Jumat, 15 Agustus 2014

Harmoni di Teluk Bintuni, Sekilas Tentang Babo

Lantunan ayat-ayat suci Al Quran terdengar sayup-sayup dari arah masjid. Beberapa anak terlihat berlarian di serambi masjid. Di luar, senja sudah menua, gelap perlahan menyergap. Hanya beberapa titik cahaya lampu yang terlihat sepanjang jalan. Kala itu, Babo sedang dilanda krisis listrik. Sudah beberapa bulan terakhir PLN tak mampu memenuhi kewajibannya. Alhasil, Babo gelap gulita saat malam tiba. Hanya beberapa rumah dan kios yang memiliki genset saja yang bisa menyalakan lampu.
masjid di Babo
Raungan genset masjid mengiringi merdunya suara anak-anak yang sedang mengaji. Mereka tidak hanya melakukan rutinitas mengaji ba’da Maghrib saja, tetapi sedang melakukan latihan. Ya, latihan untuk mempersiapkan diri menjelang seleksi kejuaraan MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) tingkat provinsi. Dalam beberapa tahun terakhir, Babo berhasil mengirimkan putra-putri terbaik mereka ke kejuaraan MTQ mewakili kabupaten Teluk Bintuni. Kini mereka tengah berjuang untuk dapat kembali maju ke MTQ tingkat provinsi yang tahun depan (2014) digelar di Raja Ampat.

Babo, salah satu distrik di kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Babo merupakan salah satu daerah yang maju di Teluk Bintuni. Terdapat bandara di distrik ini, sebuah bandara peninggalan jaman perang yang kembali difungsikan untuk keperluan transportasi bagi suatu perusahaan. Bandara Babo menjadi pintu masuk bagi para staf perusahaan gas asing tersebut untuk menuju ke beberapa lokasi proyek di wilayah Teluk Bintuni. Babo juga memiliki jetty/dermaga besar yang menjadi tempat transit kapal dari Sorong menuju Bintuni maupun sebaliknya. Selain itu, distrik ini juga menjadi salah satu pusat perekonomian di Teluk Bintuni. Barang-barang dari Sorong didrop di Babo untuk kemudian disalurkan ke berbagai daerah di Teluk Bintuni termasuk di kota Bintuni sendiri.
kampung Babo
Suku Irarutu adalah warga asli di Babo, selain itu ada beberapa suku lain termasuk pendatang seperti dari Jawa, Buton, Toraja, dan suku-suku dari Papua lainnya. Pendatang, terutama orang Jawa dan Buton kebanyakan menempati area jetty kecil. Selain jetty besar, babo juga memiliki jetty kecil tempat ketinting dan perahu kecil nelayan bersandar. Banyak kios di sini yang menyediakan pakaian, peralatan elektronik, perkakas dapur, sampai sirih pinang yang sudah menjadi “candu” bagi orang Papua. Jual beli ikan dan hasil laut lain juga dapat ditemui di sini. Beberapa kios makanan besar berkumpul di sini, termasuk juga pangkalan minyak tanah. Bisa dikatakan pusat perdagangan di Babo ada di area jetty kecil.

Masyarakat Babo tergolong multietnis, karena terdiri dari berbagai suku meski Irarutu masih menjadi suku yang dominan. Beragamnya suku yang ada tidak menimbulkan perselisihan yang parah. Mereka hidup berdampingn dengan damai dan tenang. Keragaman suku di Babo menjadikan mereka saling melengkapi. Orang Jawa yang terkenal dengan masakannya membuka warung makan di sana, dan hampir semua warung makan di Babo dimiliki orang Jawa. Etnis Tionghoa yang dikenal pandai berdagang membuka beberapa toko kelontong besar. Orang Papua yang dikenal dengan fisiknya yang kuat berprofesi sebagai TKBM (Tenaga Kerja Bongkar Muat). Sementara itu, orang Buton yang dikenal sebagai pelaut ulung bertugas menyediakan ikan dan hasil laut lain. Penggolongan pekerjaan berdasarkan suku tidaklah mutlak demikian, namun itu dapat menjadi sedikit gambaran tentang salah satu keuntungan masyarakat multietnis.
anak-anak Babo
Warga Babo juga cukup taat beribadah. Hal ini bisa dilihat dari masjid utama yang selalu ramai oleh anak-anak yang mengaji mulai ba’da maghrib sampai Isya’. Hampir tiap sore juga terlihat mace-mace berangkat pengajian ke rumah tetangganya. Di sini juga ada tradisi unik dalam menyelenggarakan upacara pernikahan. Tabuhan rebana dan sholawat mengiringi pengantin yang diarak keliling kampung. Mirip seperti di Jawa, di Babo juga sering diadakan semacam tahlilan untuk mendoakan orang yang sudah meninggal. Meski bukan mayoritas, warga nampak antusias dalam merayakan natal. Suasana menjelang natal di Babo cukup meriah dengan letusan kembang api yang terdengar sambung-menyambung. Tiga gereja yang ada dipenuhi jemaat yang melakukan ibadah di malam natal. Semua acara keagamaan itu mereka tanggapi dengan saling toleransi sehingga tercipta harmoni.
gereja di seberang lapangan Babo
Itulah sedikit gambaran mengenai Babo. Salah satu Distrik di Teluk Bintuni yang memiliki keragaman etnis dan budaya. Sebuah kota kecil yang memiliki peran penting di kawasan Teluk Bintuni.

Peran Penting Koperasi dalam Manajemen Risiko Bencana

Pengurangan risiko bencana seringkali lebih difokuskan pada penyelamatan jiwa. Menyelamatkan nyawa adalah prioritas utama dalam peristiwa bencana alam. Berbagai sarana dan prasarana disediakan untuk memfasilitasi dalam hal evakuasi warga ketika bencana terjadi. Kegiatan simulasi kebencanaan juga turut disertakan agar warga memiliki kesiapan dalam menghadapi bencana. Jika semua persiapan ini berhasil, maka saat terjadi bencana akan banyak nyawa terselamatkan. Setelah itu, mereka akan ditampung dalam barak-barak pengungsian yang sudah disiapkan sambil menunggu bantuan dari para donatur. Meski bisa bertahan hidup, namun para korban sudah kehilangan harta benda bahkan pekerjaannya.

Dalam mengurangi risiko bencana sebaiknya dipersiapkan secara matang dan menyeluruh. Keselamatan jiwa memang penting, namun yang tidak kalah penting adalah menjaga keberlangsungan hidup ke depannya termasuk memastikan keberlanjutan pendapatan pasca bencana. Setelah terjadi bencana biasanya warga akan kehilangan pendapatan rutinnya sehingga mereka sangat tergantung terhadap bantuan selama beberapa waktu. Persiapan secara menyeluruh itu dikenal dengan istilah manajemen risiko bencana.

Risiko bencana muncul dari interaksi antara natural hazard atau bahaya alami (faktor risiko eksternal) dan vulnerability atau kerentanan (faktor risiko internal). Bahaya alami merupakan fenomena geologis (erupsi gunung berapi, gempa bumi) atau meteorologis (banjir, topan, kekeringan) yang mengakibatkan dampak merugikan bagi masyarakat di daerah fenomena itu terjadi. Kerentanan terdiri dari rantai risiko, termasuk risiko itu sendiri, pilihan untuk mengelola risiko dan hasilnya. Rantai risiko adalah beberapa kondisi atau kejadian yang saling mempengaruhi besarnya risiko yang dihadapi. Jadi besarnya risiko yang dihadapi, tergantung bagaimana cara mengelola risiko. Semakin baik pengelolaan risiko makin kecil pula risiko bencana yang dihadapi.

Dampak dari bencana dibagi menjadi dua yaitu dampak langsung dan dampak tidak langsung. Dampak langsung adalah kerusakan sebagian atau total suatu aset seseorang atau kelompok. Dampak tidak langsung muncul setelah bencana terjadi, salah satunya adalah mempengaruhi keadaan ekonomi korban seperti misalnya terganggunya akses jalan dan informasi yang menghambat kegiatan perekonomian.

Dari penelitian yang dilakukan penulis pada tahun 2011 di wilayah terdampak erupsi gunung Merapi menyimpulkan bahwa masyarakat memiliki kerentanan yang besar terhadap erupsi. Risiko terbesar dihadapi oleh masyarakat miskin karena mereka memiliki keterbatasan dalam mengelola risiko. Sebagai contoh adalah warga yang bermukim secara turun temurun di lereng Merapi. Pertanian dan peternakan menjadi pekerjaan utama bahkan satu-satunya pekerjaan yang dimiliki warga. Akibatnya setelah lahan pertanian rusak akibat erupsi, praktis mereka tidak punya pekerjaan lagi. Seperti yang dialami oleh para petani salak. Pada Oktober-November saat terjadi erupsi seharusnya itu adalah waktu panen. Namun panen tersebut gagal total karena tanaman salak rusak tertimbun abu vulkanik yang tebal. Diperlukan waktu hingga tiga tahun untuk pulih kembali bagi kebun salak yang rusak parah.

Pasca erupsi Merapi, pendapatan warga yang bekerja di sektor pertanian mengalami gangguan. Bahkan selama beberapa bulan pasca erupsi mereka tidak memiliki penghasilan sama sekali akibat gagal panen. Sama halnya dengan petani, para peternak di lereng Merapi juga mengalami kerugian besar akibat banyak ternaknya yang mati. Seperti yang dialami seorang peternak Sapi perah asal Cangkringan yang semua sapinya mati akibat terpanggang awan panas, kebunnya kopinya juga rusak. Akibatnya bagi sebagian warga, erupsi Merapi juga mengancam keberlanjutan usaha mereka yang secara tak langsung dapat menurunkan tingkat kesejahteraan.

Dibutuhkan suatu lembaga untuk membantu masyarakat dalam mengelola risiko bencana. Koperasi adalah salah satu lembaga yang dapat berpartisipasi bersama masyarakat dalam hal pengelolaan risiko bencana. Sebagai lembaga yang didirikan secara bersama-sama dan berasaskan kekeluargaan, koperasi diharapkan menjadi lembaga yang terdekat dengan warga sehingga bisa menghasilkan solusi terbaik untuk mengatasi masalah kebencanaan. Koperasi di sini diartikan sebagai sebuah bentuk usaha dengan jenis bermacam-macam seperti koperasi simpan pinjam, koperasi tani, dan koperasi konsumsi.

Koperasi dengan dukungan beberapa pihak terkait dapat meningkatkan kapasitas kemampuan masyarakat untuk meminimalkan risiko ekonomi akibat bencana. Kesadaran akan bencana perlu ditanamkan dalam pola pikir masyarakat. Sebelum menerima berbagai pelatihan terkait kebencanaan, masyarakat perlu mengetahui lingkungan mereka yang rawan bencana dan pentingnya melakukan persiapan terkait hal itu. Seringkali masyarakat terkesan abai meski sudah tahu bahwa ada sumber bencana di dekat mereka. Seperti yang dialami warga lereng Merapi bagian selatan sebelum terjadi bencana 2010. Berdasarkan pengalaman menghadapi erupsi-erupsi sebelumnya, mereka tidak mengira kalau dampak erupsi 2010 begitu besar dan meluas. Akibatnya tidak ada persiapan khusus yang mereka lakukan sehingga dampak bencana yang diterima semakin besar.

Ketergantungan terhadap satu jenis mata pencaharian menjadi salah satu faktor yang memperbesar risiko bencana. Karena itu diperlukan keterampilan tambahan bagi masyarakat agar memiliki pilihan untuk melakukan pekerjaan alternatif. Pekerjaan alternatif ini sebaiknya merupakan pekerjaan yang memiliki risiko relatif kecil terhadap bencana sehingga diharapkan tetap akan memberikan penghasilan meski terjadi bencana. Selain itu, dengan cara seperti ini berarti juga melakukan diversifikasi penggunaan modal agar tidak terpusat pada penggunaan usaha yang berisiko. Pekerjaan alternatif ini sangat beragam sesuai dengan kondisi lingkungan serta jenis bencana yang kemungkinan terjadi. Koperasi sebagai salah satu sumber penyedia modal bagi masyarakat memiliki kepentingan dalam hal ini. Kemampuan anggotanya dalam mengelola risiko usaha akan mempengaruhi besar kecilnya risiko pembiayaan yang dihadapi koperasi tersebut.

Untuk menghadapi kemungkinan terburuk akibat bencana juga dibutuhkan dana cadangan. Masyarakat perlu mengalokasikan sebagian penghasilan mereka untuk kebutuhan darurat seperti saat terjadi bencana. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan tabungan. Di sini peran koperasi juga diperlukan untuk meningkatkan kesadaran menabung. Bagi masyarakat, tabungan dapat menjadi jaminan tersedianya kebutuhan darurat pasca bencana. Bagi koperasi, tabungan dapat menjadi salah satu sumber dana pembiayaan yang akan disalurkan ke masyarakat. Dalam hal penyaluran pembiayaan, hendaknya koperasi melakukan diversifikasi sehingga penyaluran pembiayaan tidak terfokus pada satu jenis usaha atau daerah saja. Sebagai contoh adalah dua BMT (Baitul Maal wat Tamwil) yang terdapat di salah satu kecamatan terdampak erupsi Merapi. Salah satu BMT menyalurkan dana pembiayaan terpusat ke satu wilayah dan pekerjaan yang rawan (di bidang pertanian). Akibatnya terjadi banyak pembiayaan bermasalah pasca erupsi, mulai dari penunggakan angsuran sampai gagal bayar. Sementara itu, BMT lain tidak terlalu mengalami dampak serius karena mereka telah melakukan diversifikasi pembiayaan.

Selanjutnya pengembangan dan penerapan teknologi juga perlu dilakukan untuk mengurangi risiko terhadap bencana. Sebagai contoh adalah pemanfaatan struktur bangunan tahan gempa yang dapat meminimalkan jumlah korban dan memungkinkan infrastruktur vital tetap berfungsi secara normal pasca bencana. Contoh lain adalah memanfaatkan perkembangan teknologi pertanian untuk mengurangi dampak akibat berbagai bencana seperti kekeringan, perubahan iklim, dan erupsi gunung. Dalam pengelolaan usaha pertanian ini, peran koperasi tani sangatlah penting. Selain sebagai penyedia kebutuhan dan penyalur produksi pertanian, koperasi juga bisa menjalankan fungsi penelitian dan pengembangan pertanian. Hal ini sejalan dengan tujuan koperasi yang dimiliki bersama yaitu untuk mensejahterakan anggota (dalam berbagai aspek). Koperasi tani adalah salah satu contoh dari koperasi produksi yang semakin banyak didirikan sesuai jenis usahanya. Jadi dalam hal ini koperasi produksi dapat juga berperan untuk membangun ketahanan usaha terhadap bencana.    
Kebutuhan pokok adalah hal mendesak yang perlu segera dipenuhi pasca terjadi bencana, koperasi konsumsi berperan penting dalam hal ini. Fungsi utama koperasi konsumsi adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat secara kolektif sehingga diharapkan dapat menawarkan harga yang relatif lebih murah. Peran ini sekilas memang sudah tergantikan oleh adanya berbagai minimarket yang menjamur, namun ada perbedaan yang mendasar yaitu dalam hal kepemilikan. Koperasi konsumsi dimiliki bersama (sesuai asas koperasi), sehingga diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan anggota secara menyeluruh (tidak sebatas pemenuhan kebutuhan pokok) termasuk dalam hal ini terkait dengan kebencanaan. Ada beragam cara yang dapat dilakukan koperasi untuk membantu masyarakat untuk mengurangi dampak bencana, salah satunya adalah dengan menyediakan stok cadangan untuk kebutuhan darurat. Karena masih dalam wilayah yang rentan bencana, sebaiknya stok disimpan di tempat yang aman. Stok cadangan ini dapat diambil dari sebagian SHU (Sisa Hasil Usaha) sesuai kesepakatan, sehingga nantinya dapat dibagikan secara gratis sambil menunggu datangnya bantuan dari pihak luar. Jadi dengan kata lain koperasi berfungsi sebagai penyedia kebutuhan darurat pasca bencana sehingga kebutuhan korban (masyarakat sekitar koperasi) dapat segera terpenuhi.   

Satu hal lagi yang perlu diperhatikan adalah kerjasama antar koperasi. Koperasi tidak dapat menjalankan usahanya secara maksimal tanpa dukungan dari pihak luar termasuk koperasi lain. Terkait dengan pengelolaan bencana, kerjasama antar koperasi dilakukan untuk membantu koperasi yang terdampak bencana. Secara umum, koperasi yang surplus bisa membantu koperasi yang defisit. Surplus di sini dapat diartikan banyak hal seperti modal maupun barang. Sebagai contoh, suatu koperasi simpan pinjam bisa menyalurkan surplus dananya kepada koperasi di daerah bencana yang sedang mengalami defisit pendanaan dengan perjanjian khusus. Modal di sini juga dapat berarti modal pengetahuan, yang memungkinkan terjadinya transfer ilmu antar koperasi sesuai pengalaman masing-masing dalam hal ini adalah terkait pengelolaan risiko bencana. Kerjasama antar koperasi memang sangat dibutuhkan dalam terwujudnya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat sehingga dapat bertahan dari segala bencana.

Koperasi hanyalah salah satu dari sekian banyak pihak yang berkepentingan terhadap penanganan kebencanaan. Jadi tanpa dukungan dari pihak-pihak lain seperti pemerintah dan lembaga donor peran koperasi tidak akan optimal. Pemerintah dengan kewenangannya membuat regulasi dan lembaga donor sebagai perantara donasi/sumbangan juga memiliki peran yang tidak kalah penting. Karena itu, berbagai pihak yang terkait seharusnya saling bekerjasama sesuai wewenang dan keahlian masing-masing untuk mengelola risiko bencana.

Peran-peran koperasi seperti yang dijelaskan di atas baru sebatas wacana yang didasarkan pada beberapa fakta yang ditemukan penulis dan teori-teori tentang koperasi dan manajemen risiko bencana. Dibutuhkan berbagai kajian untuk menentukan rumusan terbaik dalam hal Manajemen Risiko Bencana (MRB). MRB yang dilakukan dengan efektif diharapkan dapat meminimalkan dampak bencana yang terjadi. Sehingga masyarakat dapat hidup berdampingan dengan bencana.


Sumber:
Skripsi “Evaluasi Penerapan Manajemen Risiko Bencana Studi pada Koperasi Serba Usaha Baitul Maal wat Tamwil (KSU BMT) Sejahtera Turi” oleh: Arief Setyo Widodo, 2012.

Artikel “Microfinance and Disaster Risk Management Experiences and Lessons Learned” oleh: Enrique Pantoja, 2002.

Modul Sekolah Koperasi “Koperasi Indonesia Sejati” oleh: Sekolah Koperasi, 2013. 





Kamis, 07 Agustus 2014

Jalan-Jalan ke Pantai Sadranan

Pantai Sadranan
Untuk ke sekian kalinya, saya bertandang ke pantai Gunung Kidul. Kali ini saya diajak lebih tepatnya dipaksa seorang kawan untuk menemaninya ke pantai Sadranan. Dengan agak malas, saya turuti permintaannya. Perjalanan cukup panjang selama dua jam kembali saya tempuh untuk menuju ke wilayah pantai Gunung Kidul. Di tengah jalan banyak terlihat rombongan sepeda motor yang berkonvoi menuju pantai. Mobil-mobil berplat luar daerah dapat dengan mudah dijumpai selama perjalanan, tak ketinggalan bus-bus pariwisata juga turut meramaikan jalan. Pemandangan yang cukup aneh mengingat hari itu adalah hari kerja kedua setelah libur lebaran 2014. Meski bukan hari libur masih banyak juga wisatawan yang berkunjung ke sana. Ah... Gunung Kidul emang ga ada matinya.

Gunung Kidul dikenal akan pantai pasir putihnya yang indah. Salah satu  yang cukup terkenal adalah pantai Sadranan. Pantai ini terletak satu kompleks dengan pantai Sundak. Akses menuju pantai ini sudah cukup bagus, hanya saja beberapa ratus meter sebelum tempat parkir, jalanan masih berupa jalan tanah berbatu. Memasuki area pantai, mata langsung dimanjakan oleh pemandangan birunya air laut. Pasir putihnya memantulkan cahaya matahari siang sehingga terlihat agak menyilaukan. Gradasi warna air laut dari hijau ke biru terlihat memikat. Terlihat beberapa  anak bermain air, ada juga serombongan remaja jalan-jalan di tepi pantai. Tersedianya persewaan alat snorkeling semakin menambah pilihan wisatawan untuk menikmati keindahan pantai.
deretan gubuk wisata di Pantai Sadranan
Teriknya matahari membuat sebagian pengunjung bersantai sambil berteduh di tempat teduh tentunya. Ada yang duduk-duduk di cekungan batu karang, tiduran di bawah pohon, dan ada yang memilih untuk bersantai di gubuk sambil menikmati suasana pantai. Deretan gubuk memang sudah disiapkan oleh pengelola untuk memanjakan wisatawan. Gubuk-gubuk seluas 2m x 2m  itu terbuat dari kayu dan beratapkan ilalang. Untuk memberi kenyamanan, lantai gubuk dialasi dengan tikar. Dengan merogoh kocek 20 ribu, kita bisa menikmati fasilitas itu.

Bosan dengan suasana pantai, kami naik ke atas sebuah bukit. Dari kejauhan bukit itu terlihat dipehuhi oleh beberapa bangunan villa. Serpihan bebatuan disusun menjadi anak tangga sebagai akses menuju komplek villa itu. Tiga buah bangunan terbuat dari kayu berdiri kokoh di puncak bukit. Di sekitarnya terdapat taman yang dihiasi beragam jenis bunga dan tanaman yang disusun sedemikian rupa sehingga terlihat elok dipandang. Di beranda salah satu bangunan terdapat meja dan kursi yang menghadap langsung ke arah laut. Dari sudut itu, lanskap laut dan perbukitan terlihat sempurna dengan adanya taman di depan villa.
lanskap mewah pantai Sadranan
Kami bisa dengan leluasa keliling di sekitar villa dan duduk-duduk santai di beranda karena di sana sedang sepi. Dua bangunan terkunci sedangkan satunya terbuka namun nampak sepi. Puas menikmati “kemewahan” gratisan itu, kami pun segera turun. Istirahat sebentar sambil menikmati kesegaran es kelapa muda. Siang itu suasana pantai masih ramai. Panasnya sengatan matahari tak menyurutkan minat wisatawan untuk menikmati keindahan pantai Sadranan. Bahkan di hari kerja seperti ini pun pantai masih saja dikunjungi banyak wisatawan. Pesona pantai Sadranan ditambah dengan pengelolaan yang semakin bagus membuat tempat ini menjadi salah satu destinasi favorit wisata pantai Gunung Kidul.
  

Selasa, 22 Juli 2014

Safari Masjid Papua Barat (3): Sebuah Catatan

14056774801636613206
masjid Al Ikhlas Tofoi

Usai berkeliling di kampung Otoweri, kita lanjutkan perjalanan menuju ke Tofoi. Perjalanan total sekitar enam jam harus ditempuh dari Otoweri ke Tofoi. Kembali menyusuri teluk Bintuni ke arah timur, kemudian berbelok ke selatan masuk ke sebuah sungai menuju kampung Tofoi. Di kawasan teluk Bintuni, wilayah perairan menjadi jalur utama transportasi. Teluk Bintuni bisa diibaratkan sebagai jalan raya dengan banyak sungai di tepiannya sebagai jalan masuk menuju kampung-kampung. Dibutuhkan waktu lebih dari sejam perjalanan dari muara menuju ke kampung Tofoi.

14056773581505052513
jetty kampung Tofoi

Kampung Tofoi masuk dalam distrik Sumuri, Kabupaten Teluk Bintuni. Terdapat 400-an KK yang menghuni kampung ini dengan jumlah penduduk mencapai hampir 2000 orang. Dibandingkan beberapa kampung sebelumnya, Tofoi relatif ramai. Sama seperti Babo, Tofoi juga menjadi salah satu pusat perekonomian di Teluk Bintuni. Di sini terdapat perusahaan kayu yang cukup besar dan mempekerjakan ratusan karyawan. Kampung Tofoi juga memiliki warga yang multietnis. Warga asli suku Sumuri kebanyakan menghuni kampung bagian dalam sedangkan para pendatang tinggal di sekitar jetty.

14056774321615669528
senja di kampung Tofoi

Populasi Muslim di kampung Tofoi sekitar 25% dari penduduk Tofoi. Sebagian besar dari warga Muslim adalah pendatang, hanya sedikit warga asli (Papua) yang beragama Islam. Masjid yang ada di kampung ini pun hanya ada satu. Masjid Al Ikhlas, sebuah masjid sederhana terletak di puncak sebuah bukit kecil. Bangunan masjid berbentuk panggung dengan lantai kayu sebagai alasnya. Dinding masjid terbuat dari kayu bercat putih yang disusun secara vertikal. Pagar kayu berwarna hijau mengelilingi masjid dan berfungsi sebagai pembatas serambi yang cukup sempit. Atap masjid berupa seng yang disusun bertumpuk dua, atap bagian atas berbentuk seperti atap rumah Joglo. Lantai di bagian dalam masjid dilapisi oleh karpet hijau, sedangkan empat shaf pertama dilapisi lagi dengan karpet sajadah. Tidak ada ornamen dan hiasan yang menonjol di dalam masjid, hanya beberapa lukisan kaligrafi sederhana saja.

Ruangan utama masjid Al Ikhlas Tofoi hanya dapat menampung sekitar 200 jamaah, sehingga saat sholat Jumat jamaah membludak sampai serambi dan halaman masjid. Keterbatasan daya tampung ini adalah penyebab utama didirikannya bangunan masjid baru tepat di sebelah masjid Al Ikhlas. Letak masjid ini berada di tengah-tengah pemukiman para pendatang yang beragama Islam seperti suku Jawa, Buton, dan Bugis. Kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai di bidang perdagangan, mulai dari pedagang kelontong kecil-kecilan, pedagang pasar, sampai buka warung penyetan. Para pendatang berasal dari suku dan latar belakang yang berbeda. Namun sampai saat ini mereka tetap hidup rukun baik antar sesama pendatang maupun dengan warga asli sebagai pemilik tanah ulayat/adat.

14056775321324327812
ruangan utama masjid Al Ikhlas

Ada satu kesamaan yang mencolok dari kelima masjid tersebut yaitu memiliki atap tumpang. Pada bagian atap paling bawah menaungi ruangan berbentuk segiempat. Kemudian atap di atasnya semakin mengecil dengan puncak atap teratas biasanya diletakkan kubah kecil. Bentuk atap seperti itu sangat mirip dengan masjid-masjid di Jawa yang berakulturasi dengan kebudayaan Hindu.

Tidak banyak warga lokal yang tahu mengapa ada kemiripan bentuk atap masjid mereka dengan masjid di Jawa. Pengaruh arsitektur Jawa di masjid-masjid tersebut karena bantuan pembangunan masjid kebanyakan berasal dari luar termasuk juga desain bangunannya. Bisa jadi orang yang membangun masjid adalah tukang dari Jawa yang sudah terbiasa dengan bentuk bangunan masjid di tempat asal mereka.

Tofoi adalah tujuan terakhir sebelum kembali lagi ke Babo untuk transit sebelum melanjutkan perjalanan ke Sorong dan kembali pulang. Lima masjid, lima kampung di Papua Barat. Kelimanya memiliki kisah tersendiri. Kisah tentang masjid dan para jamaahnya. Kisah tentang kondisi sosial masyarakat setempat. Dan kisah tentang keragaman budaya yang disatukan dalam naungan Islam.

Safari Masjid Papua Barat (2): Sepinya Surau Kami



1405406496297737940
luas dan lengang

Di seberang kampung Sidomakmur, terdapat kampung Wimro. Sama seperti Sidomakmur, Wimro dulunya adalah wilayah transmigrasi. Pabrik udang menjadi daya tarik pendatang untuk mengadu nasib di sana. Pabrik udang Jayanti yang sempat berjaya di era 90-an mempekerjakan ribuan buruh. Jayanti adalah perusahaan milik keluarga Cendana yang memiliki beberapa unit usaha di Teluk Bintuni, salah satunya adalah pabrik udang di Wimro. Seiring dengan runtuhnya era orde baru, pada awal 2000-an Jayanti bangkrut dan menghentikan kegiatan operasional pabriknya. Perlahan Wimro semakin sepi ditinggal para buruh yang kehilangan pekerjaannya.

1405406650387075953
jalan masuk kampung Wimro

Tak lebih dari 100 KK tinggal di kampung utama. Itu pun sebagian dari mereka adalah nelayan yang sering meninggalkan kampung beberapa hari saat melaut. Begitu sepi kampung itu, sama seperti masjidnya yang sepi dari aktivitas ibadah. Masjid Miftahul Huda, sebuah masjid besar nan megah memiliki halaman yang luas. Masjid yang dindingnya terbuat dari kayu itu memiliki atap tumpang berwarna hijau. Serambi masjid berlantai tegel hitam dibatasi pagar kayu. Ruangan dalam masjid begitu luas, dengan lantai keramik putih dan keramik merah yang menjadi pembatas shaf. Di empat sisi dindingnya terdapat kaligrafi ayat-ayat suci Al Quran. Banyak kipas angin menggantung di langit-langit, siap sedia untuk membuat nyaman para jamaah di tengah cuaca Papua yang sangat panas. Masjid megah itu mampu menampung ratusan jamaah.

1405406714914945614
masjid Miftahul Huda Wimro

Namun kini tak lagi didapati masjid penuh sesak oleh Jamaah. Selama lima hari saya di sana, tak satu warga pun terlihat sholat di masjid. Bahkan saya tak pernah sekalipun mendengar suara adzan berkumandang dari masjid itu. Bukannya sudah tidak ada muslim lagi di sana. Justru penghuni beberapa rumah di dekat masjid beragama Islam. Memang di kampung Wimro ini, umat muslim cukup sedikit karena sudah banyak di antaranya yang pindah akibat tidak memiliki pekerjaan lagi di sana. Sebenarnya di area masjid sendiri tinggal sepasang suami-istri, si suami didaulat menjadi takmir masjid. Selama kami di sana kebetulan Bapak itu sedang melaut sehingga aktivitas di masjid  berhenti total. Jika si Bapak sedang di rumah, dialah yang mengumandangkan adzan dan mengimami sholat jika ada jamaah.

14054068461031178919
Entah sejak kapan aktivitas ibadah di masjid ini berhenti total dan mengapa hal itu bisa terjadi. Yang pasti setiap memasuki ruangan masjid, hanya kesunyian yang menyambut kami. Tak ada barisan rapat jamaah yang sedang sholat, tak terdengar keriuhan anak-anak yang sedang mengaji, tak pula terdengar suara adzan. Debu tipis menyelimuti lantai, meski demikian keramik putih itu masih bisa memantulkan bayangan walaupun tidak sesempurna dulu. Beberapa eksemplar Al Quran teronggok rapi di dalam lemari, sepertinya sudah lama tidak dijamah. Masjid Miftahul Huda Wimro, masjid megah yang ditinggalkan. Sampai sekarang masjid itu masih berdiri dengan kokoh meski hanya segelintir orang yang peduli terhadapnya.

Tak ingin ikut larut dalam kesepian, sudah saatnya untuk berpindah ke kampung selanjutnya. Destinasi selanjutnya adalah kampung Otoweri. Untuk menuju ke sana, kita harus mengarungi perairan terbuka teluk Bintuni menggunakan ketinting. Perjalanan cukup mulus ketika melewati sungai besar di kawasan Wimro. Memasuki muara, ombak makin meninggi disertai angin kencang. Sempat kembali ke sungai untuk menunggu badai reda, akhirnya siangnya kapal bisa melewati muara dan lanjut mengarungi teluk Bintuni.
Perjalanan seharian harus kami tempuh setelah terjebak badai di muara. Jam 8 malam sampailah kami di Otoweri. Otoweri masuk dalam wilayah Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Kampung kecil ini hanya dihuni sekitar 70-an KK yang mayoritasnya bekerja sebagai nelayan. Cukup banyak pendatang seperti orang Buton, Bugis, dan Jawa yang tinggal di sini. Namun orang Papua masih jadi yang terbanyak. Berbeda dengan beberapa kampung sebelumnya, orang Papua di kampung ini cukup beragam karena terdiri dari beberapa suku dan marga.

14054070771851413516
jalan kampung

Kampung Otoweri hanya memiliki satu tempat ibadah, yaitu Masjid Baburrahman. Dinding masjid ini berupa tembok berwarna putih. Atapnya bersusun tiga, terbuat dari seng yang dicat hijau. Di puncak atap terdapat kubah kecil dengan hiasan bintang di atasnya. Di sekeliling masjid terdapat pagar kayu setinggi setengah meter yang berfungsi mencegah hewan masuk ke area masjid. Serambi masjid dibatasi oleh pagar tembok dengan dua buah pintu di dua sisi.

14054071362092666930
masjid Baburrahman Otoweri

Ruangan utama masjid cukup luas, dapat menampung sekitar 250 jamaah. Lantai masjid berupa keramik putih dan keramik hijau sebagai batas shaf. Terdapat empat tiang penyangga utama terbuat dari kayu besi, jenis kayu ini masih sangat mudah ditemukan di Papua. Terdapat beberapa lampu menempel di langit-langit, namun sayangnya lampu ini tidak berfungsi karena tak ada listrik.

1405407274823830275
ruang utama masjid Baburrahman

Masjid Baburrahman ini bisa dibilang megah dan luas untuk ukuran kampung kecil nan terpencil seperti Otoweri. Namun sangat disayangkan, masjid ini juga sepi dari aktivitas ibadah. Sangat jarang suara adzan dikumandangkan dari dalam masjid. Dari pagi sampai sore hampir tidak ada warga yang berkunjung ke masjid. Hanya pada malam hari saja seseorang datang ke masjid untuk menyalakan pelita. Bahkan saat jumat siang, hanya berkumpul lima orang warga termasuk seorang anak kecil di masjid. Ditambah kami, jamaah sholat jumat hanya delapan orang. Sempat terjadi kebingungan di antara kami karena jamaah terlalu sedikit untuk menunaikan sholat Jumat.

Menurut sang imam, kejadian ini sudah biasa. Siang hari kebanyakan warga laki-laki pergi melaut. Sebenarnya sempat diberlakukan sebuah peraturan bahwa setiap hari Jumat tidak ada kegiatan melaut. Barang siapa yang pergi melaut di hari Jumat dan tidak menunaikan sholat Jumat akan diberi sanksi berupa denda sejumlah uang. Peraturan itu hanya berlangsung beberapa minggu saja, setelah itu kembali ke kondisi semula. Sang Imam sempat menawarkan salah satu di antara kami sebagai orang yang menyerahkan tongkat ke Imam karena orang yang biasa melakukan itu sedang melaut. Karena di antara kami tidak ada yang bisa ritual penyerahan tongkat itu, khotbah pun urung terlaksana. Sang Imam memutuskan untuk melaksanakan sholat sunnah dua rakaat saja.

Hampir semua warga Otoweri adalah Muslim, baik warga asli maupun pendatang. Kondisi ekonomi mereka bisa dikatakan relatif bagus karena ditunjang sektor perikanan yang sangat menghasilkan. Udang sebagai komoditas andalan nelayan di sini sangat mudah diperoleh. Hanya dengan mendayung sampan di sekitar muara, berkilo-kilo udang bisa mereka dapatkan. Jetty/dermaga kampung sering kali dijadikan sebagai tempat bersandar sampan dari kampung sebelah dan kadang sebagai tempat transit ketinting. Bisa dikatakan kegiatan perekonomian di sini cukup ramai. Warga sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing sehingga tidak sempat ke masjid dan bahkan tidak bisa menyisihkan waktu luang untuk menunaikan sholat Jumat.

Safari Masjid Papua Barat (1): Mengenal Muslim Lokal dan Masjidnya

Pesawat baling-baling yang kami tumpangi baru saja mendarat di sebuah bandara kecil yang berada di tengah padang rumput luas dengan hutan hujan sebagai batasnya. Bandara ini dulunya digunakan sebagai lapangan udara militer saat perang dunia kedua. Saat ini bandara Babo diambil alih sebuah perusahaan gas yang biasanya digunakan untuk memfasilitasi karyawannya namun dapat dipakai juga oleh pesawat komersial umum. Babo adalah persinggahan pertama sebelum melanjutkan perjalanan ke beberapa tempat lain di kawasan Teluk Bintuni. Sebuah kota kecil yang menjadi salah satu pusat perekonomian di kawasan Teluk Bintuni. Dibanding beberapa distrik/kecamatan lain di Teluk Bintuni, distrik Babo terbilang modern dan memiliki fasilitas umum relatif lengkap.

1405329785663307591
mendarat di bandara Babo
Tak sampai lima menit menggunakan mobil sampailah kami di kantor distrik, yang juga merupakan pusat distrik Babo. Dari sini kita dapat dengan mudah mengakses berbagai fasilitas umum seperti puskesmas, sekolah, dan masjid. Untuk mencapai masjid hanya perlu berjalan kaki selama 10 menit dari kantor distrik. Masjid Miftahul Jannah adalah masjid terbesar di Babo. Masjid yang mampu menampung sekitar 200 jamaah ini memiliki serambi yang luas. Serambi masjid dibatasi oleh pagar setinggi sekitar setengah meter. Sebuah bedug ukuran cukup besar diletakkan di serambi masjid bagian depan. Ruangan dalam dan serambi masjid dilapisi lantai keramik. Empat buah tiang beton yang terletak di bagian dalam menjadi penopang utama atap masjid yang berbentuk tumpang.

1405329898569478215
masjid Miftahul Jannah Babo
Ada tiga masjid/mushola di Babo, namun masjid Miftahul Jannah lah yang paling sering mengadakan berbagai kegiatan di luar sholat berjamaah. Saat saya ke sana pada Oktober 2013, setiap ba’da Maghrib diadakan latihan untuk mempersiapkan diri menjelang seleksi MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) tingkat provinsi. Beberapa tahun terakhir Babo berhasil mengirimkan putra-putri terbaik mereka ke kejuaraan MTQ Papua Barat mewakili kabupaten Teluk Bintuni. Saat itu mereka tengah berjuang untuk dapat kembali maju ke MTQ tingkat provinsi yang tahun depan (2014) digelar di Raja Ampat.

14053301131469923901
serambi tempat anak-anak mengaji
Warga Babo terbilang multietnis karena terdiri dari beragam suku seperti Jawa, Buton, Toraja, dan Irarutu sebagai suku asli. Suku Irarutu yang tinggal di Babo kebanyakan beragama Islam. Beberapa suku asli di Papua Barat memang sudah memeluk Islam sejak lama. Banyak sumber yang menjelaskan sejarah dakwah Islam di Papua, salah satunya adalah pengaruh kesultanan Tidore yang memiliki wilayah kekuasaan di sebagian Papua Barat. Pengaruh tersebut berdampak pada adat dan budaya warga Babo cukup kental dengan nilai keislaman. Prosesi pernikahan, adalah salah satu tradisi lokal yang sarat nilai keislaman. Dalam tradisi tersebut pengantin akan diarak keliling kampung diiringi tabuhan rebana dan sholawatan. Di sore hari seringkali dijumpai mace-mace yang jalan berombongan ke rumah tetangganya untuk mengikuti pengajian. Tradisi dan kebiasaan itu masih lestari hingga kini.

Beranjak dari Babo, kita menuju ke kampung Sidomakmur. Ketinting menjadi satu-satunya transportasi umum dari Babo ke Sidomakmur. Dibutuhkan waktu sekitar satu jam untuk sampai ke kampung Sidomakmur. Sidomakmur, sebuah nama yang sangat berbau Jawa. Dan memang kampung ini banyak dihuni oleh perantau asal Jawa sebagai konsekuensi dari upaya pemerintah membangun sebuah area transmigrasi di era 90-an. Kampung ini sangat kecil dan hanya dihuni oleh 100 KK. Tidak begitu luas, hanya dihubungkan oleh rangkaian papan kayu yang mengelilingi kampung. Semua rumah dan fasilitas di Sidomakmur terbuat dari kayu karena itu kampung ini juga dikenal dengan sebutan Rumah Kayu Indonesia (RKI).

1405330335319923185
salah satu sudut kampung Sidomakmur
Sidomakmur hanya memiliki sebuah masjid yang terletak di tengah kampung. Masjid itu hampir seluruhnya terbuat dari kayu, hanya atapnya saja yang dari seng. Di serambi masjid terdapat bedug ukuran sedang yang diletakkan di salah satu sudut bagian depan. Ruangan dalam masjid begitu bersih dengan keramik yang menutupi seluruh lantainya. Warna dominan biru memberikan kesejukan saat memasuki masjid. Ditopang oleh empat kayu utama, semakin memperkokoh masjid ini. Meski tidak ada pasokan listrik dari PLN, masjid tetap terang saat malam dan bisa mengumandangkan adzan melalui pengeras suara. Itu semua berkat listrik hasil swadaya masyarakat dengan menggunakan genset kampung.

14053304801848382992
tetap terang saat malam
14053306721447776769
ruangan utama masjid
Selalu ada sholat jamaah di awal waktu. Kebanyakan warga yang ikut sholat jamaah adalah warga di sekitar masjid, wajah-wajah mereka tidak asing lagi. Ya.. mereka adalah orang Jawa yang menjadi mayoritas di kampung ini. Penggunaan bahasa Jawa sebagai percakapan sehari-hari sangat lumrah di sini. Orang Madura yang di tempat asalnya kesulitan berbahasa Jawa, di sini dapat diajak ngobrol menggunakan bahasa Jawa. Bahkan orang non Jawa seperti orang Maluku, Buton, dan Papua sendiri sesekali terdengar menggunakan bahasa Jawa saat berbelanja di kios milik orang Jawa. Bisa dibilang, Sidomakmur adalah Papua rasa Jawa.

Senin, 21 Juli 2014

Kopi dan Sopi, Tradisi yang Masih Lestari

Sebotol sopi dan sebungkus rokok tersedia di atas meja kayu. Terdapat beberapa kursi yang mengelilingi meja itu, ada kami sebagai tamu, tuan rumah, dan seorang tetua adat. Sang tetua terlihat komat-kamit berdoa dan mencoba komunikasi dengan roh leluhur. Tak sampai sepuluh menit kemudian, sang tetua selesai dengan ritualnya. Beliau kemudian menyampaikan bahwa kedatangan kami sudah diterima, tidak ada yang bisa ganggu kami karena telah dilindungi oleh para leluhur. Beliau juga berpesan agar kami menjaga perilaku selama tinggal di wilayah itu. Terakhir  beliau menyodorkan sopi dan rokok sebagai penghormatan untuk tamu. Tahu kalau kami pantang minum alkohol, beliau menyuruh masing-masing kami untuk memegang keduanya sebagai tanda kalau sajian sudah diterima.

14030653281117690922
sajian untuk menyambut tamu
Tak sampai di situ, ternyata tuan rumah juga telah menyiapkan seekor ayam putih. Tanpa basa-basi kami langsung disodori sebuah pisau untuk menyembelih ayam yang sudah disiapkan. Agak kaget memang, saat itu sudah jam 9 malam kami disuruh menyembelih ayam yang jadi hidangan utama kami nanti. Mereka masih sempat-sempatnya menyiapkan banyak hal untuk para tamu yang belum dikenal. Sebelumnya kami memang sempat menghubungi tuan rumah dan menjelaskan sedikit tujuan kami via telepon, namun tak disangka bakal dapat sambutan seperti ini. Pisau sudah ditangan, ayam pun sudah siap sedia menyerahkan batang lehernya. Tumpulnya pisau ditambah rasa grogi karena baru pertama menyembelih hewan membuat leher ayam malang itu putus seketika.
14030645851769852319
jelang eksekusi
Sudah tradisi bagi orang Manggarai, NTT untuk menyambut tamu dengan cara demikian. Mereka juga sudah sangat paham tentang kebiasaan dan kepercayaan tamunya yang ditunjukkan dengan menyerahkan prosesi penyembelihan ayam kepada kami. Memang tidak semua desa yang kami kunjungi memberikan penyambutan secara adat karena penyambutan itu tergatung kebiasaan si tuan rumah. Di satu desa kami tidak disambut secara adat namun tetap saja, “beleh manuk sudah!” (sembelih ayam sana!), perintah si tuan rumah.
Sopi/tuak dijadikan sebagai sajian khusus untuk menyambut tamu karena minum minuman keras sudah menjadi kebiasaan bagi laki-laki dewasa Manggarai. Bahkan, mereka secara terang-terangan menjual BM (Bakar Menyala) di pinggir jalan raya. Dinamakan Bakar Menyala karena saking tingginya kadar alkoholnya, jika disulut api akan langsung menyala. Mereka minum tidak mengenal waktu dan tempat, asal ingin mereka beli dan minum. Hanya dengan merogoh kocek 50 ribu, sopir travel kami bisa mendapatkan BM yang dijual di pinggir jalan itu. Dia dan kawannya meminum bergantian sambil istirahat sebentar kemudian melanjutkan perjalanan. Katanya mereka sudah biasa menyetir sambil mabuk. Akhirnya si sopir tidak kuat dan menyerahkan kemudinya ke kawannya yang “cuma” sedikit mabuk.

1403064930102304578
beberapa botol BM yang dijual bebas di pinggir jalan
Pembuatan sopi dan BM masih sangat tradisional, dan banyak dijumpai di kampung-kampung. Pembuatannya tidaklah sulit, yang diperlukan hanyalah bahan baku berupa air enau dan pipa bambu sebagai sarana untuk mengalirkan uap. Setelah air enau didapat kemudian didiamkan selama beberapa waktu sebelum dimasak. Semakin lama didiamkan, kadar alkohol semakin tinggi. Pada setengah hari pertama, rasa enau masih manis tetapi jika sudah lebih dari sehari rasanya berubah menjadi asam. Tujuan memasak enau adalah untuk diambil uapnya, tetesan uap pertama kadar alkoholnya jauh lebih tinggi dari tetes terakhir. Tetesan uap itu ditampung dalam beberapa botol air mineral 600 ml. Biasanya dalam sekali proses pemasakan, dua botol pertama disebut BM sedangkan beberapa botol setelahnya disebut sopi dengan kadar alkohol yang lebih rendah.
Di pedalaman Manggarai tidak ada warung yang menjual makanan jadi, hanya beberapa kios kecil yang menjual sembako dan beberapa kebutuhan lain. Namun, kita tidak perlu khawatir akan kehausan apalagi kelaparan. “Kalau kalian lapar, bilang saja mama, saya lapar. Tak usah sungkan.” Kata seorang Bapak dengan entengnya. Menerima nasihat itu, kami pun hanya tersenyum sambil mengangguk. Sebagai orang Jawa, tentu sangat sungkan meminta makan secara vulgar seperti itu. Namun muncul secercah harapan kalau kami bakal sering dapat makanan gratis. Setiap rumah yang kami kunjungi pasti menyuguhkan sesuatu, minimal kopi. Jika kunjungan bertepatan dengan waktu makan, kami akan disuruh makan. Bahkan, tak jarang kami dipaksa untuk makan lagi meski sudah bilang kalau di rumah tetangga tadi sudah diberi makan. Seringkali kami bisa makan 4-5 kali dalam sehari dan minum kopi sampai 6 gelas sehari.
Kopi juga sudah menjadi budaya dalam masyarakat Manggarai. Kopi Manggarai memang dikenal sebagai salah satu kopi favorit para penikmat kopi. Kopi Manggarai ini memiliki cita rasa pahit dan hampir tidak terasa asam, sangat khas dibanding beberapa kopi dari daerah lain. Di daerah pegunungan Manggarai sering ditemui perkebunan kopi mulai dari yang besar sampai perkebunan kecil yang tersebar di lereng-lereng bukit. Ketenaran kopi Manggarai membuatnya menjadi komoditas andalan di sektor perkebunan. Mereka biasa menjual dalam bentuk biji ke tengkulak, kemudian diangkut menggunakan otokol (truk yang sudah dimodifikasi) untuk dijual lagi ke kota Ruteng.
Minimal dua kali sehari orang Manggarai menikmati kopi yaitu saat pagi dan sore hari. Namun jika banyak tamu yang berkunjung, makin banyak pula kopi yang mereka minum. Mereka biasanya menikmati kopi pahit tanpa gula, namun untuk tamu yang berasal dari luar Manggarai dibuatkan kopi manis. Sebagai teman minum kopi, disajikan pula pipilan jagung rebus. Lengkap sudah sajian lokal khas Manggarai.

1403065450333633796
sajian sederhana namun istimewa
Kopi dan sopi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Manggarai. Bisa dikatakan dua minuman itu menjadi minuman wajib bagi mereka. Bagi tamu/orang luar seperti saya, kedua minuman itu menjadi simbol keramahan orang Manggarai. Setiap mengunjungi sebuah rumah pasti salah satu dari kedua minuman itu akan muncul setelah sambutan hangat si tuan rumah. Dan tradisi yang sudah berumur ratusan tahun itu masih tetap lestari hingga kini.
Catatan Kecil: Jangan Marah Ya..
“Jangan marah ya... rumah kami berantakan” ujar si tuan rumah saat saya masuk ke rumahnya (Lah.. apa tampang saya terlihat pemarah? Kok dia bilang gitu?). Perkataan serupa juga disampaikan tuan rumah lain sebagai kalimat pembuka saat saya berkunjung. Hanya senyum yang saya berikan karena tidak tahu harus menanggapi bagaimana dan menunjukkan kalau saya tidak marah tentunya. Ternyata ada alasan logis di balik basa-basi tuan rumah khas Manggarai itu. Jika biasanya (kebiasaan di Jawa) basa-basi yang sering diucapkan adalah “maaf, rumah kami berantakan”. Kata “maaf” diucapkan jika kita merasa salah, kalau rumah kita “berantakan” apakah kita bersalah terhadap tamu? Rasanya kurang tepat minta maaf kalau memang tidak salah, apalagi sekadar untuk basa basi. Jadi kata “jangan marah” dapat diartikan sebagai ungkapan perasaan tidak enak (sekadar basa-basi).