Jam menunjukkan pukul 7 lebih, sesaat setelah mobil sewaan datang kami berebutan masuk. Tak sabar rasanya untuk menyambangi danau terbesar se Asia Tenggara. Di antara kami bertujuh, hanya dua orang yang pernah ke Danau Toba. Seorang kawan yang merupakan “orang lokal” bertugas menjadi sopir sekaligusguide kami. Sambil menyalakan mesin dia menanyakan mau makan di mana. Terserah... jawaban konvensional dan paling aman. Segera dia menyarankan suatu tempat, “gimana kalau kita makan di Peceren aja?”. Sejenak kami terdiam, dan pecahlah tawa di dalam mobil itu. Hanya si guide saja yang bengong kebingungan. Kami biarkan dia larut dalam kebingungan sejenak, lalu menjelaskan arti peceren dalam bahasa Jawa. Sambil tertawa, dia berkata, “ayo kita makan di “Comberan”!”.
Senin, 21 Juli 2014
Selasa, 01 Juli 2014
Mahalnya Biaya Hidup di Papua
aktivitas bongkar muat di sebuah dermaga |
“Es teh di Papua itu, harganya 12
ribu lho. Lha wong bawanya aja pake pesawat..”, kata salah seorang kawan.
Sebuah guyonan yang sering dia lontarkan sebagai pencair suasana saat ngobrol
dengan warga kampung. Saya yang sudah berulang kali mendengar ceritanya, sampai
bosan. Namun bagi yang pertama kali mendengarnya, akan tertawa keheranan dan
pasti penasaran akan kelanjutan “cerita dari tanah Papua”. Saya pun juga
bereaksi demikian, ketika mendengar ceritanya untuk pertama kali. Kalau tidak
terpaksa, saya tak akan membelinya. Hanya untuk memanjakan kerongkongan
sekejap, harus mengorbankan jatah makan di Jogja selama sehari. Sebenarnya,
semahal itukah harga segelas es teh di Papua?
Tidak juga, selama dua bulan
berada di Papua Barat tidak pernah saya temukan es teh seharga 12 ribu. Bahkan
di kampung Sidomakmur (Teluk Bintuni) saya hanya perlu membayar 3 ribu untuk
menebus segelas es dawet (biasanya es dawet cenderung lebih mahal dari es teh).
Sebuah jawaban yang baru bisa saya temukan beberapa bulan setelah saya
penasaran dengan cerita “es teh 12 ribu” itu. Tidak semua harga barang di Papua
mahal, tapi hampir semua emang mahal. Kasus es dawet seharga 3 ribu (setara
dengan harga es dawet di Jogja) hanya ditemukan di satu kampung saja. Sama
kasusnya seperti harga seikat kangkung (tak jauh beda banyaknya dengan yang
dijual di Jogja) yang harganya 10 ribu di kampung lain. Sungguh “sesuatu” rasanya ketika menyantap
kangkung mahal itu.
Banyak faktor yang mempengaruhi
harga barang di Papua. Biaya transportasi yang mahal, jadi alasan utamanya.
Masih belum banyak barang yang diproduksi di Papua. Jadi hampir semua barang
yang dijual di sana, harus didatangkan langsung dari pulau lain terutama Jawa.
Perjalanan panjang akan ditempuh sekantong teh celup dari pabriknya yang ada di
Jawa, sampai di gelas Pace/Mace di Papua sana. Mulai dari perjalanan darat ke
Surabaya, dilanjutkan numpang kapal ke Sorong, kemudian lanjut ke Babo (kampung yang menjadi salah satu pusat
perekonomian di Kabupaten Teluk Bintuni), masih lanjut lagi naik ketinting
(kapal motor kecil yang menjadi moda transportasi utama antar kampung di Teluk
Bintuni) dan sampailah di kampung yang dituju. Itu baru transportnya saja,
belum dihitung biaya TKBM (Tenaga Kerja Bongkar Muat). Para TKBM selalu bersiap
menyambut kapal barang yang akan berlabuh. Mereka bertugas membawakan
barang-barang ke gudang atau kios. Biaya angkut beragam, tergantung jenis,
berat, dan volume barang. Sebagai gambarannya, seorang TKBM bisa dapat 3 ribu
untuk mengangkut sekardus teh celup dari dermaga ke kios yang berjarak 400
meter. Makin banyak kampung yang disinggahi, makin bengkak pula harga suatu
barang.
Normalnya, harga barang di Papua
bisa mencapai 2 sampai 3 kali lipat dari harga barang di Jawa. Contoh kecil sebotol
cola yang di Jawa dibanderol dengan harga 3 ribu, di Sorong dijual seharga 5
ribu sementara di kampung Sidomakmur dihargai 8 ribu. Selisih harga yang lebih
besar yaitu antara Sorong dan Sidomakmur, padahal jaraknya lebih dekat
dibanding Jawa-Sorong. Ini menunjukkan antara Sorong-Sidomakmur terdapat
komponen biaya yang lebih banyak dan lebih besar seperti biaya transportasi dan
ongkos TKBM.
Untuk contoh ekstrim seperti es
dawet seharga 3 ribu dan seikat kangkung 10 ribu, ada beberapa kemungkinan yang
menjadi penyebabnya. Pertama es dawet 3 ribu, di kampung itu ada kios grosir
yang kulakan (membeli barang untuk dijual kembali) dari Jawa langsung sehingga
memotong rantai distribusi yang berarti meminimalkan biaya, dan harga jual
relatif lebih murah. Dengan adanya kios tersebut, pedagang dawet mendapat harga
beli bahan baku yang cenderung murah. Kedua seikat kangkung 10 ribu di kampung
Tomage (pedalaman Fakfak). Bisa jadi hal itu disebabkan karena faktor
kelangkaan. Masih sedikit warga yang menanam sayuran. Kebanyakan mereka masih
tergantung dari hasil hutan seperti sagu, hewan buruan, dan dedaunan.
Kenyataan seperti ini membuat
saya yang baru pertama ke Papua merasa miskin. Bagaimana tidak, rupiah saya
berkurang nilainya menjadi setengah bahkan sepertiganya. Meski sudah banyak
dengar cerita tentang mahalnya biaya hidup di Papua, tetap saja kaget ketika
mengalaminya secara langsung. Hidup di Papua memang mahal.
Perjalanan Segalon Air, Sebuah Ilustrasi Rantai Distribusi di Teluk
Bintuni
Untuk menyediakan kebutuhan akan
air galon, pedagang kios di Sidomakmur harus kulakan dari Babo sebagai tempat
produksi air galon terdekat. Jarak Sidomakmur ke Babo tak lebih dari 7km, dapat
ditempuh sekitar dua jam menggunakan ketinting. Harga kulakan air galon di Babo
13 ribu. Ongkos TKBM Babo (bawa galon dari pabrik ke dermaga dengan jarak
sekitar 500m) 4 ribu/galon air. Sewa ketinting Babo-Sidomakmur dihitung per
barang, 3 ribu/galon air. Sesampai di Sidomakmur ada lagi ongkos TKBM (bawa
galon dari dermaga ke kios berjarak sekitar 600m) 6 ribu. Biaya total yang
harus dikeluarkan pedagang untuk kulakan segalon air adalah 26 ribu, mereka
menjualnya ke konsumen dengan harga 30 ribu.
Fakta:
- Terdapat selisih harga lebih dari dua kali lipat antara harga air galon di Babo dengan di Sidomakmur yang jaraknya tak lebih dari 7km.
- Ongkos TKBM untuk segalon air mencapai 9 ribu, hampir sama dengan harga barang itu sendiri.
Senin, 26 Mei 2014
Menguak Pesona Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
Perjalanan panjang selama hampir
10 jam harus kami tempuh dari Jogja menuju Bandung menggunakan KA Kahuripan. Usai
istirahat sejenak, kami lanjutkan perjalanan menuju terminal Leuwi Panjang.
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) adalah tujuan utama kami.
Perjalanan ini sudah kami siapkan sejak sebulan yang lalu. Mulai dari pemesanan
tiket KA sampai pengurusan booking
perizinan pendakian di kawasan TNGGP yang saya pikir sangat ribet. Dibanding
gunung-gunung lain, perizinan pendakian di TNGGP memang serba berbelit-belit
dan menyusahkan terutama bagi yang berdomisili di tempat yang jauh dari lokasi.
Hanya rasa penasaran saja yang membawa kami ke tempat itu, lokasi pendakian
favorit di Jawa Barat.
pertigaan Cimacan yang ramai |
Bus “Garuda Pribumi” jurusan
Jakarta via Puncak membawa kami menuju ke Cimacan, Cianjur. Dengan harga tiket
Rp30.000, mereka sediakan fasilitas AC, Bagasi, dan TV. Tayangan sinetron
picisan yang tersaji di layar televisi mampu membuat saya tertidur. Sekitar
tiga jam kemudian sampailah kami di pertigaan Cimacan, tak jauh dari istana
Cipanas. Di pertigaan itu, beberapa angkot sudah siaga menyambut penumpang. Tak
perlu waktu tunggu, sesaat setelah kami naik, angkotpun langsung meluncur ke
arah TNGGP. Angkot yang tadinya hanya berisi kami berdua, perlahan dimasuki
beberapa penumpang. Tak sampai setengah jam, angkot sudah berhenti tepat di
depan pelataran parkir TNGGP. Setelah membayar Rp6.000 untuk 2 orang ke sopir
angkot, kami pun langsung menuju ke kantor TNGGP untuk mengurus SIMAKSI (Surat
Izin Masuk Kawasan Konservasi).
