Kamis, 22 Mei 2014

Pendidikan Dasar yang Terlantar, Sebuah Ironi di Pelosok Negeri


13824266911715491080
ruang kelas tertata rapi di hari minggu 

Mengikuti pendidikan dasar merupakan hak sekaligus kewajiban bagi setiap warga negara dan pemerintah wajib membiayainya. Begitulah kira-kira isi yang tercantum dalam UUD 1945, Pasal 31. Jadi dengan kata lain, pemerintah mengharuskan warganya untuk mengikuti pendidikan dasar. Kini, pemerintah sudah mensubsidi pendidikan dasar dengan program BOS (Bantuan Operasioal Sekolah) nya. Ditambah lagi adanya BSM (Bantuan Siswa Miskin) yang akhir tahun ini sudah bisa dicairkan. Kesejahteraan guru juga sudah mulai diperhatikan. Saat ini guru PNS sudah memiliki penghasilan yang cukup layak.

Namun, apakah program-program seperti itu sudah cukup membantu bagi seluruh warga negara Indonesia? Bagi sebagian, mungkin cukup membantu tapi bagi yang lain tidak. Bagi anak-anak di pedalaman Manggarai ini, meja dan bangku yang kokoh, buku pelajaran yang memadai, dan ruang kelas yang layak masih menjadi impian. Impian yang tak kunjung terwujud. Meja reyot, bangku kurang, kelas berantakan, sangat menyedihkan. Itulah kondisi ruang kelas yang saya lihat saat mengunjungi salah satu SD di Kabupaten Manggarai Timur, NTT. Kondisi yang tak jauh berbeda juga ditemui di beberapa SD lain dalam satu kabupaten tersebut.

13824270441160981186
SD di ujung kampung

Sekolah memang sudah gratis* (*belum termasuk uang komite, seragam, buku tulis, sepatu, dan perlengkapan sekolah lain), namun satu hal penting yang harus diperhatikan yaitu akses menuju sekolah. Akses dalam hal ini adalah jarak antara rumah dan sekolah. Jarak antara rumah dan sekolah relatif jauh. Ditambah dengan kondisi infrastruktur jalan yang masih buruk, semakin menyulitkan anak untuk bersekolah. Bahkan di daerah Sumba, jarak tempuh dari rumah ke sekolah bisa sampai dua jam jalan kaki. Beberapa orangtua siswa berpendapat pentingnya dibangun semacam asrama siswa di dekat sekolah agar anak tidak harus nglaju dari rumah ke sekolah. Namun, itu baru sebatas harapan saja.

138242717056501495
sebuah perjalanan awal untuk pulang ke rumah

Tenaga pendidik pun juga mengalami masalah yang disebabkan oleh keterbatasan. Sepertinya anggaran pendidikan sebesar 20% masih kurang untuk mencukupi kebutuhan akan pendidikan yang layak. Di daerah pelosok masih mengalami kekurangan tenaga guru (PNS). Bahkan di beberapa sekolah hanya kepala sekolah saja yang berstatus sebagai PNS, sisanya adalah guru honorer. Guru honorer biasanya dibiayai dari uang komite atau dari sebagian dana BOS. Guru honorer tidaklah setara dengan PNS, mungkin lebih tepat dikatakan relawan. Mengenai kesejahteraan, tentu sangat jauh dibanding guru PNS. Di salah satu SD, gaji guru honorer hanya sebesar Rp250.000 sebulan dibandingkan dengan guru PNS di SD yang sama lebih dari Rp2.000.000. Contoh kasus tersebut memang tidak bisa digeneralisasi, namun cukup dapat dijadikan sebagai gambaran tingkat kesejahteraan guru honorer di daerah pelosok.

Masalah lain timbul ketika tenaga pendidik terkesan malas-malasan dalam mengajar. Di suatu sekolah, guru sering meninggalkan muridnya dengan tugas yang harus dikerjakan. Tanpa pengawasan dari guru, akhirnya anak-anak pun hanya bermain di dalam kelas atau kadang main keluar kelas. Sebelum pulang, guru pun datang memeriksa tugas, mengajar sebentar, lalu memimpin doa. Lain lagi ceritanya di sekolah ini, guru biasanya hanya mengajar 2-3 kali seminggu. Selebihnya, siswa dibiarkan begitu saja tanpa ada kegiatan belajar mengajar. Hal ini sempat dikeluhkan oleh beberapa orangtua siswa tapi sampai pertengahan tahun 2013 tidak ada perkembangan berarti. Sekali lagi, contoh kasus ini tidak dapat digeneralisasi. Namun dikhawatirkan terjadi juga di banyak sekolah lain. Dalam hal ini, tak sepenuhnya kita menyalahkan guru. Ada banyak faktor yang menyebabkan kurangnya motivasi guru dalam mengajar. Kesejahteraan bisa jadi merupakan faktor utama masalah tersebut.

Di balik, semua keterbatasan itu ada secercah harapan dari pelaku pendidikan itu sendiri. Meski dengan segala keterbatasan yang dihadapi, tak menyurutkan semangat anak-anak untuk menuntut ilmu. Panjangnya jalan, bukit-bukit terjal, maupun padang sabana tanpa batas mereka tempuh untuk menuntut ilmu. Orang tua mereka juga sangat mendukung perjuangan anak-anaknya. Kebanyakan orang tua, terutama di daerah Manggarai Timur ingin agar anaknya sekolah setinggi mungkin. Meski hidup sederhana tapi mereka ingin anaknya bisa jadi sarjana. Masa depan yang lebih baik, itulah harapan orangtua untuk anak yang disekolahkan. Bahkan tidak sedikit orangtua yang berharap anaknya bisa jadi guru dan kelak kembali ke kampungnya untuk mengabdi. Seperti yang dialami salah seorang guru honorer di Manggarai Timur. Dia rela meninggalkan kehidupannya yang cukup mapan di kota lalu kembali ke kampung halamannya dan menjadi guru. Mengabdi untuk kemajuan pendidikan di kampungnya, itulah pilihan hidupnya. Kini, dia tinggal bersama istri yang juga sebagai guru honorer dan anak-anaknya di rumah sederhana di dekat sekolah.

1382427356533795260
keceriaan anak-anak

Itulah sebagian kecil dari potret pendidikan di Indonesia. Penuh dengan ironi, keterbatasan seolah menjadi pemakluman terhadap masalah-masalah yang terjadi. Semoga saja pemerintah bisa segera berbenah. Mengurai benang kusut yang sudah akut.

Sumber Gambar: Dokumentasi Tim M_arapu

Dari Moleknya Kampung Mojang, Sampai ke Kawah Kamojang yang Elok

Menjelang tengah hari, awan mendung menggantung di langit kampung Mojang. Segelas kopi panas dan beberapa potong gorengan menemani kami menikmati sejuknya udara pegunungan. Terlihat beberapa petani sibuk menanam di lereng yang terjal. Suatu tugas yang tidak mudah, bertani di lereng-lereng bukit. Dibutuhkan tenaga, keterampilan, dan keberanian ekstra untuk menjadi petani di lahan miring. Risiko jatuh maupun tanah longsor nampaknya tak menciutkan nyali mereka demi untuk mencari sesuap nasi. Saya hanya bisa menikmati secara visual hasil karya mereka. Menyulap area perbukitan monoton menjadi lebih “berwarna” dengan adanya berbagai tanaman yang tertata rapi.

Harmoni di Lereng Gunung Lawu



13703272251530589423
Kompleks candi Cetho, salah satu candi Hindu yang ada di lereng Lawu

Jalanan menanjak dan berkelok, dari kejauhan sudah terlihat megahnya gunung Lawu. Hamparan sawah yang bertingkat-tingkat mengikuti kontur tanah. Sambil menikmati suasana pegunungan, kami juga sempat ngobrol dengan ibu-ibu yang duduk di depan kami. Dari obrolan singkat di dalam minibus itu, saya ketahui bahwa masyarakat di lereng gunung Lawu memiliki kepercayaan yang beragam. Ibu itu sendiri beragama Hindu, sedangkan keluarganya yang lain ada yang beragama Islam, Kristen, dan Budha. Tidak ada paksaan bagi mereka dalam menganut agama. Mereka memilih berdasarkan keyakinanya sendiri-sendiri. Dan tidak ada masalah dengan perbedaan itu. 

Keluarga besar dari si Ibu itu merupakan sebuah potret dari warga lereng gunung Lawu yang majemuk. Beragamnya agama yang dianut merupakan cerminan keterbukaan mereka terhadap budaya baru. Melihat suasana pedesaan yang tenang dan damai. Warganya yang sangat ramah kepada orang asing seperti saya. Ibu itu juga sangat terbuka dan terlihat bangga menceritakan majemuknya kepercayaan yang dianut keluarganya. Sepertinya tidak nampak telah terjadi konflik di antara mereka terkait dengan perbedaan agama. 

Sebuah kondisi yang sangat kita dambakan terjadi di negeri ini. Negeri yang katanya masih bertindak diskriminatif terhadap kaum minoritas. Bahkan sampai ada beberapa pihak yang menentang pemberian penghargaan HAM kepada presiden SBY karena dianggap belum becus menangani masalah diskriminasi tersebut. Itu sudah cukup menggambarkan betapa diskriminasi masih dialami oleh sebagian Warga Negara Indonesia di negerinya sendiri.
Melihat harmoni di kaki gunung Lawu itu, rasanya tidak mustahil bisa terjadi di negeri ini. Suatu kondisi di mana Masjid, Gereja, Pura, dan Vihara dapat didirikan dengan bebas sesuai peraturan yang ada. Warga dari berbagai agama bebas beribadah sesuai keyakinan agamanya masing-masing. Sebuah kondisi ideal sesuai dengan UUD 1945 Pasal 29. Sementara itu mobil pun terus melaju menuju terminal Kemuning, Karanganyar. Mendaki jalanan yang semakin curam dan sesekali melewati kelokan tajam.

Rabu, 23 April 2014

Sehari Tanpa Internet Bagai Sehari Tanpa Nasi

sumber gambar: http://sususejat.com/kenapa-takut-nasi-bahagian-1/

Belum makan kalau belum makan nasi, sebuah ungkapan yang menggambarkan ketergantungan akan nasi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Begitu juga dengan internet yang kini telah menjadi sarana utama untuk berkomunikasi. Ketergantungan akan internet dimulai sejak maraknya penjualan HP yang memiliki fitur internet di masyarakat. Sekarang makin banyak HP Internet murah, sehingga itu sudah bukan lagi barang mewah. Hanya dengan 100an ribu kita sudah dapat HP yang memiliki fitur internet, belum lagi banyak tipe smartphone yang kini dibanderol dengan harga di bawah sejuta. Di sisi lain, banyak operator seluler berlomba-lomba menyediakan paket internet dengan harga semurah mungkin. Harga HP dan biaya internet yang semakin terjangkau, ditambah meluasnya jaringan telekomunikasi membuat internet yang dulunya eksklusif kini menjadi lebih umum.  

Seperti nasi, internet dapat memenuhi kebutuhan pokok manusia sebagai makhluk sosial yaitu dalam hal komunikasi. Internet merupakan pengembangan sarana komunikasi yang lebih efisien dari sarana komunikasi lain. Kita bisa berkomunikasi dengan orang di seluruh dunia dengan respon cepat dan tanpa harus khawatir dengan tagihan pulsa yang besar. Seiring dengan semakin umumnya penggunaan internet, kini berbagai hal terkait penyebaran informasi. Mulai dari membuat undangan pernikahan sampai kegiatan jual-beli dapat dilakukan di internet. Jika biasanya pengumuman orang meninggal disiarkan lewat toa masjid, kini dapat disebarkan melalui media sosial seperti facebook atau twitter dengan jangkauan yang lebih luas.

Untuk memenuhi kebutuhan gizi yang berimbang, kita harus memperhatikan makanan yang dikonsumsi. Nasi harus dikombinasikan dengan beberapa makanan lain untuk menciptakan “empat sehat lima sempurna” dan yang terpenting adalah jangan berlebihan. Begitu juga dengan internet yang harus digunakan dengan bijak dan proporsional. Maraknya penggunaan media sosial dan berbagai aplikasi chatting menjadi fenomena menarik dalam perkembangan internet.

“Menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh”, satu lagi ungkapan yang populer akhir-akhir ini. Seringkali terjadi ketika nongkrong bersama kawan-kawan, ada masanya tercipta keheningan saat mereka memegang smartphone. Mereka pun menunduk menatap layar kecil, memainkan jemarinya sambil sesekali tertawa kecil memecah keheningan. Hal ini tidak sepenuhnya salah, namun terlihat sedikit berlebihan. Keasyikan berinteraksi di dunia maya menjadikan kita sedikit abai terhadap dunia nyata. Jadi alangkah lebih baik jika fasilitas yang disediakan medsos dimanfaatkan secara bijak dan tidak berlebihan.

Internet sebaiknya dimanfaatkan “sewajarnya” dan seoptimal mungkin. Dianggap wajar jika penggunaannya sesuai kebutuhan (tidak berlebihan) dan sesuai peraturan yang berlaku. Penggunaan yang optimal adalah pemanfaatan berbagai fungsi internet mulai sebagai sumber informasi sampai sumber pendapatan. Dibutuhkan semacam pendidikan khusus tentang pemanfaatan internet. Terdengar serius karena ada kata “pendidikan”, namun itu sebenarnya sangat sederhana. Cukup dengan ngobrol santai (dengan tatap muka, bukan tatap layar tentunya) terkait pemanfaatan gadget mereka. Penyampaian dengan bahasa sederhana untuk sesuatu yang rumit (dalam hal ini internet bagi pengguna pemula) sangat efektif untuk mengajarkan suatu hal baru.

Kembali ke nasi, sebenarnya sehari tanpa nasi juga tidak masalah bagi sebagian orang. Misal, bagi Pace/Mace di pedalaman Papua, mereka biasa makan sagu bukan nasi. Tentu mereka juga tidak peduli ada atau tidaknya nasi di periuk mereka. Begitu juga dengan internet, jangankan internet sinyal telepon saja tak ada. Mereka sudah (terpaksa) biasa hidup terisolasi dari dunia luar dan sudah merasa cukup dengan semua yang dimiliki. Berbeda dengan para pemakan nasi yang tinggal di daerah yang relatif maju, tentunya kebutuhan akan internet sama dengan kebutuhan mereka terhadap nasi. Contoh ekstrim di atas adalah gambaran sederhana perbedaan sudut pandang “sehari tanpa internet”. Bagi sebagian orang internet wajib ada setiap hari, namun bagi sebagian yang lain internet adalah benda asing yang (terpaksa) tidak dibutuhkan.

http://telkomsel.com/genggam-internet

Senin, 21 April 2014

Garut, Harta Terpendam Bumi Priangan

Dodol dan Aceng Fikri, itulah yang ada di benak saya tentang Garut sebelum bertandang ke sana. Tidak banyak yang saya ketahui tentang Garut karena kurangnya informasi dari media massa seperti televisi. Baru beberapa bulan yang lalu nama Garut terangkat oleh kasus nikah siri yang menjerat Bupati Garut saat itu. Sebuah isu yang mempopulerkan Garut, namun sayangnya dalam hal yang negatif. Seorang kawan pernah menceritakan pengalamannya saat berada di suatu daerah. “Anak buahnya Aceng Fikri ya..” celetuk seseorang yang dia temui sesaat setelah mengetahui identitasnya sebagai orang Garut. Saking seringnya media membahas isu itu, membuat sebagian orang mengenal Garut identik dengan Aceng Fikri. Padahal Garut tidak sesempit itu, tidak hanya sebatas dodol atau Aceng Fikri saja. Garut yang juga mendapat julukan kota intan itu memiliki banyak hal menarik yang jarang ditemui di tempat lain.

Pagi yang Sempurna di Puncak Syarif Merbabu

pagi yang sempurna di Puncak Syarif
Alarm HP berbunyi, menunjukkan pukul 02.30. Beberapa saat kemudian kami bertiga sudah terbangun dan duduk-duduk sambil mengumpulkan kesadaran. Malas rasanya keluar tenda dan merasakan udara dingin gunung Merbabu. Namun sesaat kemudian terdengar suara ajakan untuk muncak dari tenda sebelah. Tanpa buang waktu, kami segera berkemas seadanya untuk bekal summit attack. Senang rasanya bisa dapat kawan baru saat pendakian. Dalam pendakian gunung, kita mudah akrab dengan pendaki lain yang belum dikenal sebelumnya. Mungkin karena kesamaan tujuan dan “penderitaan” lah yang menyebabkan hubungan antar pendaki cukup hangat meski belum saling kenal.

Tingginya Gunung Tidak Hanya Sekedar 5 cm

Menuju puncak Merapi

Akhir-akhir ini, banyak tersiar berita tentang kecelakaan yang dialami pendaki gunung. Mulai dari yang tersesat dengan perbekalan yang minim, sampai ada yang meninggal karena menghirup gas beracun. Kecelakaan dalam pendakian biasanya disebabkan oleh faktor alam dan kesalahan pendaki sendiri. Untuk kasus di Indonesia, faktor kesalahan manusia lah penyebab utama terjadinya kecelakaan itu. Kurangnya persiapan seperti persiapan fisik, peralatan dan perbekalan yang memadai, serta kurangnya pemahaman medan adalah kesalahan yang fatal bagi pendaki.