Senin, 10 April 2017

Mengenal Keunikan Dayak dan Melayu di Kalimantan Barat

Rumah Betang Sui Utik, Kapuas Hulu
Terpisah parit kecil, sekilas tidak ada perbedaan antara dusun Menukung 2 dengan dusun Mekarsari. Sama seperti masyarakat Dayak di daerah hulu sungai Melawi lain, mereka bekerja di sektor pertanian. Karet adalah sumber penghidupan utama mereka selain ladang padi. Seiring masuknya perusahaan sawit, sebagian mereka juga memiliki pekerjaan tambahan sebagai pekerja perkebunan. Kebanyakan warga kedua dusun itu masih memiliki hubungan kekerabatan. Dalam keseharian pun mereka membaur dan seringkali melakukan gotong royong. 

Terdapat dua tempat ibadah yaitu gereja Katolik di Mekarsari dan Masjid di Menukung 2. Di sinilah letak perbedaannya, dusun Mekarsari didominasi warga beragama Katolik sedangkan warga dusun Menukung 2 hampir semuanya Muslim. Tidak seperti di dusun Mekarsari, dusun Menukung 2 ditinggali beberapa suku selain Dayak seperti Melayu dan Jawa. Adanya kawin campur antar suku menjadi salah satu penyebab utama perpindahan agama di sana.

Sebenarnya tidak ada masalah terkait perbedaan keyakinan yang dianut kedua dusun itu. Sudah puluhan tahun mereka hidup berdampingan dan berinteraksi secara wajar. Namun yang menarik di sini adalah adanya pembedaan antara Dayak Muslim dan Non Muslim. “Senganan” begitulah kata yang disebut salah seorang warga dusun Mekarsari ketika menjelaskan identitas penduduk dusun Menukung 2. Senganan adalah istilah yang sering ditujukan kepada orang Dayak yang beragama Islam.

Dayak dan Melayu merupakan dua suku yang dominan di Kalimantan bahkan bisa dikatakan sebagai “penduduk lokal” karena telah lama mendiami pulau tersebut. Di Kalimantan Barat kedua suku itu diidentikkan dengan beberapa ciri yang cenderung saling bertolak belakang. Dayak memiliki kebudayaan yang cenderung berorientasi pada daratan (hutan), mereka biasa tinggal di pedalaman hutan dan pegununungan. Sementara itu Melayu memiliki kebudayaan yang cenderung berorientasi pada perairan baik laut maupun sungai, mereka biasanya tinggal di area pantai (laut/sungai). Dari situlah timbul istilah yang berkembang di masyarakat seperti “orang darat” dan “orang laut” untuk menyebut Dayak dan Melayu.

Namun seiring dengan pembangunan prasarana seperti jalan dan perkembangan pola interaksi, istilah itu kian jarang didengar kecuali di daerah pedesaan. Tempat tinggal mereka pun mulai bergeser, dari yang tadinya tinggal di pesisir sungai (Melayu) dan hutan (Dayak) pindah mendekati jalan darat. Perpindahan ini dilakukan untuk memudahkan dalam hal akses transportasi yang kini mengandalkan jalur darat.  

Agama juga dijadikan identitas pembeda antara Dayak dan Melayu. Dayak identik dengan agama Kristen dan Melayu identik dengan Islam. Masyarakat Kalimantan Barat sendiri masih cenderung menganggap agama yang dianut sebagai penentu identitas kesukuan. 
Dalam keseharian seringkali muncul anggapan bahwa “orang Melayu pasti beragama Islam, orang Islam pasti Melayu”. Seringkali semua orang di Kalimantan Barat yang beragama Islam dianggap sebagai orang Melayu meskipun sebenarnya dia orang Jawa, Sunda, bahkan Dayak sekalipun. Anggapan ini muncul karena Islam telah menyatu dalam budaya Melayu sejak dulu.

