Pengurangan risiko bencana
seringkali lebih difokuskan pada penyelamatan jiwa. Menyelamatkan nyawa adalah
prioritas utama dalam peristiwa bencana alam. Berbagai sarana dan prasarana
disediakan untuk memfasilitasi dalam hal evakuasi warga ketika bencana terjadi.
Kegiatan simulasi kebencanaan juga turut disertakan agar warga memiliki
kesiapan dalam menghadapi bencana. Jika semua persiapan ini berhasil, maka saat
terjadi bencana akan banyak nyawa terselamatkan. Setelah itu, mereka akan
ditampung dalam barak-barak pengungsian yang sudah disiapkan sambil menunggu bantuan
dari para donatur. Meski bisa bertahan hidup, namun para korban sudah
kehilangan harta benda bahkan pekerjaannya.
Dalam mengurangi risiko bencana
sebaiknya dipersiapkan secara matang dan menyeluruh. Keselamatan jiwa memang
penting, namun yang tidak kalah penting adalah menjaga keberlangsungan hidup ke
depannya termasuk memastikan keberlanjutan pendapatan pasca bencana. Setelah
terjadi bencana biasanya warga akan kehilangan pendapatan rutinnya sehingga
mereka sangat tergantung terhadap bantuan selama beberapa waktu. Persiapan
secara menyeluruh itu dikenal dengan istilah manajemen risiko bencana.
Risiko bencana muncul dari
interaksi antara natural hazard atau
bahaya alami (faktor risiko eksternal) dan vulnerability
atau kerentanan (faktor risiko internal). Bahaya alami merupakan fenomena
geologis (erupsi gunung berapi, gempa bumi) atau meteorologis (banjir, topan,
kekeringan) yang mengakibatkan dampak merugikan bagi masyarakat di daerah
fenomena itu terjadi. Kerentanan terdiri dari rantai risiko, termasuk risiko
itu sendiri, pilihan untuk mengelola risiko dan hasilnya. Rantai risiko adalah
beberapa kondisi atau kejadian yang saling mempengaruhi besarnya risiko yang
dihadapi. Jadi besarnya risiko yang dihadapi, tergantung bagaimana cara
mengelola risiko. Semakin baik pengelolaan risiko makin kecil pula risiko
bencana yang dihadapi.
Dampak dari bencana dibagi
menjadi dua yaitu dampak langsung dan dampak tidak langsung. Dampak langsung
adalah kerusakan sebagian atau total suatu aset seseorang atau kelompok. Dampak
tidak langsung muncul setelah bencana terjadi, salah satunya adalah
mempengaruhi keadaan ekonomi korban seperti misalnya terganggunya akses jalan
dan informasi yang menghambat kegiatan perekonomian.
Dari penelitian yang dilakukan
penulis pada tahun 2011 di wilayah terdampak erupsi gunung Merapi menyimpulkan
bahwa masyarakat memiliki kerentanan yang besar terhadap erupsi. Risiko
terbesar dihadapi oleh masyarakat miskin karena mereka memiliki keterbatasan
dalam mengelola risiko. Sebagai contoh adalah warga yang bermukim secara turun
temurun di lereng Merapi. Pertanian dan peternakan menjadi pekerjaan utama
bahkan satu-satunya pekerjaan yang dimiliki warga. Akibatnya setelah lahan
pertanian rusak akibat erupsi, praktis mereka tidak punya pekerjaan lagi.
Seperti yang dialami oleh para petani salak. Pada Oktober-November saat terjadi
erupsi seharusnya itu adalah waktu panen. Namun panen tersebut gagal total
karena tanaman salak rusak tertimbun abu vulkanik yang tebal. Diperlukan waktu
hingga tiga tahun untuk pulih kembali bagi kebun salak yang rusak parah.
Pasca erupsi Merapi, pendapatan
warga yang bekerja di sektor pertanian mengalami gangguan. Bahkan selama
beberapa bulan pasca erupsi mereka tidak memiliki penghasilan sama sekali
akibat gagal panen. Sama halnya dengan petani, para peternak di lereng Merapi
juga mengalami kerugian besar akibat banyak ternaknya yang mati. Seperti yang
dialami seorang peternak Sapi perah asal Cangkringan yang semua sapinya mati
akibat terpanggang awan panas, kebunnya kopinya juga rusak. Akibatnya bagi
sebagian warga, erupsi Merapi juga mengancam keberlanjutan usaha mereka yang
secara tak langsung dapat menurunkan tingkat kesejahteraan.
Dibutuhkan suatu lembaga untuk
membantu masyarakat dalam mengelola risiko bencana. Koperasi adalah salah satu
lembaga yang dapat berpartisipasi bersama masyarakat dalam hal pengelolaan
risiko bencana. Sebagai lembaga yang didirikan secara bersama-sama dan
berasaskan kekeluargaan, koperasi diharapkan menjadi lembaga yang terdekat
dengan warga sehingga bisa menghasilkan solusi terbaik untuk mengatasi masalah
kebencanaan. Koperasi di sini diartikan sebagai sebuah bentuk usaha dengan
jenis bermacam-macam seperti koperasi simpan pinjam, koperasi tani, dan
koperasi konsumsi.
Koperasi dengan dukungan beberapa
pihak terkait dapat meningkatkan kapasitas kemampuan masyarakat untuk
meminimalkan risiko ekonomi akibat bencana. Kesadaran akan bencana perlu
ditanamkan dalam pola pikir masyarakat. Sebelum menerima berbagai pelatihan
terkait kebencanaan, masyarakat perlu mengetahui lingkungan mereka yang rawan
bencana dan pentingnya melakukan persiapan terkait hal itu. Seringkali masyarakat
terkesan abai meski sudah tahu bahwa ada sumber bencana di dekat mereka. Seperti
yang dialami warga lereng Merapi bagian selatan sebelum terjadi bencana 2010.
Berdasarkan pengalaman menghadapi erupsi-erupsi sebelumnya, mereka tidak
mengira kalau dampak erupsi 2010 begitu besar dan meluas. Akibatnya tidak ada
persiapan khusus yang mereka lakukan sehingga dampak bencana yang diterima
semakin besar.
Ketergantungan terhadap satu
jenis mata pencaharian menjadi salah satu faktor yang memperbesar risiko
bencana. Karena itu diperlukan keterampilan tambahan bagi masyarakat agar
memiliki pilihan untuk melakukan pekerjaan alternatif. Pekerjaan alternatif ini
sebaiknya merupakan pekerjaan yang memiliki risiko relatif kecil terhadap
bencana sehingga diharapkan tetap akan memberikan penghasilan meski terjadi
bencana. Selain itu, dengan cara seperti ini berarti juga melakukan
diversifikasi penggunaan modal agar tidak terpusat pada penggunaan usaha yang
berisiko. Pekerjaan alternatif ini sangat beragam sesuai dengan kondisi
lingkungan serta jenis bencana yang kemungkinan terjadi. Koperasi sebagai salah
satu sumber penyedia modal bagi masyarakat memiliki kepentingan dalam hal ini.
Kemampuan anggotanya dalam mengelola risiko usaha akan mempengaruhi besar
kecilnya risiko pembiayaan yang dihadapi koperasi tersebut.
Untuk menghadapi kemungkinan
terburuk akibat bencana juga dibutuhkan dana cadangan. Masyarakat perlu
mengalokasikan sebagian penghasilan mereka untuk kebutuhan darurat seperti saat
terjadi bencana. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan tabungan. Di
sini peran koperasi juga diperlukan untuk meningkatkan kesadaran menabung. Bagi
masyarakat, tabungan dapat menjadi jaminan tersedianya kebutuhan darurat pasca
bencana. Bagi koperasi, tabungan dapat menjadi salah satu sumber dana
pembiayaan yang akan disalurkan ke masyarakat. Dalam hal penyaluran pembiayaan,
hendaknya koperasi melakukan diversifikasi sehingga penyaluran pembiayaan tidak
terfokus pada satu jenis usaha atau daerah saja. Sebagai contoh adalah dua BMT
(Baitul Maal wat Tamwil) yang terdapat di salah satu kecamatan terdampak erupsi
Merapi. Salah satu BMT menyalurkan dana pembiayaan terpusat ke satu wilayah dan
pekerjaan yang rawan (di bidang pertanian). Akibatnya terjadi banyak pembiayaan
bermasalah pasca erupsi, mulai dari penunggakan angsuran sampai gagal bayar.
Sementara itu, BMT lain tidak terlalu mengalami dampak serius karena mereka
telah melakukan diversifikasi pembiayaan.
Selanjutnya pengembangan dan
penerapan teknologi juga perlu dilakukan untuk mengurangi risiko terhadap
bencana. Sebagai contoh adalah pemanfaatan struktur bangunan tahan gempa yang
dapat meminimalkan jumlah korban dan memungkinkan infrastruktur vital tetap
berfungsi secara normal pasca bencana. Contoh lain adalah memanfaatkan
perkembangan teknologi pertanian untuk mengurangi dampak akibat berbagai
bencana seperti kekeringan, perubahan iklim, dan erupsi gunung. Dalam
pengelolaan usaha pertanian ini, peran koperasi tani sangatlah penting. Selain
sebagai penyedia kebutuhan dan penyalur produksi pertanian, koperasi juga bisa
menjalankan fungsi penelitian dan pengembangan pertanian. Hal ini sejalan
dengan tujuan koperasi yang dimiliki bersama yaitu untuk mensejahterakan
anggota (dalam berbagai aspek). Koperasi tani adalah salah satu contoh dari
koperasi produksi yang semakin banyak didirikan sesuai jenis usahanya. Jadi
dalam hal ini koperasi produksi dapat juga berperan untuk membangun ketahanan
usaha terhadap bencana.
Kebutuhan pokok adalah hal
mendesak yang perlu segera dipenuhi pasca terjadi bencana, koperasi konsumsi
berperan penting dalam hal ini. Fungsi utama koperasi konsumsi adalah untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat secara kolektif sehingga diharapkan
dapat menawarkan harga yang relatif lebih murah. Peran ini sekilas memang sudah
tergantikan oleh adanya berbagai minimarket yang menjamur, namun ada perbedaan
yang mendasar yaitu dalam hal kepemilikan. Koperasi konsumsi dimiliki bersama
(sesuai asas koperasi), sehingga diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan
anggota secara menyeluruh (tidak sebatas pemenuhan kebutuhan pokok) termasuk
dalam hal ini terkait dengan kebencanaan. Ada beragam cara yang dapat dilakukan
koperasi untuk membantu masyarakat untuk mengurangi dampak bencana, salah
satunya adalah dengan menyediakan stok cadangan untuk kebutuhan darurat. Karena
masih dalam wilayah yang rentan bencana, sebaiknya stok disimpan di tempat yang
aman. Stok cadangan ini dapat diambil dari sebagian SHU (Sisa Hasil Usaha)
sesuai kesepakatan, sehingga nantinya dapat dibagikan secara gratis sambil
menunggu datangnya bantuan dari pihak luar. Jadi dengan kata lain koperasi
berfungsi sebagai penyedia kebutuhan darurat pasca bencana sehingga kebutuhan
korban (masyarakat sekitar koperasi) dapat segera terpenuhi.
Satu hal lagi yang perlu
diperhatikan adalah kerjasama antar koperasi. Koperasi tidak dapat menjalankan
usahanya secara maksimal tanpa dukungan dari pihak luar termasuk koperasi lain.
Terkait dengan pengelolaan bencana, kerjasama antar koperasi dilakukan untuk
membantu koperasi yang terdampak bencana. Secara umum, koperasi yang surplus
bisa membantu koperasi yang defisit. Surplus di sini dapat diartikan banyak hal
seperti modal maupun barang. Sebagai contoh, suatu koperasi simpan pinjam bisa
menyalurkan surplus dananya kepada koperasi di daerah bencana yang sedang
mengalami defisit pendanaan dengan perjanjian khusus. Modal di sini juga dapat
berarti modal pengetahuan, yang memungkinkan terjadinya transfer ilmu antar
koperasi sesuai pengalaman masing-masing dalam hal ini adalah terkait pengelolaan
risiko bencana. Kerjasama antar koperasi memang sangat dibutuhkan dalam
terwujudnya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat sehingga dapat bertahan
dari segala bencana.
Koperasi hanyalah salah satu dari
sekian banyak pihak yang berkepentingan terhadap penanganan kebencanaan. Jadi
tanpa dukungan dari pihak-pihak lain seperti pemerintah dan lembaga donor peran
koperasi tidak akan optimal. Pemerintah dengan kewenangannya membuat regulasi
dan lembaga donor sebagai perantara donasi/sumbangan juga memiliki peran yang
tidak kalah penting. Karena itu, berbagai pihak yang terkait seharusnya saling
bekerjasama sesuai wewenang dan keahlian masing-masing untuk mengelola risiko
bencana.
Peran-peran koperasi seperti yang
dijelaskan di atas baru sebatas wacana yang didasarkan pada beberapa fakta yang
ditemukan penulis dan teori-teori tentang koperasi dan manajemen risiko
bencana. Dibutuhkan berbagai kajian untuk menentukan rumusan terbaik dalam hal
Manajemen Risiko Bencana (MRB). MRB yang dilakukan dengan efektif diharapkan
dapat meminimalkan dampak bencana yang terjadi. Sehingga masyarakat dapat hidup
berdampingan dengan bencana.
Sumber:
Skripsi “Evaluasi Penerapan
Manajemen Risiko Bencana Studi pada Koperasi Serba Usaha Baitul Maal wat Tamwil
(KSU BMT) Sejahtera Turi” oleh: Arief Setyo Widodo, 2012.
Artikel “Microfinance and
Disaster Risk Management Experiences and Lessons Learned” oleh: Enrique
Pantoja, 2002.
Modul Sekolah Koperasi “Koperasi Indonesia Sejati” oleh: Sekolah Koperasi, 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar