Jerowaru, nama yang masih terasa
asing di telinga. Terletak di ujung tenggara pulau Lombok, pembangunan
infrastruktur di kecamatan yang masuk dalam wilayah administratif Lombok Timur
ini tergolong lambat. Jalan raya yang menghubungkan dengan kota Selong saja
masih banyak berlubang pada 2014. Lebih parah lagi jalan antar desa yang
kebanyakan masih berupa tanah dan sebagian lagi jalan aspal yang terkelupas.
|
jalan menuju desa Sekaroh |
Sekaroh adalah salah satu desa
yang terletak di wilayah paling ujung pulau Lombok. Untuk mencapainya
diperlukan usaha dan kesabaran ekstra. Jalan aspal berlubang menuju Jerowaru
menjadi pembuka perjalanan, sesampai di daerah selatan jalan sudah relatif
mulus. Akan tetapi memasuki jalan menuju Sekaroh, kondisi jalan sangat buruk.
Jalan aspal yang terkelupas dengan lubang menganga di beberapa titik cukup
menyulitkan perjalanan. Belum lagi untuk masuk ke kampung-kampungnya kita harus
melalui jalan tanah yang bergelombang dan terjal di beberapa tempat. Jika musim
kemarau jalan berdebu, sedangkan jika musim hujan mendadak berubah jadi “kali
asat” (sungai kering) yang berlumpur.
Seperti kebanyakan warga Lombok
lain, pertanian menjadi mata pencaharian utama di desa Sekaroh. Karena kondisi
tanahnya kering, mereka menjadi petani ladang dengan menanam tanaman yang
sesuai seperti jagung dan ketela. Hanya hujan sumber air bagi tanaman mereka,
aliran irigasi masih belum sampai desa. Tanah terlihat kering dan cenderung
keras karena jarang terkena air. Konon nama Sekaroh diambil dari bahasa Sasak
yang berarti menangis karena pada jaman dahulu warga sering menangis karena air
tak kunjung membasahi tanah.
|
kebun jagung milik warga Sekaroh |
Selain mengolah lahan, warga
sekitar juga membuat garam untuk menambah penghasilan. Tambak-tambak garam
mereka buat di daerah dekat pantai. Di bagian selatan kecamatan Jerowaru memang
banyak didapati tambak-tambak garam. Nantinya, garam yang mereka hasilkan
biasanya dijual dalam kemasan karung dengan harga relatif murah. Tak jarang
mereka melakukan barter antara garam yang dihasilkannya dengan kebutuhan pokok.
Nilai rupiah garam memang terbilang kecil namun hasilnya dirasa cukup untuk
sekadar bertahan hidup.
|
penggembala sapi |
Warga desa Sekaroh mayoritas
merupakan petani ladang. Namun ada juga mereka yang mencoba peruntungan dengan
beternak hewan seperti sapi, kerbau, dan kambing seperti yang ada di daerah
pantai penyisuk. Padang rumput yang luas di sekitar pantai dijadikan padang
gembalaan bagi pemilik hewan ternak. Di perbukitan sekitar pantai Penyisuk
rumput tumbuh dengan suburnya. Ladang yang berpotensi untuk digarap masih relatif
luas, namun hanya beberapa keluarga saja yang tinggal menetap di sini.
|
pemukiman di Penyisuk |
|
merumput |
Penyisuk memang masih termasuk
wilayah desa Sekaroh, namun letaknya cukup terpencil. Perjalanan panjang
sekitar 7 km harus ditempuh menuju pantai Penyisuk dari kantor desa Sekaroh.
Jalanan berupa tanah yang tidak rata, di beberapa tempat terdapat bebatuan, dan
cukup licin. Di kejauhan, tampak perkebunan jagung yang terletak di
lereng-lereng bukit. Sekilas dari jauh deretan tanaman jagung itu tampak
seperti rerumputan hijau layaknya di padang sabana. Akses menuju pantai ini
cukup sulit karena di beberapa tempat harus melewati tepian waduk kecil dengan
jalur setapak yang begitu sempit.
|
jalan menuju Penyisuk dengan lanskap kebun jagung |
|
masjid batu Penyisuk |
Memasuki perkampungan, terdapat
bangunan masjid dari batu yang belum jadi. Di kampung tersebut hanya tinggal
beberapa keluarga saja. Mereka adalah petani yang memilih tinggal di ujung
pulau agar lebih dekat dengan ladangnya. Tak jauh dari perkampungan terdapat
beberapa sumur air tawar. Uniknya jarak antara sumur itu dengan pantai hanya
sekitar 1 km, namun sumur milik warga kampung lain yang jarak dengan pantai
lebih jauh airnya payau. Hal itu membuat sebagian warga kampung sebelah harus
mengambil air tawar dari Penyisuk. Letak sumur hanya berkisar 300 meter dari
perkampungan ke arah pantai melewati jalan setapak. Meskipun hanya ada tiga
sumur, namun masih cukup untuk memenuhi kebutuhan warga Penyisuk dan
sekitarnya. Sumur tersebut juga biasa digunakan anak-anak untuk membilas badan
selepas mandi di pantai pada sore hari.
|
sumur air tawar dekat pantai Penyisuk |
|
pantai Penyisuk, tempat anak-anak main dan berenang dengan bebas |
Letak kampung ini sangatlah
terpencil dan sampai pertengahan 2014 belum teraliri listrik PLN. Jarak rumah
dengan kantor desa harus ditempuh selama dua jam jalan kaki. Jarak yang sama
juga harus ditempuh anak-anak untuk menuju ke sekolahnya. Jika hujan lebat,
jalanan sangat becek dan bahkan tergenang air luapan dari laut ataupun waduk.
Praktis kampung ini menjadi terisolasi ketika hujan lebat terjadi. Kalau sudah
demikian, anak-anak terpaksa tidak berangkat sekolah.
|
salah satu waduk kecil di Penyisuk |
Dengan segala keterbatasan tersebut tidak menyurutkan
semangat warga. Mereka masih tetap bertahan, mengelola dan mengolah lahan
semampunya. Anak-anak tetap bersemangat menempuh jarak yang begitu jauh ke
sekolahnya meskipun kadang harus jalan kaki karena tidak dapat tumpangan di
jalan. Seolah tak kenal lelah, selepas sekolah mereka segera bermain di pantai
dekat rumah. Keceriaan masih terasa kental di tengah-tengah kesederhanaan hidup
mereka. Kehidupan mereka yang terlihat menyenangkan itu bukannya tanpa keluhan.
Kondisi sarana dan prasarana yang sangat memprihatinkan tetap menghambat mereka
untuk bisa hidup layak.