“Masuk Islam berarti masuk Melayu”, itulah ungkapan yang berlaku di Kalimantan Barat. Orang Dayak yang jadi mualaf biasanya mengaku dirinya Melayu dan mereka tinggal di lingkungan orang Melayu. Begitu juga dengan orang-orang sekitar juga secara otomatis mengakui ke-Melayuannya. Sebagai contoh, banyak warga di dusun Menukung 2 mengaku sebagai Melayu meski sebenarnya mereka orang Dayak. Namun ada juga yang meski sudah tinggal di lingkungan Melayu, dia tetap mengaku sebagai orang Dayak seperti pengakuan salah seorang kepala SMP di daerah Kapuas Hulu. Meskipun di lingkungan kerja dia sudah dianggap Melayu karena masuk Islam, namun Pak Hendri tetap mengaku sebagai orang Dayak dan masih sering ikut kegiatan adat di keluarga besarnya.    

“Dayak dan Melayu sejarahnya dua beradek, kalau Melayu pegangnya Islam, kalau kita orang Dayak pegangnya Kristen”. Begitulah kata Abraham Tehor, salah seorang tokoh adat Dayak desa Tanah Hitam di kabupaten Ketapang. Di desa Tanah Hitam, 80% warganya beragama Protestan ada juga sebagian kecil yang beragama Islam termasuk beberapa kerabat Pak Tehor. Mereka saling undang dan mengunjungi jika ada acara. Sebagai contoh dalam acara gawai adat mereka melibatkan seluruh warga desa termasuk saudara Melayu mereka. Meski terdapat pembedaan identitas (Dayak/Melayu) namun mereka mengaku bersaudara.

Kalimantan Barat memang unik karena di sana terdapat pembedaan suku berdasarkan identitas tertentu seperti tempat tinggal dan agama. Namun yang saat ini yang masih sering dimunculkan adalah pembedaan berdasar identitas keagamaan. Seakan sudah menjadi pemahaman umum jika orang Dayak itu Kristen sedangkan orang Melayu adalah Islam. Pengelompokkan seperti itu sudah lama terjadi sehingga muncul istilah-istilah baru terkait hal itu, “senganan” salah satu contohnya. Istilah “senganan” memang jarang ditemui di tempat lain dan sebenarnya cukup asing di kalangan warga Kalimantan Barat sendiri. Istilah “senganan” kurang familiar dalam kosa kata Melayu namun justru masih sering terdengar di kalangan Dayak non Muslim. Bisa jadi penyebutan “senganan” diberikan karena mereka masih mengakui asal-usul Dayak Muslim yang cenderung mengaku Melayu dan enggan disebut Dayak.

Dayak dan Melayu memiliki kebudayaan yang khas dan sekilas tampak kontras satu dengan lainnya. Perbedaan inilah yang memicu adanya pengelompokkan berdasarkan ciri-ciri tertentu di kalangan mereka sendiri. Tapi meskipun kelihatan sangat berbeda, Dayak dan Melayu memiliki bahasa yang relatif mirip. Bahasa dari beberapa sub suku Dayak di Kalimantan Barat memiliki kemiripan dengan bahasa Melayu hanya dialeknya saja yang berbeda. Dalam berbagai acara adat Dayak dan Melayu pun memiliki tujuan yang sama yaitu untuk keselamatan/tolak bala, hanya saja cara yang dilakukan berbeda. Bisa jadi hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya Dayak dan Melayu memiliki akar budaya yang sama.

Pembedaan Dayak dan Melayu seperti itu boleh jadi hanya ada di Kalimantan Barat saja. Mengenai latar belakang pembentukan identitas tersebut ada berbagai versi. Hal inilah yang membuat struktur masyarakat dan kebudayaan di Kalimantan Barat menjadi unik sekaligus rumit. Bagaimanapun juga perbedaan ini sudah dianggap wajar dan biasa, meski terkadang hal itu bisa berkembang menjadi isu yang sensitif. Secara umum kedua suku tersebut bisa hidup berdampingan dan membaur satu sama lain bahkan dengan suku lain yang makin berkembang di Kalimantan Barat.

Catatan Kecil:
Tulisan ini dibuat berdasarkan pengalaman saya dalam beberapa kali kunjungan ke Kalimantan Barat dalam kurun waktu 2014 – 2016. Interaksi dengan sejumlah warga dan beberapa buku yang saya baca menjadi awal ketertarikan untuk membuat tulisan ini. Referensi terkait hal ini bisa dikatakan masih sangat minim dan memiliki beberapa versi. Pengumpulan informasi pun saya lakukan sambil lalu saja dan didapat secara kebetulan. Jadi sangat mungkin dalam penulisan ini ada banyak kekurangan dan mohon koreksinya jika berkenan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar