakan (membeli barang untuk dijual kembali) dari Jawa langsung sehingga memotong rantai distribusi yang berarti meminimalkan biaya, dan harga jual relatif lebih murah. Dengan adanya kios tersebut, pedagang dawet mendapat harga beli bahan baku yang cenderung murah. Kedua seikat kangkung 10 ribu di kampung Tomage (pedalaman Fakfak). Bisa jadi hal itu disebabkan karena faktor kelangkaan. Masih sedikit warga yang menanam sayuran. Kebanyakan mereka masih tergantung dari hasil hutan seperti sagu, hewan buruan, dan dedaunan.

Kenyataan seperti ini membuat saya yang baru pertama ke Papua merasa miskin. Bagaimana tidak, rupiah saya berkurang nilainya menjadi setengah bahkan sepertiganya. Meski sudah banyak dengar cerita tentang mahalnya biaya hidup di Papua, tetap saja kaget ketika mengalaminya secara langsung. Hidup di Papua memang mahal.

Perjalanan Segalon Air, Sebuah Ilustrasi Rantai Distribusi di Teluk Bintuni

Untuk menyediakan kebutuhan akan air galon, pedagang kios di Sidomakmur harus kulakan dari Babo sebagai tempat produksi air galon terdekat. Jarak Sidomakmur ke Babo tak lebih dari 7km, dapat ditempuh sekitar dua jam menggunakan ketinting. Harga kulakan air galon di Babo 13 ribu. Ongkos TKBM Babo (bawa galon dari pabrik ke dermaga dengan jarak sekitar 500m) 4 ribu/galon air. Sewa ketinting Babo-Sidomakmur dihitung per barang, 3 ribu/galon air. Sesampai di Sidomakmur ada lagi ongkos TKBM (bawa galon dari dermaga ke kios berjarak sekitar 600m) 6 ribu. Biaya total yang harus dikeluarkan pedagang untuk kulakan segalon air adalah 26 ribu, mereka menjualnya ke konsumen dengan harga 30 ribu.

Fakta:
  1. Terdapat selisih harga lebih dari dua kali lipat antara harga air galon di Babo dengan di Sidomakmur yang jaraknya tak lebih dari 7km. 
  2. Ongkos TKBM untuk segalon air mencapai 9 ribu, hampir sama dengan harga barang itu sendiri. 


Senin, 26 Mei 2014

Menguak Pesona Taman Nasional Gunung Gede Pangrango



Perjalanan panjang selama hampir 10 jam harus kami tempuh dari Jogja menuju Bandung menggunakan KA Kahuripan. Usai istirahat sejenak, kami lanjutkan perjalanan menuju terminal Leuwi Panjang. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) adalah tujuan utama kami. Perjalanan ini sudah kami siapkan sejak sebulan yang lalu. Mulai dari pemesanan tiket KA sampai pengurusan booking perizinan pendakian di kawasan TNGGP yang saya pikir sangat ribet. Dibanding gunung-gunung lain, perizinan pendakian di TNGGP memang serba berbelit-belit dan menyusahkan terutama bagi yang berdomisili di tempat yang jauh dari lokasi. Hanya rasa penasaran saja yang membawa kami ke tempat itu, lokasi pendakian favorit di Jawa Barat.
pertigaan Cimacan yang ramai
Bus “Garuda Pribumi” jurusan Jakarta via Puncak membawa kami menuju ke Cimacan, Cianjur. Dengan harga tiket Rp30.000, mereka sediakan fasilitas AC, Bagasi, dan TV. Tayangan sinetron picisan yang tersaji di layar televisi mampu membuat saya tertidur. Sekitar tiga jam kemudian sampailah kami di pertigaan Cimacan, tak jauh dari istana Cipanas. Di pertigaan itu, beberapa angkot sudah siaga menyambut penumpang. Tak perlu waktu tunggu, sesaat setelah kami naik, angkotpun langsung meluncur ke arah TNGGP. Angkot yang tadinya hanya berisi kami berdua, perlahan dimasuki beberapa penumpang. Tak sampai setengah jam, angkot sudah berhenti tepat di depan pelataran parkir TNGGP. Setelah membayar Rp6.000 untuk 2 orang ke sopir angkot, kami pun langsung menuju ke kantor TNGGP untuk mengurus SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi).
kantor Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
Gagal mendaki adalah kemungkinan terburuk yang siap kami hadapi mengingat jumlah tim yang hanya dua orang (sesuai peraturan, minimal ada tiga orang dalam satu tim). Sebenarnya saat booking online kami mendaftarkan tiga orang, namun seorang kawan mendadak urung ikut. Karena sudah terlanjur pesan tiket kereta PP, mau tak mau harus ke sana. Di luar dugaan, petugas dengan entengnya menyarankan kami gabung ke tim pendaki lain yang kebetulan akan naik sore itu.  Ternyata, meski memiliki peraturan yang serba ribet masih ada sedikit “celah” yang bisa meringankan.

Jam setengah lima sore, kami mulai pendakian bersama para Kaskusers regional Cianjur Selatan yang berjumlah sekitar 20 orang. Sore itu mendung menggantung di kaki gunung Gede. Menurut Pak Nana, petugas di posko pendakian, akhir-akhir ini tiap sore hujan mengguyur wilayah gunung Gede. Hampir sejam kemudian, sampailah kami di jembatan kayu (sebenarnya terbuat dari beton, namun dibentuk seperti kayu). Jembatan sepanjang 1km itu membentang di atas sungai-sungai dan cekungan kecil. Kabut tipis pun mulai turun perlahan. Di kejauhan, hutan Pangrango terlihat suram berselimut kabut. Hawa dingin mulai menembus pakaian yang kami kenakan. Tak kuat menahan dingin, kami pun minta izin kepada ketua tim Kaskusers untuk jalan duluan untuk kemudian bertemu kembali di Kandang Badak.
(mirip) jembatan kayu
Setengah jam kemudian, rintik hujan mulai tercurah dari langit. Segera ponco dan headlamp kami kenakan mengingat suasana yang semakin gelap. Vegetasi hutan yang lebat membuat kami hanya bisa melihat kondisi di sekitar jalur pendakian saja. Beruntung, jalur pendakian di TNGGP via Cibodas relatif lebar dan jelas sehingga sangat memudahkan bagi kami yang baru pertama mendaki di gunung ini. Tak berapa lama kemudian, sampailah kami di kawasan air panas. Ini adalah salah satu dari dua rute pendakian gunung Gede via Cibodas yang berbahaya. Di rute ini pendaki, harus melewati aliran air panas sepanjang sekitar 500m dengan tebing di satu sisi dan jurang di sisi lain. Rute ini sangat sempit, dibatasi dua jalur tali selebar tak lebih dari satu meter. Selain licin, panasnya air yang mengalir membuat pendaki harus ekstra hati-hati untuk melewatinya. Sangat disarankan untuk memakai sepatu untuk sedikit melindungi kaki dari panasnya air. Kabut yang tercipta akibat uap panas akan memperpendek jarak pandang, karena itu dibutuhkan senter dengan cahaya yang memadai jika melintas di malam hari. Setelah menempuh lima jam perjalanan yang melelahkan sampailah kami di Kandang Badak, lokasi mendirikan tenda yang menjadi favorit pendaki karena dekat dengan puncak.

Jam 10 malam, tenda telah didirikan dan usai menyantap nasi bungkus kamipun segera tidur. Suhu di kandang badak relatif tidak terlalu dingin, cukup nyaman untuk tidur. Esoknya, kawan sependakian saya memutuskan untuk tidak ikut muncak. Akhirnya pada 5.45 saya mulai perjalanan ke puncak. Saat itu hanya saya saja yang muncak, sebagian besar pendaki sudah mendaki sejak dini hari tadi untuk mengejar momen sunrise. Perjalanan diawali dengan mendaki jalur makadam sampai pertigaan Pangrango. Untuk menuju puncak gunung Gede lurus saja, sedangkan bila ingin ke puncak gunung Pangrango ke arah kanan. Kali ini saya akan ke puncak Gede saja. Setelah pertigaan itu, jalur berupa tanah dengan akar-akar pohon yang membentuk seperti tangga. Dibandingkan jalur pendakian di bawah kandang badak, jalur menuju puncak ini relatif terjal. Meski di sekitarnya pepohonan cukup lebat, namun jalur pendakian sangat jelas dan nyaris tak ada percabangan yang membingungkan. Di beberapa tempat terpasang tiang-tiang kecil dengan tali yang membentang diantaranya.
rute menuju puncak
Sekitar sejam dari kandang badak, sampailah saya di tanjakan setan. Tanjakan itu sangat terjal, dengan kemiringan hampir 80 derajat kita harus memanjat untuk sampai ke atas. Karena takut ketinggian dan dalam posisi sendiri, saya memutuskan untuk menghindari tanjakan setinggi sekitar 10 meter. Jalur alternatiflah yang saya pilih, sedikit memutar memang namun tidak terlalu terjal. Setengah jam kemudian, kawah gunung Gede sudah terlihat. Kini saya hanya perlu menyisir tebing di tepi kawah untuk sampai ke puncak. Tepat di belakang, tampak gunung Pangrango berdiri dengan gagahnya. Sementara itu tepat di bawah terlihat asap tipis mengepul keluar dari sisi tebing yang berwarna keemasan.
tanjakan setan
Tak sampai 10 menit, saya sudah sampai di puncak gunung Gede. Hanya tiang kecil dengan papan bertuliskan “Puncak Gede” sebagai penanda kalau saya sudah sampai di puncak gunung dengan  tinggi 2985 mdpl. Beberapa lokasi di puncak Gede didirikan beberapa tenda. Puncak gunung Gede memang sangat cocok untuk lokasi kemah karena di beberapa titik terdapat lokasi yang terlindungi oleh semak dan pepohonan kecil. Sekitar setengah berada di puncak kemudian turun, tak perlu berlama-lama di puncak jika sendirian. Sebelum turun, saya bertemu dengan rombongan Kaskusers. Mereka mengajak saya turun ke alun-alun Suryakencana, tanah lapang di mana edelweiss banyak tumbuh di sana. Sempat ngiler saya ketika melihat Suryakencana yang ada di bawah, mungkin tak sampai setengah jam untuk ke sana. Namun, karena tidak ingin kemalaman sampai Bandung saya pun memutuskan untuk segera turun.
area puncak gunung Gede
kawah gunung Gede

megahnya Pangrango
Matahari sudah mulai meninggi, namun sinarnya sedikit terhalang oleh rapatnya vegetasi hutan gunung Gede. Sinar Mentari tampak menembus celah dedaunan membentuk tirai cahaya. Kicauan burung bersahutan, menambah semarak pagi. Kali ini saya tidak sendiri, ada beberapa rombongan pendaki lain yang juga turun serta sempat berpapasan dengan rombongan pendaki yang naik. Sejam kemudian, sekitar jam 9.20 saya sudah sampai di kandang badak. Segera kami packing setelah menyantap sarapan yang sudah disiapkan oleh kawan saya yang tidak ikut muncak.
cahaya matahari menembus sela dedaunan
Jam 9.50 kami beranjak turun dari kandang badak. Tak sampai sejam, kami sampai di kawasan air panas. Kawan saya pun mengajak turun ke kali untuk berendam air panas. Sebenarnya aliran air yang letaknya sekitar 30m di bawah jalur pendakian itu bukan murni air panas. Air panas murni ada di beberapa titik sepanjang kali, dialirkan melalui pipa dan ada juga saluran alami. Sumber air panas itu berasal dari aliran air yang letaknya ada di atas kali. Berendam air panas memang sangat cocok untuk relaksasi otot-otot yang telah bekerja keras selama pendakian.

Setelah puas berendam air panas, kami lanjutkan perjalanan turun gunung. Beberapa menit kemudian tibalah kami di jalur air panas. Kini terlihat jelas jurang yang menganga di sebelah kiri. Ternyata jalur itu merupakan bagian dari air terjun panas dengan debit air yang tidak terlalu besar. Tidak seperti semalam di mana kami begitu tegang melewatinya, siang ini kami lalui jalur ini dengan santai. Selain karena medan terlihat jelas, air terasa tidak sepanas malam tadi mungkin karena sudah terbiasa dengan suhu panas air setelah berendam tadi. Jadi agar tidak panik karena kepanasan, sebelum melewati jalur air panas ini sebaiknya menyesuaikan dulu dengan merendam kaki sejenak untuk membiasakan.
jalur air panas yang mendebarkan
Sebelum turun sampai pos pengecekan SIMAKSI, kami beristirahat di pertigaan curug Cibeureum. Di papan petunjuk tertulis, jarak curug hanya 0,3km dari pertigaan. Sangat dekat hanya 300 m, tak sampai 5 menit sudah sampai. Tanpa pikir panjang, saya segera meluncur ke curug meninggalkan kawan yang nampak kepayahan dan tidak mau ikut ke sana. Jalur menuju curug berupa makadam dengan jembatan yang terbentang di atas kali. Lima menit kemudian, hanya gemuruh air yang saya dengar tanpa terlihat aliran air terjun secuil pun. Ternyata dugaan saya salah, dibutuhkan waktu lebih dari sepuluh menit untuk sampai ke curug. Mungkin yang dimaksud jarak 0,3km itu adalah jarak lurus dari pertigaan ke curug bukan jarak jalurnya atau mungkin itu hanya untuk “menipu” pengunjung agar tidak malas untuk jalan 2km.
Curug Cibeureum
Cibeureum, agak susah dilafalkan lidah Jawa seperti punya saya. Untuk menjangkaunya pun cukup sulit untuk wisata umum karena masuk dalam jalur pendakian gunung Gede Pangrango. Diperlukan waktu lebih dari sejam perjalanan dari kantor TNGGP. Namun, kesulitan itu terbayar lunas ketika kita sampai di depan air terjun. Muncul dari celah pepohonan, aliran air terjun berketinggian 30m ini mengalir dengan derasnya. Hijaunya tebing di sisi kiri dan kanan curug membuat pemandangan semakin sejuk. Di sebelah curug Cibeureum terdapat dua curug lain yang lebih kecil namun tinggi. Banyak wisatawan yang bekunjung ke curug Cibeureum, bisa jadi disebabkan karena bertepatan dengan hari libur (hari buruh). Namun di samping itu, fasilitas yang cukup lengkap menjadi faktor penarik bagi pengunjung. Beberapa gazebo dibangun sebagai tempat beristirahat, serta jembatan-jembatan kecil yang mempermudah pengunjung.
curug lain di area TNGGP

Hanya sekedar mengambil beberapa gambar dan memuaskan hasrat keingintahuan saya, tak perlu berlama-lama di sana. Kami lanjutkan perjalanan, sekitar jam 2 sudah sampai di kantor TNGGP. Perjalanan yang terasa begitu panjang dari pertigaan Cibeureum ke bawah, mungkin karena kecapekan. Seperti biasa, naik gunung pasti menguras tenaga. Namun pendakian gunung Gede via Cibodas ini serasa seperti wisata saja. Ada banyak tempat wisata yang dapat dikunjungi seperti curug Cibeureum, Cipanas (air panas), puncak, dan tak ketinggalan hutan taman nasional yang masih terjaga. Saya rasa tidak rugi harus mengurus perijinan yang ribet untuk mendaki gunung Gede karena cukup sebanding dengan fasilitas yang didapat. 

Kamis, 22 Mei 2014

Pesta Sekolah, Beasiswa Bergulir ala Manggarai




13899379761088426333
Ilustrasi/Admin (Shutterstock)


Segelas kopi dan beberapa potong kue menghiasi meja kecil di hadapan kami. Sore itu saya berkesempatan mengobrol dengan seorang guru SD di kampung Golo Popa. Sebuah kampung kecil yang terletak di pegunungan Manggarai Timur, NTT. Bisa dibilang, wilayah ini cukup terisolasi karena satu-satunya akses menuju tempat ini dari kota kecamatan adalah sebuah jalan tanah berbatu yang hanya dapat dilewati kendaraan bergardan ganda. Jika sehari sebelumnya hujan, tak ada sopir oto kol (transportasi umum di Manggarai berupa truk yang dimodifikasi) yang berani membawa truknya ke sana. Sebenarnya, sepeda motor juga bisa naik sampai Golo Popa, bahkan bisa juga dibawa sampai kampung sebelah yang letaknya di atas. Namun tingkat kesulitan medan yang menurut mereka “setengah mati”, membuat jalan kaki menjadi cara alternatif untuk menuju ke kota kecamatan. Selain itu, kampung ini dan kebanyakan kampung lain di pegunungan Manggarai belum teraliri listrik dari PLN ditambah lagi sinyal telepon seluler yang timbul tenggelam.

Dari obrolan santai itu, terkuak fakta menarik bagi saya mengenai sebuah tradisi unik yang jarang ditemui di tempat lain. Pesta sekolah, yang biasanya diadakan oleh keluarga yang anaknya akan kuliah di luar kota. Pesta ini dilakukan sebanyak dua kali, pertama pesta kecil yang digelar sebelum anak masuk kuliah. Kedua yaitu pesta besar yang digelar menjelang anak lulus kuliah, biasanya diadakan saat semester 5 atau 6.
Pesta sekolah merupakan salah satu pesta besar yang diadakan oleh orang Manggarai. Berbagai makanan dan minuman disajikan, tak lupa juga alunan musik yang disetel keras-keras menambah kemeriahan pesta. Babi dan anjing menjadi hidangan utama dalam pesta ini. Selain itu disuguhkan pula tuak dan rokok. Budaya minum memang sudah akrab dalam keseharian warga, hampir di setiap pesta disajikan tuak. Cukup banyak terjadi insiden akibat peserta pesta yang mabuk dan membuat ulah. Meskipun demikian, tradisi pesta dengan tuak tetap dilanjutkan.

Tujuan sebenarnya pesta ini adalah untuk menghimpun dana dari masyarakat guna membantu pembiayaan kuliah anak dari si tuan pesta. Masyarakat Manggarai yang tinggal di daerah pegunungan seperti ini cenderung memiliki taraf ekonomi yang relatif rendah. Meski begitu, mereka sangat peduli terhadap pendidikan. Para orang tua ingin anaknya sekolah setinggi mungkin agar memiliki kehidupan lebih sejahtera dari orang tuanya. Kesadaran akan pendidikan ini dapat dilihat sekilas dari profil warga kampung Golo Popa. Hampir tiap rumah di kampung itu terdapat anak yang kuliah. Sayangnya setelah lulus kuliah, biasanya mereka bekerja di kota untuk mendapat kehidupan yang lebih layak. Wajar saja, karena kehidupan di kampung dinilai masih kurang menjanjikan bagi para sarjana muda.

Setiap tamu undangan datang ke Tuan Pesta sambil membawa amplop yang isinya sesuai dengan anggota keluarga yang ikut pesta. Kalau anak-anak biasanya “membawa” Rp10.000, kalau dewasa bisa Rp50.000. Rata-rata satu keluarga bisa menyumbang Rp100.000-Rp200.000. Jumlah keluarga yang diundang bisa ratusan. Tidak hanya dari kampung sekitar, tetapi warga dari kampung yang letaknya jauh juga turut serta memeriahkan pesta ini. Tak heran jika “hasil” yang didapat tuan pesta mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Menurut perhitungan Pak Guru tersebut, tuan pesta bisa mendapat “penghasilan” bersih antara 18 juta sampai 50 juta rupiah. Jumlah yang cukup membantu membiayai kuliah yang sangat mahal mengingat mereka biasa menyekolahkan anak di tempat jauh seperti Makassar atau Jawa Timur.

Menariknya, jumlah tamu undangan yang datang berbanding lurus dengan sering tidaknya keluarga tersebut mendatangi pesta keluarga lain. Keluarga yang didatangi merasa berutang budi kepada keluarga-keluarga yang datang di pestanya karena berkat merekalah anaknya bisa menyelesaikan kuliah. Jadi bisa dikatakan sumbangan yang dikeluarkan suatu keluarga adalah investasi  yang kelak akan kembali dalam bentuk yang relatif sama ketika membutuhkannya yaitu dengan menyelenggarakan pesta sekolah.

Beasiswa bergulir, bisa jadi merupakan istilah yang tepat untuk tradisi ini. Sebuah kearifan lokal yang didasari oleh kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Mahalnya biaya kuliah dan kondisi ekonomi yang pas-pasan tidak menyurutkan niat mereka untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Jika ditanggung sendiri, bisa jadi mereka tak akan mampu menanggung biaya kuliah yang begitu mahal. Namun mereka dapat menyiasatinya dengan gotong royong, saling membantu mencukupi kebutuhan pendidikan.

Tak terasa, kopi hitam yang tersaji sudah tinggal ampasnya. Matahari makin condong ke barat, makin meredup sinarnya. Saya pun harus segera pulang ke “basecamp”, rumah warga yang ada di kampung sebelah berjarak 2 jam perjalanan (jalan kaki). Belum genap seminggu berada di bumi Manggarai, saya sudah terpesona. Tidak hanya alamnya yang subur maupun keramahan penduduknya, tapi juga dengan salah satu adatnya yaitu pesta sekolah. Tidak sekedar pesta yang menghambur-hamburkan uang, tetapi pesta yang menjadi ajang pemberian beasiswa pendidikan.