kantor Taman Nasional Gunung Gede Pangrango |
Gagal mendaki adalah kemungkinan
terburuk yang siap kami hadapi mengingat jumlah tim yang hanya dua orang
(sesuai peraturan, minimal ada tiga orang dalam satu tim). Sebenarnya saat booking online kami mendaftarkan tiga
orang, namun seorang kawan mendadak urung ikut. Karena sudah terlanjur pesan
tiket kereta PP, mau tak mau harus ke sana. Di luar dugaan, petugas dengan
entengnya menyarankan kami gabung ke tim pendaki lain yang kebetulan akan naik
sore itu. Ternyata, meski memiliki
peraturan yang serba ribet masih ada sedikit “celah” yang bisa meringankan.
Jam setengah lima sore, kami
mulai pendakian bersama para Kaskusers regional Cianjur Selatan yang berjumlah
sekitar 20 orang. Sore itu mendung menggantung di kaki gunung Gede. Menurut Pak
Nana, petugas di posko pendakian, akhir-akhir ini tiap sore hujan mengguyur
wilayah gunung Gede. Hampir sejam kemudian, sampailah kami di jembatan kayu
(sebenarnya terbuat dari beton, namun dibentuk seperti kayu). Jembatan
sepanjang 1km itu membentang di atas sungai-sungai dan cekungan kecil. Kabut
tipis pun mulai turun perlahan. Di kejauhan, hutan Pangrango terlihat suram
berselimut kabut. Hawa dingin mulai menembus pakaian yang kami kenakan. Tak
kuat menahan dingin, kami pun minta izin kepada ketua tim Kaskusers untuk jalan
duluan untuk kemudian bertemu kembali di Kandang Badak.
(mirip) jembatan kayu |
Setengah jam kemudian, rintik
hujan mulai tercurah dari langit. Segera ponco dan headlamp kami kenakan mengingat suasana yang semakin gelap.
Vegetasi hutan yang lebat membuat kami hanya bisa melihat kondisi di sekitar
jalur pendakian saja. Beruntung, jalur pendakian di TNGGP via Cibodas relatif
lebar dan jelas sehingga sangat memudahkan bagi kami yang baru pertama mendaki
di gunung ini. Tak berapa lama kemudian, sampailah kami di kawasan air panas. Ini
adalah salah satu dari dua rute pendakian gunung Gede via Cibodas yang
berbahaya. Di rute ini pendaki, harus melewati aliran air panas sepanjang
sekitar 500m dengan tebing di satu sisi dan jurang di sisi lain. Rute ini
sangat sempit, dibatasi dua jalur tali selebar tak lebih dari satu meter.
Selain licin, panasnya air yang mengalir membuat pendaki harus ekstra hati-hati
untuk melewatinya. Sangat disarankan untuk memakai sepatu untuk sedikit
melindungi kaki dari panasnya air. Kabut yang tercipta akibat uap panas akan
memperpendek jarak pandang, karena itu dibutuhkan senter dengan cahaya yang
memadai jika melintas di malam hari. Setelah menempuh lima jam perjalanan yang
melelahkan sampailah kami di Kandang Badak, lokasi mendirikan tenda yang
menjadi favorit pendaki karena dekat dengan puncak.
Jam 10 malam, tenda telah
didirikan dan usai menyantap nasi bungkus kamipun segera tidur. Suhu di kandang
badak relatif tidak terlalu dingin, cukup nyaman untuk tidur. Esoknya, kawan
sependakian saya memutuskan untuk tidak ikut muncak. Akhirnya pada 5.45 saya
mulai perjalanan ke puncak. Saat itu hanya saya saja yang muncak, sebagian
besar pendaki sudah mendaki sejak dini hari tadi untuk mengejar momen sunrise.
Perjalanan diawali dengan mendaki jalur makadam sampai pertigaan Pangrango.
Untuk menuju puncak gunung Gede lurus saja, sedangkan bila ingin ke puncak
gunung Pangrango ke arah kanan. Kali ini saya akan ke puncak Gede saja. Setelah
pertigaan itu, jalur berupa tanah dengan akar-akar pohon yang membentuk seperti
tangga. Dibandingkan jalur pendakian di bawah kandang badak, jalur menuju
puncak ini relatif terjal. Meski di sekitarnya pepohonan cukup lebat, namun
jalur pendakian sangat jelas dan nyaris tak ada percabangan yang membingungkan.
Di beberapa tempat terpasang tiang-tiang kecil dengan tali yang membentang
diantaranya.
rute menuju puncak |
Sekitar sejam dari kandang badak,
sampailah saya di tanjakan setan. Tanjakan itu sangat terjal, dengan kemiringan
hampir 80 derajat kita harus memanjat untuk sampai ke atas. Karena takut
ketinggian dan dalam posisi sendiri, saya memutuskan untuk menghindari tanjakan
setinggi sekitar 10 meter. Jalur alternatiflah yang saya pilih, sedikit memutar
memang namun tidak terlalu terjal. Setengah jam kemudian, kawah gunung Gede
sudah terlihat. Kini saya hanya perlu menyisir tebing di tepi kawah untuk
sampai ke puncak. Tepat di belakang, tampak gunung Pangrango berdiri dengan
gagahnya. Sementara itu tepat di bawah terlihat asap tipis mengepul keluar dari
sisi tebing yang berwarna keemasan.
tanjakan setan |
Tak sampai 10 menit, saya sudah
sampai di puncak gunung Gede. Hanya tiang kecil dengan papan bertuliskan
“Puncak Gede” sebagai penanda kalau saya sudah sampai di puncak gunung
dengan tinggi 2985 mdpl. Beberapa lokasi
di puncak Gede didirikan beberapa tenda. Puncak gunung Gede memang sangat cocok
untuk lokasi kemah karena di beberapa titik terdapat lokasi yang terlindungi
oleh semak dan pepohonan kecil. Sekitar setengah berada di puncak kemudian
turun, tak perlu berlama-lama di puncak jika sendirian. Sebelum turun, saya
bertemu dengan rombongan Kaskusers. Mereka mengajak saya turun ke alun-alun
Suryakencana, tanah lapang di mana edelweiss banyak tumbuh di sana. Sempat
ngiler saya ketika melihat Suryakencana yang ada di bawah, mungkin tak sampai
setengah jam untuk ke sana. Namun, karena tidak ingin kemalaman sampai Bandung
saya pun memutuskan untuk segera turun.
area puncak gunung Gede |
kawah gunung Gede |
megahnya Pangrango |
Matahari sudah mulai meninggi,
namun sinarnya sedikit terhalang oleh rapatnya vegetasi hutan gunung Gede.
Sinar Mentari tampak menembus celah dedaunan membentuk tirai cahaya. Kicauan
burung bersahutan, menambah semarak pagi. Kali ini saya tidak sendiri, ada
beberapa rombongan pendaki lain yang juga turun serta sempat berpapasan dengan
rombongan pendaki yang naik. Sejam kemudian, sekitar jam 9.20 saya sudah sampai
di kandang badak. Segera kami packing setelah menyantap sarapan yang sudah disiapkan
oleh kawan saya yang tidak ikut muncak.
cahaya matahari menembus sela dedaunan |
Jam 9.50 kami beranjak turun dari
kandang badak. Tak sampai sejam, kami sampai di kawasan air panas. Kawan saya
pun mengajak turun ke kali untuk berendam air panas. Sebenarnya aliran air yang
letaknya sekitar 30m di bawah jalur pendakian itu bukan murni air panas. Air
panas murni ada di beberapa titik sepanjang kali, dialirkan melalui pipa dan
ada juga saluran alami. Sumber air panas itu berasal dari aliran air yang
letaknya ada di atas kali. Berendam air panas memang sangat cocok untuk
relaksasi otot-otot yang telah bekerja keras selama pendakian.
Setelah puas berendam air panas,
kami lanjutkan perjalanan turun gunung. Beberapa menit kemudian tibalah kami di
jalur air panas. Kini terlihat jelas jurang yang menganga di sebelah kiri.
Ternyata jalur itu merupakan bagian dari air terjun panas dengan debit air yang
tidak terlalu besar. Tidak seperti semalam di mana kami begitu tegang
melewatinya, siang ini kami lalui jalur ini dengan santai. Selain karena medan terlihat
jelas, air terasa tidak sepanas malam tadi mungkin karena sudah terbiasa dengan
suhu panas air setelah berendam tadi. Jadi agar tidak panik karena kepanasan,
sebelum melewati jalur air panas ini sebaiknya menyesuaikan dulu dengan
merendam kaki sejenak untuk membiasakan.
jalur air panas yang mendebarkan |
Sebelum turun sampai pos
pengecekan SIMAKSI, kami beristirahat di pertigaan curug Cibeureum. Di papan
petunjuk tertulis, jarak curug hanya 0,3km dari pertigaan. Sangat dekat hanya
300 m, tak sampai 5 menit sudah sampai. Tanpa pikir panjang, saya segera
meluncur ke curug meninggalkan kawan yang nampak kepayahan dan tidak mau ikut
ke sana. Jalur menuju curug berupa makadam dengan jembatan yang terbentang di
atas kali. Lima menit kemudian, hanya gemuruh air yang saya dengar tanpa
terlihat aliran air terjun secuil pun. Ternyata dugaan saya salah, dibutuhkan
waktu lebih dari sepuluh menit untuk sampai ke curug. Mungkin yang dimaksud
jarak 0,3km itu adalah jarak lurus dari pertigaan ke curug bukan jarak jalurnya
atau mungkin itu hanya untuk “menipu” pengunjung agar tidak malas untuk jalan
2km.
Curug Cibeureum |
Cibeureum, agak susah dilafalkan
lidah Jawa seperti punya saya. Untuk menjangkaunya pun cukup sulit untuk wisata
umum karena masuk dalam jalur pendakian gunung Gede Pangrango. Diperlukan waktu
lebih dari sejam perjalanan dari kantor TNGGP. Namun, kesulitan itu terbayar
lunas ketika kita sampai di depan air terjun. Muncul dari celah pepohonan,
aliran air terjun berketinggian 30m ini mengalir dengan derasnya. Hijaunya
tebing di sisi kiri dan kanan curug membuat pemandangan semakin sejuk. Di
sebelah curug Cibeureum terdapat dua curug lain yang lebih kecil namun tinggi.
Banyak wisatawan yang bekunjung ke curug Cibeureum, bisa jadi disebabkan karena
bertepatan dengan hari libur (hari buruh). Namun di samping itu, fasilitas yang
cukup lengkap menjadi faktor penarik bagi pengunjung. Beberapa gazebo dibangun
sebagai tempat beristirahat, serta jembatan-jembatan kecil yang mempermudah
pengunjung.
curug lain di area TNGGP |
Hanya sekedar mengambil beberapa
gambar dan memuaskan hasrat keingintahuan saya, tak perlu berlama-lama di sana.
Kami lanjutkan perjalanan, sekitar jam 2 sudah sampai di kantor TNGGP.
Perjalanan yang terasa begitu panjang dari pertigaan Cibeureum ke bawah,
mungkin karena kecapekan. Seperti biasa, naik gunung pasti menguras tenaga.
Namun pendakian gunung Gede via Cibodas ini serasa seperti wisata saja. Ada
banyak tempat wisata yang dapat dikunjungi seperti curug Cibeureum, Cipanas
(air panas), puncak, dan tak ketinggalan hutan taman nasional yang masih
terjaga. Saya rasa tidak rugi harus mengurus perijinan yang ribet untuk mendaki
gunung Gede karena cukup sebanding dengan fasilitas yang didapat.
Kamis, 22 Mei 2014
Pesta Sekolah, Beasiswa Bergulir ala Manggarai
Segelas kopi dan beberapa potong kue menghiasi meja kecil di hadapan kami. Sore itu saya berkesempatan mengobrol dengan seorang guru SD di kampung Golo Popa. Sebuah kampung kecil yang terletak di pegunungan Manggarai Timur, NTT. Bisa dibilang, wilayah ini cukup terisolasi karena satu-satunya akses menuju tempat ini dari kota kecamatan adalah sebuah jalan tanah berbatu yang hanya dapat dilewati kendaraan bergardan ganda. Jika sehari sebelumnya hujan, tak ada sopir oto kol (transportasi umum di Manggarai berupa truk yang dimodifikasi) yang berani membawa truknya ke sana. Sebenarnya, sepeda motor juga bisa naik sampai Golo Popa, bahkan bisa juga dibawa sampai kampung sebelah yang letaknya di atas. Namun tingkat kesulitan medan yang menurut mereka “setengah mati”, membuat jalan kaki menjadi cara alternatif untuk menuju ke kota kecamatan. Selain itu, kampung ini dan kebanyakan kampung lain di pegunungan Manggarai belum teraliri listrik dari PLN ditambah lagi sinyal telepon seluler yang timbul tenggelam.
Dari obrolan santai itu, terkuak fakta menarik bagi saya mengenai sebuah tradisi unik yang jarang ditemui di tempat lain. Pesta sekolah, yang biasanya diadakan oleh keluarga yang anaknya akan kuliah di luar kota. Pesta ini dilakukan sebanyak dua kali, pertama pesta kecil yang digelar sebelum anak masuk kuliah. Kedua yaitu pesta besar yang digelar menjelang anak lulus kuliah, biasanya diadakan saat semester 5 atau 6.
Pesta sekolah merupakan salah satu pesta besar yang diadakan oleh orang Manggarai. Berbagai makanan dan minuman disajikan, tak lupa juga alunan musik yang disetel keras-keras menambah kemeriahan pesta. Babi dan anjing menjadi hidangan utama dalam pesta ini. Selain itu disuguhkan pula tuak dan rokok. Budaya minum memang sudah akrab dalam keseharian warga, hampir di setiap pesta disajikan tuak. Cukup banyak terjadi insiden akibat peserta pesta yang mabuk dan membuat ulah. Meskipun demikian, tradisi pesta dengan tuak tetap dilanjutkan.
Tujuan sebenarnya pesta ini adalah untuk menghimpun dana dari masyarakat guna membantu pembiayaan kuliah anak dari si tuan pesta. Masyarakat Manggarai yang tinggal di daerah pegunungan seperti ini cenderung memiliki taraf ekonomi yang relatif rendah. Meski begitu, mereka sangat peduli terhadap pendidikan. Para orang tua ingin anaknya sekolah setinggi mungkin agar memiliki kehidupan lebih sejahtera dari orang tuanya. Kesadaran akan pendidikan ini dapat dilihat sekilas dari profil warga kampung Golo Popa. Hampir tiap rumah di kampung itu terdapat anak yang kuliah. Sayangnya setelah lulus kuliah, biasanya mereka bekerja di kota untuk mendapat kehidupan yang lebih layak. Wajar saja, karena kehidupan di kampung dinilai masih kurang menjanjikan bagi para sarjana muda.
Setiap tamu undangan datang ke Tuan Pesta sambil membawa amplop yang isinya sesuai dengan anggota keluarga yang ikut pesta. Kalau anak-anak biasanya “membawa” Rp10.000, kalau dewasa bisa Rp50.000. Rata-rata satu keluarga bisa menyumbang Rp100.000-Rp200.000. Jumlah keluarga yang diundang bisa ratusan. Tidak hanya dari kampung sekitar, tetapi warga dari kampung yang letaknya jauh juga turut serta memeriahkan pesta ini. Tak heran jika “hasil” yang didapat tuan pesta mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Menurut perhitungan Pak Guru tersebut, tuan pesta bisa mendapat “penghasilan” bersih antara 18 juta sampai 50 juta rupiah. Jumlah yang cukup membantu membiayai kuliah yang sangat mahal mengingat mereka biasa menyekolahkan anak di tempat jauh seperti Makassar atau Jawa Timur.
Menariknya, jumlah tamu undangan yang datang berbanding lurus dengan sering tidaknya keluarga tersebut mendatangi pesta keluarga lain. Keluarga yang didatangi merasa berutang budi kepada keluarga-keluarga yang datang di pestanya karena berkat merekalah anaknya bisa menyelesaikan kuliah. Jadi bisa dikatakan sumbangan yang dikeluarkan suatu keluarga adalah investasi yang kelak akan kembali dalam bentuk yang relatif sama ketika membutuhkannya yaitu dengan menyelenggarakan pesta sekolah.
Beasiswa bergulir, bisa jadi merupakan istilah yang tepat untuk tradisi ini. Sebuah kearifan lokal yang didasari oleh kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Mahalnya biaya kuliah dan kondisi ekonomi yang pas-pasan tidak menyurutkan niat mereka untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Jika ditanggung sendiri, bisa jadi mereka tak akan mampu menanggung biaya kuliah yang begitu mahal. Namun mereka dapat menyiasatinya dengan gotong royong, saling membantu mencukupi kebutuhan pendidikan.
Tak terasa, kopi hitam yang tersaji sudah tinggal ampasnya. Matahari makin condong ke barat, makin meredup sinarnya. Saya pun harus segera pulang ke “basecamp”, rumah warga yang ada di kampung sebelah berjarak 2 jam perjalanan (jalan kaki). Belum genap seminggu berada di bumi Manggarai, saya sudah terpesona. Tidak hanya alamnya yang subur maupun keramahan penduduknya, tapi juga dengan salah satu adatnya yaitu pesta sekolah. Tidak sekedar pesta yang menghambur-hamburkan uang, tetapi pesta yang menjadi ajang pemberian beasiswa pendidikan.
Pendidikan Dasar yang Terlantar, Sebuah Ironi di Pelosok Negeri
Mengikuti pendidikan dasar merupakan hak sekaligus kewajiban bagi setiap warga negara dan pemerintah wajib membiayainya. Begitulah kira-kira isi yang tercantum dalam UUD 1945, Pasal 31. Jadi dengan kata lain, pemerintah mengharuskan warganya untuk mengikuti pendidikan dasar. Kini, pemerintah sudah mensubsidi pendidikan dasar dengan program BOS (Bantuan Operasioal Sekolah) nya. Ditambah lagi adanya BSM (Bantuan Siswa Miskin) yang akhir tahun ini sudah bisa dicairkan. Kesejahteraan guru juga sudah mulai diperhatikan. Saat ini guru PNS sudah memiliki penghasilan yang cukup layak.
Namun, apakah program-program seperti itu sudah cukup membantu bagi seluruh warga negara Indonesia? Bagi sebagian, mungkin cukup membantu tapi bagi yang lain tidak. Bagi anak-anak di pedalaman Manggarai ini, meja dan bangku yang kokoh, buku pelajaran yang memadai, dan ruang kelas yang layak masih menjadi impian. Impian yang tak kunjung terwujud. Meja reyot, bangku kurang, kelas berantakan, sangat menyedihkan. Itulah kondisi ruang kelas yang saya lihat saat mengunjungi salah satu SD di Kabupaten Manggarai Timur, NTT. Kondisi yang tak jauh berbeda juga ditemui di beberapa SD lain dalam satu kabupaten tersebut.
Sekolah memang sudah gratis* (*belum termasuk uang komite, seragam, buku tulis, sepatu, dan perlengkapan sekolah lain), namun satu hal penting yang harus diperhatikan yaitu akses menuju sekolah. Akses dalam hal ini adalah jarak antara rumah dan sekolah. Jarak antara rumah dan sekolah relatif jauh. Ditambah dengan kondisi infrastruktur jalan yang masih buruk, semakin menyulitkan anak untuk bersekolah. Bahkan di daerah Sumba, jarak tempuh dari rumah ke sekolah bisa sampai dua jam jalan kaki. Beberapa orangtua siswa berpendapat pentingnya dibangun semacam asrama siswa di dekat sekolah agar anak tidak harus nglaju dari rumah ke sekolah. Namun, itu baru sebatas harapan saja.
Tenaga pendidik pun juga mengalami masalah yang disebabkan oleh keterbatasan. Sepertinya anggaran pendidikan sebesar 20% masih kurang untuk mencukupi kebutuhan akan pendidikan yang layak. Di daerah pelosok masih mengalami kekurangan tenaga guru (PNS). Bahkan di beberapa sekolah hanya kepala sekolah saja yang berstatus sebagai PNS, sisanya adalah guru honorer. Guru honorer biasanya dibiayai dari uang komite atau dari sebagian dana BOS. Guru honorer tidaklah setara dengan PNS, mungkin lebih tepat dikatakan relawan. Mengenai kesejahteraan, tentu sangat jauh dibanding guru PNS. Di salah satu SD, gaji guru honorer hanya sebesar Rp250.000 sebulan dibandingkan dengan guru PNS di SD yang sama lebih dari Rp2.000.000. Contoh kasus tersebut memang tidak bisa digeneralisasi, namun cukup dapat dijadikan sebagai gambaran tingkat kesejahteraan guru honorer di daerah pelosok.
Masalah lain timbul ketika tenaga pendidik terkesan malas-malasan dalam mengajar. Di suatu sekolah, guru sering meninggalkan muridnya dengan tugas yang harus dikerjakan. Tanpa pengawasan dari guru, akhirnya anak-anak pun hanya bermain di dalam kelas atau kadang main keluar kelas. Sebelum pulang, guru pun datang memeriksa tugas, mengajar sebentar, lalu memimpin doa. Lain lagi ceritanya di sekolah ini, guru biasanya hanya mengajar 2-3 kali seminggu. Selebihnya, siswa dibiarkan begitu saja tanpa ada kegiatan belajar mengajar. Hal ini sempat dikeluhkan oleh beberapa orangtua siswa tapi sampai pertengahan tahun 2013 tidak ada perkembangan berarti. Sekali lagi, contoh kasus ini tidak dapat digeneralisasi. Namun dikhawatirkan terjadi juga di banyak sekolah lain. Dalam hal ini, tak sepenuhnya kita menyalahkan guru. Ada banyak faktor yang menyebabkan kurangnya motivasi guru dalam mengajar. Kesejahteraan bisa jadi merupakan faktor utama masalah tersebut.
Di balik, semua keterbatasan itu ada secercah harapan dari pelaku pendidikan itu sendiri. Meski dengan segala keterbatasan yang dihadapi, tak menyurutkan semangat anak-anak untuk menuntut ilmu. Panjangnya jalan, bukit-bukit terjal, maupun padang sabana tanpa batas mereka tempuh untuk menuntut ilmu. Orang tua mereka juga sangat mendukung perjuangan anak-anaknya. Kebanyakan orang tua, terutama di daerah Manggarai Timur ingin agar anaknya sekolah setinggi mungkin. Meski hidup sederhana tapi mereka ingin anaknya bisa jadi sarjana. Masa depan yang lebih baik, itulah harapan orangtua untuk anak yang disekolahkan. Bahkan tidak sedikit orangtua yang berharap anaknya bisa jadi guru dan kelak kembali ke kampungnya untuk mengabdi. Seperti yang dialami salah seorang guru honorer di Manggarai Timur. Dia rela meninggalkan kehidupannya yang cukup mapan di kota lalu kembali ke kampung halamannya dan menjadi guru. Mengabdi untuk kemajuan pendidikan di kampungnya, itulah pilihan hidupnya. Kini, dia tinggal bersama istri yang juga sebagai guru honorer dan anak-anaknya di rumah sederhana di dekat sekolah.
Itulah sebagian kecil dari potret pendidikan di Indonesia. Penuh dengan ironi, keterbatasan seolah menjadi pemakluman terhadap masalah-masalah yang terjadi. Semoga saja pemerintah bisa segera berbenah. Mengurai benang kusut yang sudah akut.
Sumber Gambar: Dokumentasi Tim M_arapu
Dari Moleknya Kampung Mojang, Sampai ke Kawah Kamojang yang Elok
Menjelang tengah hari, awan mendung menggantung di langit kampung Mojang. Segelas kopi panas dan beberapa potong gorengan menemani kami menikmati sejuknya udara pegunungan. Terlihat beberapa petani sibuk menanam di lereng yang terjal. Suatu tugas yang tidak mudah, bertani di lereng-lereng bukit. Dibutuhkan tenaga, keterampilan, dan keberanian ekstra untuk menjadi petani di lahan miring. Risiko jatuh maupun tanah longsor nampaknya tak menciutkan nyali mereka demi untuk mencari sesuap nasi. Saya hanya bisa menikmati secara visual hasil karya mereka. Menyulap area perbukitan monoton menjadi lebih “berwarna” dengan adanya berbagai tanaman yang tertata rapi.
Harmoni di Lereng Gunung Lawu
Jalanan menanjak dan berkelok, dari kejauhan sudah terlihat megahnya gunung Lawu. Hamparan sawah yang bertingkat-tingkat mengikuti kontur tanah. Sambil menikmati suasana pegunungan, kami juga sempat ngobrol dengan ibu-ibu yang duduk di depan kami. Dari obrolan singkat di dalam minibus itu, saya ketahui bahwa masyarakat di lereng gunung Lawu memiliki kepercayaan yang beragam. Ibu itu sendiri beragama Hindu, sedangkan keluarganya yang lain ada yang beragama Islam, Kristen, dan Budha. Tidak ada paksaan bagi mereka dalam menganut agama. Mereka memilih berdasarkan keyakinanya sendiri-sendiri. Dan tidak ada masalah dengan perbedaan itu.
Keluarga besar dari si Ibu itu merupakan sebuah potret dari warga lereng gunung Lawu yang majemuk. Beragamnya agama yang dianut merupakan cerminan keterbukaan mereka terhadap budaya baru. Melihat suasana pedesaan yang tenang dan damai. Warganya yang sangat ramah kepada orang asing seperti saya. Ibu itu juga sangat terbuka dan terlihat bangga menceritakan majemuknya kepercayaan yang dianut keluarganya. Sepertinya tidak nampak telah terjadi konflik di antara mereka terkait dengan perbedaan agama.
Sebuah kondisi yang sangat kita dambakan terjadi di negeri ini. Negeri yang katanya masih bertindak diskriminatif terhadap kaum minoritas. Bahkan sampai ada beberapa pihak yang menentang pemberian penghargaan HAM kepada presiden SBY karena dianggap belum becus menangani masalah diskriminasi tersebut. Itu sudah cukup menggambarkan betapa diskriminasi masih dialami oleh sebagian Warga Negara Indonesia di negerinya sendiri.
Melihat harmoni di kaki gunung Lawu itu, rasanya tidak mustahil bisa terjadi di negeri ini. Suatu kondisi di mana Masjid, Gereja, Pura, dan Vihara dapat didirikan dengan bebas sesuai peraturan yang ada. Warga dari berbagai agama bebas beribadah sesuai keyakinan agamanya masing-masing. Sebuah kondisi ideal sesuai dengan UUD 1945 Pasal 29. Sementara itu mobil pun terus melaju menuju terminal Kemuning, Karanganyar. Mendaki jalanan yang semakin curam dan sesekali melewati kelokan tajam.
Langganan:
Postingan (Atom)