Rabu, 11 Februari 2015

Asyiknya Naik Ketinting ke Sekolah


1397542958667612301
keceriaan dalam ketinting sekolah

Tampak raut kekecewaan di wajah anak-anak berseragam merah putih itu. Mereka kecewa lantaran ketinting yang biasa mengantar mereka ke sekolah urung datang. Ketinting itu rupanya kandas karena kebetulan air terlalu surut. Jetty/dermaga kampung yang tadinya disesaki anak-anak sekolah perlahan mulai ditinggalkan. Mereka kembali pulang ke rumah masing-masing. Jam hampir menunjukkan pukul tujuh pagi, sementara jetty sudah sepi. Dari kejauhan tampak seorang anak berseragam putih biru berlari tergesa ke arah jetty. Rupanya dia mengejar perahu yang dipakai temannya untuk menyeberang ke sekolah. Pagi itu, hanya tiga siswa yang berhasil berangkat ke sekolah.

 

13975431351986600592
pulang, usai menunggu ketinting yang tak kunjung datang
139754320330669506
tak ada ketinting, perahu kecil pun jadi

Wimro, nama kampung tempat anak-anak itu tinggal. Sebuah kampung sepi di pedalaman Teluk Bintuni, tak ada sekolah yang mereka miliki. Sekolah yang terdekat, ada di kampung Sidomakmur yang letaknya di seberang sungai. Fasilitas pendidikan di Sidomakmur cukup lengkap, mulai dari TK sampai SMP ada di sana. Untuk sekolah ke sana mereka harus menyeberang sungai yang lebar. Sungai di sana dekat dengan laut sehingga airnya payau. Arus sungai relatif kuat sehingga tidak direkomendasikan menggunakan sampan untuk menyeberang.

13975433211815758371
sungai yang harus diseberangi untuk ke sekolah

Sejak beberapa tahun yang lalu, sekolah menyediakan sebuah ketinting untuk mengangkut anak-anak Wimro ke sekolahnya yang ada di Sidomakmur. Biaya pengadaan dan operasional ketinting berasal dari dana BOS. Tidak selamanya memang dana BOS dapat secara rutin membiayai operasional ketinting. Kadang dana BOS terlambat turun sehingga para guru harus menutupi sementara biaya tersebut.

Secara rutin, ketinting mengantar jemput anak-anak dari jenjang TK sampai SMP. Jam setengah tujuh pagi biasanya ketinting sudah merapat di jetty Wimro. Biasanya di sana juga telah menunggu anak-anak yang sudah berseragam lengkap. Ketinting menunggu beberapa saat sampai semua siswa naik, untuk kemudian menyeberang ke Sidomakmur. Jika arus sungai tenang, ketinting bisa memuat anak-anak dalam sekali angkut. Tetapi jika arus kuat, penyeberangan harus dibagi menjadi dua “kloter”. Untuk kepulangannnya, dibagi menjadi tiga “kloter”. Pertama untuk siswa TK dan SD kelas bawah, ketinting berangkat sekitar jam 10. “Kloter” kedua untuk siswa SD diberangkatkan sekitar pukul 12, dan yang terakhir untuk siswa SMP berangkat sekitar jam 2 siang.

1397543987790057824
persiapan kepulangan kloter kedua

Biasanya, ketinting akan dipadati oleh puluhan anak-anak sekolah yang akan menyeberang. Jika keberangkatan dilakukan dalam sekali angkut, maka nyaris tak ada ruang tersisa di ketinting. Tidak hanya anak-anak yang akan bersekolah, ketinting juga ditumpangi beberapa warga dengan berbagai keperluan seperti berdagang dan berobat. Kampung Wimro memang sudah tidak lagi memiliki fasilitas kesehatan. Jadi jika ada warga yang sakit, mereka harus menyeberang ke kampung Sidomakmur untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai di Pustu (Puskesmas Pembantu). Untuk menghemat biaya, biasanya beberapa warga memanfaatkan ketinting sekolah untuk menyeberang dan kembali siang harinya.


13975434221905607463
padatnya ketinting di suatu pagi

Ketinting sekolah seringkali membawa beban berlebih ketika mengantar anak-anak berangkat ke sekolah. Hal ini bukan tanpa risiko, mengingat arus sungai yang bisa tiba-tiba berubah menjadi kencang. Meski jarak Wimro-Sidomakmur relatif dekat, penyeberangan selama 15 menit itu akan berisiko mengingat ketinting yang selalu kelebihan muatan. Akan tetapi, sepertinya anak-anak cukup menikmati perjalanannya tanpa peduli risiko yang mereka hadapi. Keceriaan tampak ketika mereka dipertemukan dalam satu kapal. Senda gurau dan kegembiraan selalu mewarnai ketinting sekolah yang sederhana itu setiap harinya.


13975440521541238628
inilah sekolah di seberang sungai itu

Tidak adanya sekolah di Wimro cukup menyulitkan anak-anak untuk menikmati fasilitas pendidikan yang harusnya mereka terima. Kampung yang kini sepi sehingga kuota murid tidak terpenuhi menjadi salah satu alasan tidak adanya sekolah di sana. Beberapa warga mengeluhkan masalah ini, namun apa daya mereka tak tahu harus mengeluh kepada siapa. Namun, dengan adanya ketinting sekolah dapat sedikit mengobati kekecewaan warga. Meski dengan usaha ekstra dan risiko yang cukup besar, anak-anak mereka berhasil mendapatkan hak dasar atas pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar