Selasa, 22 Juli 2014

Safari Masjid Papua Barat (1): Mengenal Muslim Lokal dan Masjidnya

Pesawat baling-baling yang kami tumpangi baru saja mendarat di sebuah bandara kecil yang berada di tengah padang rumput luas dengan hutan hujan sebagai batasnya. Bandara ini dulunya digunakan sebagai lapangan udara militer saat perang dunia kedua. Saat ini bandara Babo diambil alih sebuah perusahaan gas yang biasanya digunakan untuk memfasilitasi karyawannya namun dapat dipakai juga oleh pesawat komersial umum. Babo adalah persinggahan pertama sebelum melanjutkan perjalanan ke beberapa tempat lain di kawasan Teluk Bintuni. Sebuah kota kecil yang menjadi salah satu pusat perekonomian di kawasan Teluk Bintuni. Dibanding beberapa distrik/kecamatan lain di Teluk Bintuni, distrik Babo terbilang modern dan memiliki fasilitas umum relatif lengkap.

1405329785663307591
mendarat di bandara Babo
Tak sampai lima menit menggunakan mobil sampailah kami di kantor distrik, yang juga merupakan pusat distrik Babo. Dari sini kita dapat dengan mudah mengakses berbagai fasilitas umum seperti puskesmas, sekolah, dan masjid. Untuk mencapai masjid hanya perlu berjalan kaki selama 10 menit dari kantor distrik. Masjid Miftahul Jannah adalah masjid terbesar di Babo. Masjid yang mampu menampung sekitar 200 jamaah ini memiliki serambi yang luas. Serambi masjid dibatasi oleh pagar setinggi sekitar setengah meter. Sebuah bedug ukuran cukup besar diletakkan di serambi masjid bagian depan. Ruangan dalam dan serambi masjid dilapisi lantai keramik. Empat buah tiang beton yang terletak di bagian dalam menjadi penopang utama atap masjid yang berbentuk tumpang.

1405329898569478215
masjid Miftahul Jannah Babo
Ada tiga masjid/mushola di Babo, namun masjid Miftahul Jannah lah yang paling sering mengadakan berbagai kegiatan di luar sholat berjamaah. Saat saya ke sana pada Oktober 2013, setiap ba’da Maghrib diadakan latihan untuk mempersiapkan diri menjelang seleksi MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) tingkat provinsi. Beberapa tahun terakhir Babo berhasil mengirimkan putra-putri terbaik mereka ke kejuaraan MTQ Papua Barat mewakili kabupaten Teluk Bintuni. Saat itu mereka tengah berjuang untuk dapat kembali maju ke MTQ tingkat provinsi yang tahun depan (2014) digelar di Raja Ampat.

14053301131469923901
serambi tempat anak-anak mengaji
Warga Babo terbilang multietnis karena terdiri dari beragam suku seperti Jawa, Buton, Toraja, dan Irarutu sebagai suku asli. Suku Irarutu yang tinggal di Babo kebanyakan beragama Islam. Beberapa suku asli di Papua Barat memang sudah memeluk Islam sejak lama. Banyak sumber yang menjelaskan sejarah dakwah Islam di Papua, salah satunya adalah pengaruh kesultanan Tidore yang memiliki wilayah kekuasaan di sebagian Papua Barat. Pengaruh tersebut berdampak pada adat dan budaya warga Babo cukup kental dengan nilai keislaman. Prosesi pernikahan, adalah salah satu tradisi lokal yang sarat nilai keislaman. Dalam tradisi tersebut pengantin akan diarak keliling kampung diiringi tabuhan rebana dan sholawatan. Di sore hari seringkali dijumpai mace-mace yang jalan berombongan ke rumah tetangganya untuk mengikuti pengajian. Tradisi dan kebiasaan itu masih lestari hingga kini.

Beranjak dari Babo, kita menuju ke kampung Sidomakmur. Ketinting menjadi satu-satunya transportasi umum dari Babo ke Sidomakmur. Dibutuhkan waktu sekitar satu jam untuk sampai ke kampung Sidomakmur. Sidomakmur, sebuah nama yang sangat berbau Jawa. Dan memang kampung ini banyak dihuni oleh perantau asal Jawa sebagai konsekuensi dari upaya pemerintah membangun sebuah area transmigrasi di era 90-an. Kampung ini sangat kecil dan hanya dihuni oleh 100 KK. Tidak begitu luas, hanya dihubungkan oleh rangkaian papan kayu yang mengelilingi kampung. Semua rumah dan fasilitas di Sidomakmur terbuat dari kayu karena itu kampung ini juga dikenal dengan sebutan Rumah Kayu Indonesia (RKI).

1405330335319923185
salah satu sudut kampung Sidomakmur
Sidomakmur hanya memiliki sebuah masjid yang terletak di tengah kampung. Masjid itu hampir seluruhnya terbuat dari kayu, hanya atapnya saja yang dari seng. Di serambi masjid terdapat bedug ukuran sedang yang diletakkan di salah satu sudut bagian depan. Ruangan dalam masjid begitu bersih dengan keramik yang menutupi seluruh lantainya. Warna dominan biru memberikan kesejukan saat memasuki masjid. Ditopang oleh empat kayu utama, semakin memperkokoh masjid ini. Meski tidak ada pasokan listrik dari PLN, masjid tetap terang saat malam dan bisa mengumandangkan adzan melalui pengeras suara. Itu semua berkat listrik hasil swadaya masyarakat dengan menggunakan genset kampung.

14053304801848382992
tetap terang saat malam
14053306721447776769
ruangan utama masjid
Selalu ada sholat jamaah di awal waktu. Kebanyakan warga yang ikut sholat jamaah adalah warga di sekitar masjid, wajah-wajah mereka tidak asing lagi. Ya.. mereka adalah orang Jawa yang menjadi mayoritas di kampung ini. Penggunaan bahasa Jawa sebagai percakapan sehari-hari sangat lumrah di sini. Orang Madura yang di tempat asalnya kesulitan berbahasa Jawa, di sini dapat diajak ngobrol menggunakan bahasa Jawa. Bahkan orang non Jawa seperti orang Maluku, Buton, dan Papua sendiri sesekali terdengar menggunakan bahasa Jawa saat berbelanja di kios milik orang Jawa. Bisa dibilang, Sidomakmur adalah Papua rasa Jawa.

Senin, 21 Juli 2014

Kopi dan Sopi, Tradisi yang Masih Lestari

Sebotol sopi dan sebungkus rokok tersedia di atas meja kayu. Terdapat beberapa kursi yang mengelilingi meja itu, ada kami sebagai tamu, tuan rumah, dan seorang tetua adat. Sang tetua terlihat komat-kamit berdoa dan mencoba komunikasi dengan roh leluhur. Tak sampai sepuluh menit kemudian, sang tetua selesai dengan ritualnya. Beliau kemudian menyampaikan bahwa kedatangan kami sudah diterima, tidak ada yang bisa ganggu kami karena telah dilindungi oleh para leluhur. Beliau juga berpesan agar kami menjaga perilaku selama tinggal di wilayah itu. Terakhir  beliau menyodorkan sopi dan rokok sebagai penghormatan untuk tamu. Tahu kalau kami pantang minum alkohol, beliau menyuruh masing-masing kami untuk memegang keduanya sebagai tanda kalau sajian sudah diterima.

14030653281117690922
sajian untuk menyambut tamu
Tak sampai di situ, ternyata tuan rumah juga telah menyiapkan seekor ayam putih. Tanpa basa-basi kami langsung disodori sebuah pisau untuk menyembelih ayam yang sudah disiapkan. Agak kaget memang, saat itu sudah jam 9 malam kami disuruh menyembelih ayam yang jadi hidangan utama kami nanti. Mereka masih sempat-sempatnya menyiapkan banyak hal untuk para tamu yang belum dikenal. Sebelumnya kami memang sempat menghubungi tuan rumah dan menjelaskan sedikit tujuan kami via telepon, namun tak disangka bakal dapat sambutan seperti ini. Pisau sudah ditangan, ayam pun sudah siap sedia menyerahkan batang lehernya. Tumpulnya pisau ditambah rasa grogi karena baru pertama menyembelih hewan membuat leher ayam malang itu putus seketika.
14030645851769852319
jelang eksekusi
Sudah tradisi bagi orang Manggarai, NTT untuk menyambut tamu dengan cara demikian. Mereka juga sudah sangat paham tentang kebiasaan dan kepercayaan tamunya yang ditunjukkan dengan menyerahkan prosesi penyembelihan ayam kepada kami. Memang tidak semua desa yang kami kunjungi memberikan penyambutan secara adat karena penyambutan itu tergatung kebiasaan si tuan rumah. Di satu desa kami tidak disambut secara adat namun tetap saja, “beleh manuk sudah!” (sembelih ayam sana!), perintah si tuan rumah.
Sopi/tuak dijadikan sebagai sajian khusus untuk menyambut tamu karena minum minuman keras sudah menjadi kebiasaan bagi laki-laki dewasa Manggarai. Bahkan, mereka secara terang-terangan menjual BM (Bakar Menyala) di pinggir jalan raya. Dinamakan Bakar Menyala karena saking tingginya kadar alkoholnya, jika disulut api akan langsung menyala. Mereka minum tidak mengenal waktu dan tempat, asal ingin mereka beli dan minum. Hanya dengan merogoh kocek 50 ribu, sopir travel kami bisa mendapatkan BM yang dijual di pinggir jalan itu. Dia dan kawannya meminum bergantian sambil istirahat sebentar kemudian melanjutkan perjalanan. Katanya mereka sudah biasa menyetir sambil mabuk. Akhirnya si sopir tidak kuat dan menyerahkan kemudinya ke kawannya yang “cuma” sedikit mabuk.

1403064930102304578
beberapa botol BM yang dijual bebas di pinggir jalan
Pembuatan sopi dan BM masih sangat tradisional, dan banyak dijumpai di kampung-kampung. Pembuatannya tidaklah sulit, yang diperlukan hanyalah bahan baku berupa air enau dan pipa bambu sebagai sarana untuk mengalirkan uap. Setelah air enau didapat kemudian didiamkan selama beberapa waktu sebelum dimasak. Semakin lama didiamkan, kadar alkohol semakin tinggi. Pada setengah hari pertama, rasa enau masih manis tetapi jika sudah lebih dari sehari rasanya berubah menjadi asam. Tujuan memasak enau adalah untuk diambil uapnya, tetesan uap pertama kadar alkoholnya jauh lebih tinggi dari tetes terakhir. Tetesan uap itu ditampung dalam beberapa botol air mineral 600 ml. Biasanya dalam sekali proses pemasakan, dua botol pertama disebut BM sedangkan beberapa botol setelahnya disebut sopi dengan kadar alkohol yang lebih rendah.
Di pedalaman Manggarai tidak ada warung yang menjual makanan jadi, hanya beberapa kios kecil yang menjual sembako dan beberapa kebutuhan lain. Namun, kita tidak perlu khawatir akan kehausan apalagi kelaparan. “Kalau kalian lapar, bilang saja mama, saya lapar. Tak usah sungkan.” Kata seorang Bapak dengan entengnya. Menerima nasihat itu, kami pun hanya tersenyum sambil mengangguk. Sebagai orang Jawa, tentu sangat sungkan meminta makan secara vulgar seperti itu. Namun muncul secercah harapan kalau kami bakal sering dapat makanan gratis. Setiap rumah yang kami kunjungi pasti menyuguhkan sesuatu, minimal kopi. Jika kunjungan bertepatan dengan waktu makan, kami akan disuruh makan. Bahkan, tak jarang kami dipaksa untuk makan lagi meski sudah bilang kalau di rumah tetangga tadi sudah diberi makan. Seringkali kami bisa makan 4-5 kali dalam sehari dan minum kopi sampai 6 gelas sehari.
Kopi juga sudah menjadi budaya dalam masyarakat Manggarai. Kopi Manggarai memang dikenal sebagai salah satu kopi favorit para penikmat kopi. Kopi Manggarai ini memiliki cita rasa pahit dan hampir tidak terasa asam, sangat khas dibanding beberapa kopi dari daerah lain. Di daerah pegunungan Manggarai sering ditemui perkebunan kopi mulai dari yang besar sampai perkebunan kecil yang tersebar di lereng-lereng bukit. Ketenaran kopi Manggarai membuatnya menjadi komoditas andalan di sektor perkebunan. Mereka biasa menjual dalam bentuk biji ke tengkulak, kemudian diangkut menggunakan otokol (truk yang sudah dimodifikasi) untuk dijual lagi ke kota Ruteng.
Minimal dua kali sehari orang Manggarai menikmati kopi yaitu saat pagi dan sore hari. Namun jika banyak tamu yang berkunjung, makin banyak pula kopi yang mereka minum. Mereka biasanya menikmati kopi pahit tanpa gula, namun untuk tamu yang berasal dari luar Manggarai dibuatkan kopi manis. Sebagai teman minum kopi, disajikan pula pipilan jagung rebus. Lengkap sudah sajian lokal khas Manggarai.

1403065450333633796
sajian sederhana namun istimewa
Kopi dan sopi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Manggarai. Bisa dikatakan dua minuman itu menjadi minuman wajib bagi mereka. Bagi tamu/orang luar seperti saya, kedua minuman itu menjadi simbol keramahan orang Manggarai. Setiap mengunjungi sebuah rumah pasti salah satu dari kedua minuman itu akan muncul setelah sambutan hangat si tuan rumah. Dan tradisi yang sudah berumur ratusan tahun itu masih tetap lestari hingga kini.
Catatan Kecil: Jangan Marah Ya..
“Jangan marah ya... rumah kami berantakan” ujar si tuan rumah saat saya masuk ke rumahnya (Lah.. apa tampang saya terlihat pemarah? Kok dia bilang gitu?). Perkataan serupa juga disampaikan tuan rumah lain sebagai kalimat pembuka saat saya berkunjung. Hanya senyum yang saya berikan karena tidak tahu harus menanggapi bagaimana dan menunjukkan kalau saya tidak marah tentunya. Ternyata ada alasan logis di balik basa-basi tuan rumah khas Manggarai itu. Jika biasanya (kebiasaan di Jawa) basa-basi yang sering diucapkan adalah “maaf, rumah kami berantakan”. Kata “maaf” diucapkan jika kita merasa salah, kalau rumah kita “berantakan” apakah kita bersalah terhadap tamu? Rasanya kurang tepat minta maaf kalau memang tidak salah, apalagi sekadar untuk basa basi. Jadi kata “jangan marah” dapat diartikan sebagai ungkapan perasaan tidak enak (sekadar basa-basi).

Meriahnya Pesta Pernikahan Suku Sasak Lombok

Laju mobil kami tersendat lantaran jalan dipenuhi oleh serombongan orang berpakaian adat suku Sasak. Tepat di tengahnya, terdapat seorang perempuan dengan pakaian adat berbeda dari sekelilingnya dan dinaungi payung tradisional. Di belakangnya, tampak segerombolan pemuda yang berjoget tak karuan diiringi musik khas Sasak. Kemeriahan tercipta seketika sore itu dalam upacara Nyongkolan.


13954756601810626289
rombongan Nyongkolan (dok. pribadi)

Nyongkolan adalah sebuah tradisi yang menyertai prosesi pernikahan pada suku Sasak di Lombok. Dalam tradisi ini, sepasang pengantin diarak menuju rumah mempelai perempuan. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan pasangan tersebut ke khalayak, terutama kerabat/warga di sekitar rumah mempelai perempuan karena biasanya seluruh prosesi pernikahan dilaksanakan di tempat mempelai laki-laki.
Riuhnya suara musik disertai semaraknya pengiring pengantin membuat prosesi Nyongkolan menyedot perhatian warga sekitar tak terkecuali pengendara yang kebetulan lewat. Warga berbondong-bondong memadati tepian jalan untuk menyaksikan prosesi pernikahan yang sebetulnya lebih mirip pawai tersebut. Arak-arakan itu biasanya memakan separuh badan jalan sehingga memaksa pengendara untuk melambatkan laju kendaraannya atau bahkan menepi sejenak sampai semua rombongan lewat.


13956557541301788998
rombongan Nyongkolan yang memadati jalan raya

Prosesi Nyongkolan dapat ditemui di seluruh pulau Lombok. Dari mulai jalan kecil antar kecamatan sampai jalan lintas kabupaten. Waktu pelaksanaan biasanya dilakukan di akhir pekan. Dalam perjalanan dari Pujut (Lombok Tengah) menuju Masbagik (Lombok Timur) kami berpapasan dengan 3 rombongan Nyongkolan. Cuaca sore itu mendung dan turun hujan di beberapa tempat. Namun, mendekati daerah yang dilalui rombongan Nyongkolan tak ada setetes air pun yang turun dari langit. Ketika menjauh dari rombongan, titik gerimis kembali menghiasi kaca depan mobil. Hal yang sama terjadi ketika kami berpapasan dengan rombongan nyongkolan di tempat berikutnya.
Macet adalah suatu keniscayaan dalam prosesi Nyongkolan. Pengendara harus rela menunda perjalanan mereka untuk mempersilahkan rombongan lewat. Bagi pengendara motor tidaklah sulit untuk meliuk-liuk melewati celah badan jalan yang tersisa. Namun, untuk pengendara mobil haruslah sabar menanti beberapa saat untuk dapat kembali melanjutkan perjalanan. Biasanya, ada beberapa orang dalam rombongan yang bertugas mengatur lalu-lintas dan memastikan rombongan tidak keluar dari jalur yang ditentukan.

1395477196821895203
ketertiban tetap harus dijaga (dok. pribadi)

Meski perjalanan sedikit terhambat, kemeriahan Nyongkolan menjadi suatu hiburan selama menunggu. Remaja tanggung terus berjoget asal-asalan sepanjang perjalanan mengikuti alunan musik. Para penabuh drumband dan gendang beleq (alat musik khas Sasak) berkolaborasi dengan pemain organ tunggal menciptakan harmoni nada yang menghibur. Alunan musik tradisional Sasak dipadu dengan alat musik modern seperti drumband dan organ menambah keceriaan. Tak lupa, pengantin yang tetap sumringah meski harus berjalan kaki cukup jauh.


13956559991014007564
sang pengantin pria dengan beberapa pengawalnya

Suatu tradisi yang unik dan kolosal karena melibatkan banyak orang dan biaya yang tidak sedikit. Belasan hingga puluhan juta rupiah harus disediakan untuk membuat pesta meriah seperti itu. Tentu saja, tidak semua upacara pernikahan di Lombok menyertakan Nyongkolan besar-besaran. Esensinya, Nyongkolan ditujukan untuk memperkenalkan pengantin ke masyarakat. Jadi, tidak perlu bermewah-mewah dalam melangsungkan upacara pernikahan. Tapi bagaimanapun juga, pesta pernikahan ala sasak kurang afdal tanpa Nyongkolan.


13956561801207433934
pokoke njoged..

Senandung Merdu dalam Kesunyian Kampung Wimro

Hitam kulit, keriting rambut... Aku Papua” seorang pemuda berkulit hitam dan berambut keriting pendek mendendangkan lagu “Aku Papua”. Diiringi petikan gitar, dia bernyanyi di teras rumahnya yang terletak di pinggir kali. Suaranya yang merdu khas orang timur memecah kesunyian kampung Wimro sore itu.


1391754555637453696
kampung Wimro (dok. pribadi)

Wimro, sebuah kampung kecil di kawasan Teluk Bintuni Papua Barat memiliki sejarah yang unik. Kampung ini dulunya merupakan area pabrik udang Jayanti milik keluarga Cendana. Di era 90-an, perusahaan udang Jayanti mengalami kejayaan di Wimro. Ribuan karyawan menyesaki area pabrik dan tinggal di mess-mess yang disediakan perusahaan. Orang-orang dari luar daerah terutama transmigran berbondong-bondong datang menambah populasi di Wimro. Bahkan dibangun juga kampung transmigran di sebelah Wimro yang dinamakan kampung Sidomakmur. 
Udanglah yang menjadi daya tarik bagi pengusaha dan pendatang yang membuat perekonomian di Wimro berkembang pesat. Berton-ton udang dijaring dan kemudian diolah di pabrik. Perairan Wimro memang surganya nelayan udang. Tak perlu jauh-jauh berlayar, cukup mendayung sampan beberapa menit dan menebar jala. Tak lama kemudian jaring sudah dijejali udang. Bisa dibayangkan berapa hasil yang didapat kapal besar milik Jayanti waktu itu. Namun, kejayaan Jayanti tidak berlangsung lama. Awal tahun 2000-an, perusahaan itu bangkrut. Tidak hanya pabrik udangnya saja tetapi pabrik loging di Tofoi (masih di area Teluk Bintuni) milik Jayanti Group juga ikut tutup. Di masa jayanya, Jayanti memang memiliki beragam usaha di Teluk Bintuni. Akhirnya perusahaan milik penguasa Orde Baru itu kolaps seiring jatuhnya kekuasaan Orba di akhir 90-an.
Tutupnya pabrik, membuat kampung menjadi sepi kembali. Para karyawan yang sudah tak punya pekerjaan lagi pergi meninggalkan kampung. Namun ada juga beberapa yang bertahan di sana sampai sekarang. Mereka memilih bertahan dengan berbagai alasan salah satunya karena hasil laut yang masih menjanjikan. Meski sudah berkurang banyak, udang di perairan Wimro masih dirasa cukup layak untuk dijadikan “pegangan”. Selain udang, masih ada kepiting mangi-mangi (rawa) yang juga memiliki nilai ekonomis cukup tinggi. Sampai sekarang, warga masih bisa dengan mudah mendapatkan kepiting. Menggunakan perangkap kawat berbentuk balok, mereka tinggal memasangnya di pinggir rawa. Tak sampai sehari, perangkap itu sudah penuh sesak oleh kepiting dengan ukuran yang beragam.


1391754633917053439
nelayan penangkap kepiting (dok. pribadi)
13917546781817900356
kepiting mangi-mangi yang berhasil ditangkap (dok. pribadi)

Sebenarnya ada beberapa perusahaan yang mencoba menghidupkan pabrik udang di Wimro karena hasil udang masih cukup menjanjikan. Namun karena beberapa kendala, pabrik itu kembali tutup. Saat saya ke Wimro pada November 2013, pabrik udang kembali dibuka oleh PT Timika Samudera sejak 4 bulan sebelumnya. Beberapa warga sekitar direkrut sebagai karyawan. Kapal-kapal yang mangkrak di jetty pabrik, sebagian kembali dioperasikan. Menurut pengakuan seorang nahkoda, dalam sekali trip (2 minggu) mereka bisa menjaring udang 3 ton dengan kapal besarnya. Jika harga udang 50 ribu/kg, maka udang 3 ton bernilai 150 juta. Jadi dalam sebulan, satu kapal bisa menghasilkan 300 juta. Sebuah hasil yang cukup menjanjikan meski setelah dikurangi berbagai biaya operasional. Meski demikian, dikabarkan pabrik udang itu akan tutup beberapa bulan lagi. Alasannya adalah karena adanya konflik dengan warga lokal pemilik tanah adat.


1391754783143043357
kapal milik perusahaan udang bersandar di jetty pabrik (dok. pribadi)

Tak terlihat kesibukan di sekitar pabrik. Hanya sayup-sayup terdengar suara mesin dari dalam pabrik. Sementara mess-mess di sekitar pabrik tampak terbengkalai, hanya beberapa kamar saja yang dihuni karyawan. Di jetty, banyak kapal teronggok begitu saja karena sudah lama tidak terpakai. Bahkan sebagian sudah menjadi onggokan besi tua tak berguna. Meski sudah beroperasi kembali namun kapasitas produksinya masih belum optimal.


13917548361075256546
area pabrik udang Wimro (dok. pribadi)
13917548741401899753
kapal yang terbengkalai (dok. pribadi)

Tak lebih dari 100 KK yang mendiami kampung utama. Selebihnya, populasi terkonsentrasi di di mess-mess sekitar pabrik yang dihuni karyawan yang kebanyakan berasal dari luar kampung. Tidak banyak warga kampung yang bekerja di pabrik. Mereka lebih banyak bekerja sebagai nelayan udang dan kepiting. Sunyi, begitu kesan pertama saya ketika memasuki kampung ini. Jalanan utama tampak sepi, hanya terlihat beberapa orang beraktivitas di dalam rumah. Selain karena penduduknya yang sedikit, siang itu warga masih banyak yang bekerja baik itu melaut maupun kerja di pabrik. 
Sunyi, lagi-lagi saya rasakan di kampung itu. Empat hari tinggal di sana tidak sekalipun saya dengar suara adzan. Muslim memang bukan lagi menjadi mayoritas di Wimro. Dahulu memang mayoritas warga yang didominasi pendatang beragama Islam. Karena itu, di kampung ini terdapat masjid yang cukup megah. Sampai sekarang masjid itu tetap berdiri kokoh. Ironisnya, tidak terlihat satupun warga yang sholat di masjid itu. Padahal di sekitarnya terdapat beberapa keluarga Muslim. Memang takmir masjidnya sedang pergi melaut, tapi tidak adakah warga yang berinisiatif memakmurkan masjid? Ah... kampung sunyi ini terlalu sulit untuk saya pahami.


13917549471100875482
masjid megah yang sepi (dok. pribadi)

Kampung yang terlupakan, begitulah kira-kira kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan Wimro. Sisa-sisa kejayaan tempo dulu hanya dapat dilihat dari pabrik udang yang saat ini “mati segan hidup tak mau”. Nyaris tak ada fasilitas umum di kampung ini. Untuk sekolah anak-anak harus menyeberang ke kampung sebelah karena tidak ada sekolah di sini. Bahkan seorang ibu harus membawa anaknya yang sering sakit-sakitan menyeberang ke Sidomakmur untuk mendapatkan perawatan di Pustu (Puskesmas Pembantu). 
Senandung dari sang pemuda sudah tak terdengar lagi. Sunyi pun kembali, mengiringi sang surya menuju peraduannya. Beberapa perahu tertambat di jetty, kosong ditinggalkan pemiliknya. Air begitu tenang, tak mau membuat keriuhan dengan riak gelombangnya. Mentari sudah menghilang di balik cakrawala. Kini, merahnya langit senja menaungi kampung sunyi itu.


1391755067529330118
senja yang sunyi di kampung Wimro (dok. pribadi)

Catatan Kecil: Cinta Bersemi di Jayanti


13917549982123306154
salah satu gedung di pabrik udang Wimro (dok. pribadi)

Jayanti, sebuah perusahaan pengolahan udang besar dengan ribuan karyawan. Orang Jawa, Sulawesi, Maluku, dan tak ketinggalan orang asli Papua bekerja di tempat itu. Banyak dari mereka yang masih lajang. “Terjebak” di sebuah kampung kecil di pelosok Papua dalam waktu yang lama membuat  sering terjadi cinlokdiantara mereka. Mess yang terpisah antara laki-laki dan perempuan tak menyurutkan langkah seorang lelaki untuk mendapat perhatian wanita pujaannya. Seringkali mereka menyambangi mess perempuan untuk mengajaknya kencan atau sekedar cari-cari perhatian. Di sinilah kawin campur terjadi dan melahirkan anak-anak Indonesia, bukan anak Jawa, Maluku, atau Papua. Belasan tahun kemudian, beberapa keluarga memilih untuk menetap di kampung tempat mereka dipertemukan.

Bertandang ke Kampung RKI (Rumah Kayu Indonesia)



139037041558794154
pintu masuk kampung Sidomakmur/RKI (dok. pribadi)

Segelas es dawet menjadi penawar haus yang nikmat siang itu. Matahari Papua terasa begitu terik menyengat. “Bu, dawet e pinten (dawetnya berapa)?” tanyaku, “Tiga ribu, Mas,” jawabnya. Meski sedikit kaget (murah untuk ukuran Papua), kurogoh selembar dua ribuan dan seribuan kumal lalu kuserahkan kepadanya.
Ibu Jawa itu adalah salah satu dari warga kampung Sidomakmur yang mayoritas penduduknya adalah orang Jawa. Ada juga orang Jawa yang kesehariannya berbahasa Madura, mereka berasal dari Probolinggo yang tinggal di dekat jetty (dermaga). Mayoritas mereka bekerja sebagai nelayan udang. Selain orang Jawa, terdapat pula orang Maluku, Buton, dan tentunya orang asli Papua yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Banyaknya orang Jawa, membuat saya tidak merasa asing di sini. Percakapan sehari-hari mereka menggunakan bahasa Jawa. Orang non-Jawa juga kadang memakai bahasa Jawa untuk percakapan ringan seperti membeli barang di kios, terdengar kaku dan wagu tapi lucu.
Sidomakmur, dikenal juga dengan sebutan RKI (Rumah Kayu Indonesia) terletak di distrik Aroba, Teluk Bintuni, Papua Barat. Sesuai dengan namanya, semua rumah di sana terbuat dari kayu. Tidak hanya itu, jalan penghubung antarrumah juga terbuat dari kayu papan. Kampung kecil yang dihuni sekitar 100 KK itu dulunya adalah kawasan transmigrasi di era 90-an. Namun, banyak transmigran yang tidak betah dan meninggalkan tempat itu. Rumah-rumah yang kosong itu, kemudian ditempati para nelayan udang yang mengadu nasib di perairan RKI. Sebagai bekas area transmigrasi infrastruktur seperti jalan dan perumahan sudah tertata dengan baik. Rumah-rumah panggung tersusun rapi mengikuti jalur jalan papan yang mengelilingi kampung.


13903705131721493617
jalan kampung penghubung antar rumah (dok. pribadi)

Fasilitas publik di RKI terbilang cukup lengkap untuk ukuran kampung di Papua. Fasilitas pendidikan mulai dari TK sampai SMP tersedia di tempat itu. Bangunan sekolah juga terbuat dari kayu, tampak masih baru. Siswanya tidak hanya dari RKI saja, tetapi juga berasal dari kampung Wimro yang tidak memiliki sekolah. Selain sekolah di kampung ini juga terdapat sebuah PUSTU (Puskesmas Pembantu) dan tempat ibadah seperti masjid dan gereja.


13903706171823359701
SD-SMPN Satu Atap Wimro, kampung Sidomakmur (dok. pribadi)

Perairan di sekitar RKI payau airnya. Untuk memenuhi kebutuhan air tawar, mereka biasa menampung air hujan. Dengan talang, mereka menampung air hujan di drum-drum yang sudah disiapkan. Jika air drum habis, mereka biasa menyedot air dari kolam penampungan air hujan yang ada di sebelah sekolah. Sebagian warga memilih untuk menjadikan air galon untuk memenuhi kebutuhan air minum.


13903707632000579351
kolam penampungan air hujan (dok. pribadi)


Catatan Kecil: Tetap Terang Meski Malam


13903709672111481374
malam tetap terang di jetty RKI (dok. pribadi)

Seperti perkampungan kecil di Papua lain, PLN masih belum bisa menjangkau RKI. Namun berbeda dengan kampung lain yang selalu diselimuti kegelapan dan kesunyian saat malam. Lampu listrik sudah menjadi sumber utama penerangan, bahkan kebanyakan rumah sudah memiliki televisi lengkap dengan parabolanya. Selain itu, ada pula lampu penerangan umum yang dipasang di beberapa titik. Listrik tersebut berasal dari genset, baik genset pribadi maupun genset umum. Ada beberapa genset umum yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan warga. Tidak sedikit rupiah yang harus dikeluarkan untuk menebus fasilitas itu. Dibutuhkan sekitar 10 liter (15 ribu/liter) bensin semalam untuk menghidupkan genset. Bagi warga yang tidak punya genset, bisa memanfaatkan genset umum atau numpang dari genset tetangga dengan tarif tertentu. Biaya listrik biasa dibayar bulanan kepada pemilik genset. Biaya pemakaian listrik, dihitung per alat elektronik (lampu apa pun jenisnya tarifnya 100 ribu/bulan, sedangkan untuk TV tarifnya 300 ribu/bulan). Untuk alat elektronik lain, menyesuaikan dengan besaran watt-nya. Ratusan ribu hingga jutaan rupiah mereka keluarkan tiap bulannya untuk kebutuhan listrik. Cukup besar memang, tapi perekonomian di RKI yang relatif mapan membuat mereka mampu memenuhinya.

Menyusuri Jalan Jamin Ginting, Menjelajah Tanah Karo yang Memukau



13914110882058503216
Gunung Sinabung tegak berdiri di ujung jalan (dok. pribadi)

Jam menunjukkan pukul 7 lebih, sesaat setelah mobil sewaan datang kami berebutan masuk. Tak sabar rasanya untuk menyambangi danau terbesar se Asia Tenggara. Di antara kami bertujuh, hanya dua orang yang pernah ke Danau Toba. Seorang kawan yang merupakan “orang lokal” bertugas menjadi sopir sekaligusguide kami. Sambil menyalakan mesin dia menanyakan mau makan di mana. Terserah... jawaban konvensional dan paling aman. Segera dia menyarankan suatu tempat, “gimana kalau kita makan di Peceren aja?”. Sejenak kami terdiam, dan pecahlah tawa di dalam mobil itu. Hanya si guide saja yang bengong kebingungan. Kami biarkan dia larut dalam kebingungan sejenak, lalu menjelaskan arti peceren dalam bahasa Jawa. Sambil tertawa, dia berkata, “ayo kita makan di “Comberan”!”.

Selasa, 01 Juli 2014

Mahalnya Biaya Hidup di Papua

aktivitas bongkar muat di sebuah dermaga
“Es teh di Papua itu, harganya 12 ribu lho. Lha wong bawanya aja pake pesawat..”, kata salah seorang kawan. Sebuah guyonan yang sering dia lontarkan sebagai pencair suasana saat ngobrol dengan warga kampung. Saya yang sudah berulang kali mendengar ceritanya, sampai bosan. Namun bagi yang pertama kali mendengarnya, akan tertawa keheranan dan pasti penasaran akan kelanjutan “cerita dari tanah Papua”. Saya pun juga bereaksi demikian, ketika mendengar ceritanya untuk pertama kali. Kalau tidak terpaksa, saya tak akan membelinya. Hanya untuk memanjakan kerongkongan sekejap, harus mengorbankan jatah makan di Jogja selama sehari. Sebenarnya, semahal itukah harga segelas es teh di Papua?

Tidak juga, selama dua bulan berada di Papua Barat tidak pernah saya temukan es teh seharga 12 ribu. Bahkan di kampung Sidomakmur (Teluk Bintuni) saya hanya perlu membayar 3 ribu untuk menebus segelas es dawet (biasanya es dawet cenderung lebih mahal dari es teh). Sebuah jawaban yang baru bisa saya temukan beberapa bulan setelah saya penasaran dengan cerita “es teh 12 ribu” itu. Tidak semua harga barang di Papua mahal, tapi hampir semua emang mahal. Kasus es dawet seharga 3 ribu (setara dengan harga es dawet di Jogja) hanya ditemukan di satu kampung saja. Sama kasusnya seperti harga seikat kangkung (tak jauh beda banyaknya dengan yang dijual di Jogja) yang harganya 10 ribu di kampung lain.  Sungguh “sesuatu” rasanya ketika menyantap kangkung mahal itu.

Banyak faktor yang mempengaruhi harga barang di Papua. Biaya transportasi yang mahal, jadi alasan utamanya. Masih belum banyak barang yang diproduksi di Papua. Jadi hampir semua barang yang dijual di sana, harus didatangkan langsung dari pulau lain terutama Jawa. Perjalanan panjang akan ditempuh sekantong teh celup dari pabriknya yang ada di Jawa, sampai di gelas Pace/Mace di Papua sana. Mulai dari perjalanan darat ke Surabaya, dilanjutkan numpang kapal ke Sorong, kemudian lanjut  ke Babo (kampung yang menjadi salah satu pusat perekonomian di Kabupaten Teluk Bintuni), masih lanjut lagi naik ketinting (kapal motor kecil yang menjadi moda transportasi utama antar kampung di Teluk Bintuni) dan sampailah di kampung yang dituju. Itu baru transportnya saja, belum dihitung biaya TKBM (Tenaga Kerja Bongkar Muat). Para TKBM selalu bersiap menyambut kapal barang yang akan berlabuh. Mereka bertugas membawakan barang-barang ke gudang atau kios. Biaya angkut beragam, tergantung jenis, berat, dan volume barang. Sebagai gambarannya, seorang TKBM bisa dapat 3 ribu untuk mengangkut sekardus teh celup dari dermaga ke kios yang berjarak 400 meter. Makin banyak kampung yang disinggahi, makin bengkak pula harga suatu barang.

Normalnya, harga barang di Papua bisa mencapai 2 sampai 3 kali lipat dari harga barang di Jawa. Contoh kecil sebotol cola yang di Jawa dibanderol dengan harga 3 ribu, di Sorong dijual seharga 5 ribu sementara di kampung Sidomakmur dihargai 8 ribu. Selisih harga yang lebih besar yaitu antara Sorong dan Sidomakmur, padahal jaraknya lebih dekat dibanding Jawa-Sorong. Ini menunjukkan antara Sorong-Sidomakmur terdapat komponen biaya yang lebih banyak dan lebih besar seperti biaya transportasi dan ongkos TKBM.

Untuk contoh ekstrim seperti es dawet seharga 3 ribu dan seikat kangkung 10 ribu, ada beberapa kemungkinan yang menjadi penyebabnya. Pertama es dawet 3 ribu, di kampung itu ada kios grosir yang kulakan (membeli barang untuk dijual kembali) dari Jawa langsung sehingga memotong rantai distribusi yang berarti meminimalkan biaya, dan harga jual relatif lebih murah. Dengan adanya kios tersebut, pedagang dawet mendapat harga beli bahan baku yang cenderung murah. Kedua seikat kangkung 10 ribu di kampung Tomage (pedalaman Fakfak). Bisa jadi hal itu disebabkan karena faktor kelangkaan. Masih sedikit warga yang menanam sayuran. Kebanyakan mereka masih tergantung dari hasil hutan seperti sagu, hewan buruan, dan dedaunan.

Kenyataan seperti ini membuat saya yang baru pertama ke Papua merasa miskin. Bagaimana tidak, rupiah saya berkurang nilainya menjadi setengah bahkan sepertiganya. Meski sudah banyak dengar cerita tentang mahalnya biaya hidup di Papua, tetap saja kaget ketika mengalaminya secara langsung. Hidup di Papua memang mahal.

Perjalanan Segalon Air, Sebuah Ilustrasi Rantai Distribusi di Teluk Bintuni

Untuk menyediakan kebutuhan akan air galon, pedagang kios di Sidomakmur harus kulakan dari Babo sebagai tempat produksi air galon terdekat. Jarak Sidomakmur ke Babo tak lebih dari 7km, dapat ditempuh sekitar dua jam menggunakan ketinting. Harga kulakan air galon di Babo 13 ribu. Ongkos TKBM Babo (bawa galon dari pabrik ke dermaga dengan jarak sekitar 500m) 4 ribu/galon air. Sewa ketinting Babo-Sidomakmur dihitung per barang, 3 ribu/galon air. Sesampai di Sidomakmur ada lagi ongkos TKBM (bawa galon dari dermaga ke kios berjarak sekitar 600m) 6 ribu. Biaya total yang harus dikeluarkan pedagang untuk kulakan segalon air adalah 26 ribu, mereka menjualnya ke konsumen dengan harga 30 ribu.

Fakta:
  1. Terdapat selisih harga lebih dari dua kali lipat antara harga air galon di Babo dengan di Sidomakmur yang jaraknya tak lebih dari 7km. 
  2. Ongkos TKBM untuk segalon air mencapai 9 ribu, hampir sama dengan harga barang itu sendiri.