Kamis, 22 Januari 2015

Kalimantan Barat


Menyeberang Kapuas
Ketiadaan jembatan penyeberangan membuat jasa penyeberangan Kapuas menjadi kebutuhan utama transportasi Sekadau – Belitang. Arus kendaran dari Sekadau ke tiga kecamatan di Belitang (Belitang Hilir, Belitang, dan Belitang Hulu) dan sebaliknya relatif ramai karena adanya perkebunan sawit yang besar di daerah Belitang. Tiap hari puluhan truk sawit hilir mudik Sekadau – Belitang dengan menyeberang Kapuas. Selain itu mulai berkembangnya penduduk di Belitang semakin meramaikan penyeberangan. Oleh karena itu pemda setempat berinisiatif membangun ferry penyeberangan yang pada Oktober 2014, dermaga masih dalam proses pembangunan.


Gereja St Petrus Bukit Sadayang
Gedung gereja yang terletak di sebuah bukit kecil ini diresmikan pada Februari 2001. Lokasinya berada tepat di pinggir jalan trans Kalimantan. Hanya saja untuk mencapainya masih harus melalui jalan masuk yang menanjak. Tak jauh, hanya sekitar 100 meter kemudian sudah sampai di komplek pastoran. Diarsiteki seorang putra daerah, bangunan gereja paroki ini berbentuk segi lima dengan memadukan tiga unsur budaya masyarakat setempat yaitu Dayak, Melayu, dan Tionghoa. Atapnya yang berbentuk tumpang tiga mirip atap surau/masjid yang sering dijumpai di Kalimantan Barat mewakili budaya Melayu. Bagian ujung bawah atap gereja melengkung, menyerupai model atap rumah etnis Tionghoa. Di bagian atas pintu masuk terdapat ukiran khas Dayak. Dan di dua sisi atap bagian depan terdapat hiasan berbentuk kepala burung Enggang yang merupakan hewan langka khas Kalimantan dan juga menjadi maskot dari Kalimantan Barat.



Eks Lapangan Terbang
Terbentang sepanjang lebih kurang 500 meter, jalan yang berada tepat di depan SMPN 6 Belitang Hulu ini dulunya difungsikan sebagai landasan pesawat. Landasan ini dibangun untuk keperluan misi di daerah Belitang dan sekitarnya. Hampir di setiap gereja besar (Paroki) terdapat landasan serupa. Adanya landasan ini tak lepas dari belum dibuatnya jalan yang menghubungkan antara kota Sekadau dengan Belitang. Dahulu, jika ingin milir/mudik (menuju ke kota/balik ke kampung) sungai menjadi jalur transportasi favorit meski membutuhkan waktu yang lama. Karena itu pesawat terbang menjadi satu-satunya alternatif tercepat untuk mencapai daerah Belitang. Landasan itu terakhir kali digunakan pada tahun 2004 karena akses darat sudah mulai dibuka. Kini 130 km jarak yang terbentang antara kota Sekadau dengan desa Terduk Dampak dapat dilalui motor, mobil, bahkan truk dengan waktu tempuh mencapai 5 jam dalam kondisi normal (jalanan kering).

Nusa Tenggara Barat


Para Pencipta Pulau Seribu Masjid
Teriknya matahari tak membuat semangat mereka surut untuk mendirikan sebuah masjid. Baik laki-laki maupun perempuan turut serta dalam pembangunan ini. Bekerja sama sesuai kemampuan masing-masing dan nampaknya mereka sepertinya sudah terbiasa melakukan pekerjaan seperti ini meskipun sebagian besar diantara mereka berprofesi sebagai petani. Pekerjaan itu akan terus mereka lakukan hingga adzan dzuhur berkumandang tanda panggilan sholat dan istirahat siang sebelum kembali melanjutkannya hingga sore hari. Pengerjaan masjid seperti itu dapat dengan mudah ditemui di seluruh pulau Lombok. Di satu kecamatan saja bisa ditemukan 2 – 3 pekerjaan pembangunan masjid di waktu yang sama. Hasilnya, hampir di setiap dusun memiliki masjid sendiri. Bahkan di desa Paok Motong, Masbagik, Lombok Timur yang terdiri dari 10 dusun terdapat 12 masjid dan belasan mushola. Jadi setidaknya ada dua dusun yang masing-masing mempunyai dua masjid. Selama Islam masih mengakar kuat dalam kehidupan warga Lombok, pembangunan masjid akan terus berlanjut. Masjid-masjid baru akan mereka bangun dan semakin mengukuhkan Lombok sebagai pulau seribu Masjid.

Kamis, 08 Januari 2015

Merangkai Mutiara Karimata (3): Kembali ke Kalimantan, Mengarungi Selat Karimata

Kapal perlahan menjauhi dermaga Betok, semakin jauh dan kemudian tak tampak lagi karena terhalang bukit. Di sekitar pulau Karimata banyak terdapat pulau-pulau kecil baik yang berpenghuni maupun yang tidak. Pulau Kepayang adalah salah satu pulau yang berpenghuni. Terletak di sebelah utara pulau Karimata, pulau ini biasa dijadikan sebagai tempat singgah nelayan. Hanya sedikit nelayan yang menetap di pulau ini. Hamparan pasir putih dan pohon kelapa menghiasi beranda pulau Kepayang, sementara di belakangnya tampak hijau pucuk pepohonan. Menurut warga setempat, pulau Kepayang dikenal sebagai penghasil buah-buahan terutama durian. Pulau pasir putih dengan hiasan pohon kelapa, dikelilingi laut yang sangat jernih dengan ikan melimpah, ditambah lagi banyakya buah-buahan tropis, bisa membuat yang tinggal di sana jadi mabuk kepayang.


14206146351085520905
Pulau Kepayang

Keluar dari perairan pulau Karimata, memasuki laut lepas. Di sinilah saat-saat yang paling krusial, tanpa penghalang pulau gelombang akan dengan leluasa bergerak. Arah gelombang masih berasal dari selatan dengan ketinggian mencapai 2 meter. Cuaca cerah dan laut sangat tenang (menurut bang Sema, namun kami sama sekali tidak sependapat), sempurna. Bang Yos yang sekarang pegang kemudi dengan tenangnya mengendali kapal, sementara kami hanya bisa pasrah menerima hempasan gelombang yang bertubi-tubi. 
Sekitar sejam lamanya di laut lepas, kapal memasuki gugusan kepulauan Pelapis. Pelapis merupakan pusat kecamatan kepulauan Karimata yang terdiri dari beberapa pulau kecil dan dua pulau besar yang berpenghuni. Kapal melewati celah antara dua pulau besar tersebut. Di sana banyak terdapat bangunan kelong, baik yang masih dipakai maupun yang terbengkalai. Kelong merupakan bangunan berbentuk panggung dengan pondasi dari kayu dan gubug sederhana beratap alang di atasnya yang berfungsi untuk menjaring ikan teri. Jaring biasanya disiapkan di bawah bangunan kelong, saat malam hari jaring diturunkan. Dengan bantuan lampu, teri siap diburu. Ikan teri yang tertarik terhadap cahaya akan berkumpul di bawah kelong. Saat dilihat kumpulan teri sudah cukup banyak, jaring perangkap yang sudah dipasang sebelumnya akan ditarik ke atas.


14206148711459663067
bangunan kelong di perairan Pelapis

Pelapis juga merupakan pulau dengan pantai pasir putih dengan pemukiman terpusat di area pantai. Hutan di bagian tengah pulau masih terlihat alami. Laut di sekitar pulau biru tosca, begitu jernih dan tenang. Tak jauh dari Pelapis, pulau Penebang tampak samar di balik kabut tipis yang sedari kemarin enggan beranjak dari perairan sekitar Kalimantan. Berbeda dengan Pelapis, pulau Penebang ini sangat sedikit penghuninya. Pulau yang cukup besar ini pantainya didominasi karang, dan di beberapa tempat terlihat pantai pasir putih. Pulau Penebang relatif luas dan memiliki bukit yang cukup tinggi. 


1420614949513335681
pulau Pelapis



14206150851998455144
pulau Penebang berselimutkan kabut asap tipis

Selepas pulau Penebang, kembali memasuki lautan lepas. Namun di area ini gelombang relatif tenang daripada perairan antara Pelapis dengan Karimata. Tak sampai sejam kemudian, sampailah di perairan pulau Maya ditandai dengan banyaknya jermal yang yang didirikan di tengah laut. Mirip seperti kelong, jermal merupakan bangunan semi permanen yang dibangun di tengah laut untuk menangkap ikan. Bedanya adalah, cara kerja perangkapnya. Di salah satu sudut jermal dibuat semacam pagar berbentuk corong yang mengerucut ke bangunan utama. Fungsinya adalah untuk mengarahkan arus air menuju ke perangkap sehingga menjebak ikan-ikan. Cara kerja ini mirip dengan bubu, namun dalam skala besar. 


1420615181244937072
jermal di perairan pulau Maya

Kapal kian laju, membelah tenangnya gelombang laut perairan pulau Maya. Namun tetiba Bang Sema membanting stir ke arah kiri. Tampak di kejauhan bendera kecil berwarna merah yang ditancapkan di sebuah pelampung. Bendera itu adalah tanda ujung pukat yang dipasang nelayan, membentang sepanjang ratusan meter. Cukup banyak pukat yang dipasang di sekitar pulau. Bentangan pukat yang panjang menuntut kewaspadaan bagi para pengemudi kapal cepat. Jika lengah, baling-baling kapal akan rusak karena menyangkut di jala. Parahnya lagi pemilik pukat biasanya akan menuntut ganti rugi karena pukat mereka rusak terkena baling-baling.
Pulau Maya menjadi rangkaian pulau terakhir sebelum kembali ke Kalimantan. Usai sudah perjalanan singkat mengarungi selat karimata. Melihat birunya laut dan hijaunya pulau serta eksotisnya pantai pasir putih di setiap pulau.

Merangkai Mutiara Karimata (2): Berlabuh di Pulau Karimata

Kapal melaju cepat melewati pulau Maya. Kabut asap semakin tebal menggantung di atas permukaan laut. Kabut asap ini berasal dari kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan saat musim kemarau. Posisi pulau dan karang sebagai penanda arah nyaris tak terlihat karena tertutup kabut. Dibutuhkan pengalaman dan kewaspadaan ekstra untuk mengemudikan kapal saat situasi seperti ini. Selat Karimata merupakan pertemuan arus antara laut Jawa dengan laut China Selatan. Besarnya gelombang dan kuatnya arus laut di kawasan ini sudah terkenal mampu membalikkan kapal-kapal yang kurang beruntung. Kebetulan saat itu musim angin selatan sudah mulai reda sehingga kapal cepat ukuran kecil yang kami tumpangi berani dibawa sampai pulau Karimata. Jika sedang musim angin selatan, nelayan-nelayan lokal yang handal pun urung melaut. Meski sudah reda, arus laut yang datang dari arah selatan cukup mengkhawatirkan bagi kami yang baru pertama naik kapal kecil di tengah laut. Tinggi gelombang yang bisa mencapai 3 meter membuat kami merasa was-was. Belum lagi gelombang-gelombang lain yang susul menyusul membuat kapal terhempas berkali-kali. Sementara itu di kokpit terlihat bang Sema dengan santainya ngobrol dengan bang Yos, kawannya yang bertugas sebagai navigator sekaligus co-pilot. Perlu diketahui, bang Sema seringkali ditugaskan untuk mengantar bupati Kayong Utara dalam melakukan kunjungan ke kepulauan Karimata. Kapal ini dikemudikan oleh pengemudi kapal VIP kabupaten, jadi kenapa mesti khawatir? Lagi pula ini rute yang biasa dia lalui. Tanpa sadar, hempasan gelombang yang menggoyang kapal membuat saya tertidur.

1420437879200619522
bang Sema menyiapkan kapal

Tiga jam sudah kapal mengarungi selat Karimata, jam 10 kami sudah sampai di dermaga dusun Betok, Pulau Karimata. Terbentang sepanjang 500 meter, dermaga Betok menjadi jembatan menuju ke area perkampungan. Di ujung dermaga terdapat keran air yang menjadi pemasok air segar dari pegunungan pulau Karimata. Keran yang masih saja mengalirkan air tawar meski saat ini sedang musim kemarau. Tepat di bawah dermaga, terlihat sekumpulan ikan renyok yang berenang bebas tanpa khawatir akan terjaring atau masuk perangkap bubu nelayan. Bagi nelayan dusun Betok, ikan kecil macam renyok bukanlah “level” mereka.

1420438238774570018
sekumpulan ikan renyok yang berenang bebas


14204397751665719981
mengambil air tawar

Selamat Datang di Desa Betok Jaya, sebuah gapura sederhana menjadi pintu masuk ke area pemukiman dusun Betok. Desa Betok Jaya merupakan bagian dari Kecamatan Kepulauan Karimata, sebuah kecamatan baru pemekaran dari kecamatan Pulau Maya Karimata. Betok adalah nama ikan yang dijadikan nama sebuah sungai dan kemudian menjadi nama kampung karena letaknya berada di muara sungai Betok. Betok awalnya hanya dijadikan sebagai tempat singgah para nelayan dari Belitung yang mencari ikan di perairan selat Karimata. Karena kesulitan air, pada tahun 20-an para nelayan memindahkan lokasi singgahnya tempat baru yang lebih dekat dengan sumber air tawar. Tempat baru itu kemudian berkembang menjadi perkampungan yang kini dihuni 248 KK atau sekitar 900-an jiwa. Tidak hanya dihuni orang Belitung saja, orang Bugis dan Buton pun juga banyak yang bermukim di sana.

1420438414924578238
jetty Betok

Penduduk pulau Karimata memang didominasi oleh para perantau dari pulau seberang. Melimpahnya hasil laut menjadi alasan utama bagi mereka untuk tinggal di kepulauan Karimata. Hasil laut biasa mereka jual ke Belitung dan Ketapang. Jarak antara Betok – Belitung dan Betok Ketapang sama jauhnya yaitu sekitar 94 mil laut yang biasanya ditempuh dalam waktu lebih kurang 15 jam oleh nelayan setempat. Nilai jual hasil laut ke Belitung jauh lebih tinggi karena menjadi komoditas ekspor sedangkan di Ketapang hanya dijadikan konsumsi rumah tangga. Karena itu, para nelayan lebih tertarik menjual hasil tangkapannya ke Belitung. Hanya hasil laut berkualitas rendah saja yang mereka jual ke Ketapang.

1420438686229248272
perkampungan dusun Betok

Sebagai kampung yang terisolasi di tengah selat Karimata, Betok bisa dikatakan memiliki fasilitas yang cukup memadai. Listrik sudah bisa dinikmati oleh sebagian besar penduduk di sini dengan menggunakan genset pribadi. Parabola juga sudah banyak ditemukan terpasang di banyak rumah. Untuk memenuhi kebutuhan dasar akan pendidikan dan kesehatan, di dusun ini sudah ada Pustu dan Sekolah SD-SMP Satu Atap. Bahkan untuk kebutuhan komunikasi sudah tersedia tower seluler meski sudah beberapa bulan mati akibat kerusakan di salah satu komponennya.

14204385641713970332
bangunan sekolah di Betok

Walaupun fasilitas sudah cukup lengkap, namun hidup di pulau yang terpencil seperti ini tidaklah mudah bagi para pendatang seperti beberapa guru yang ditugaskan di sini. Pak Edi, Kepala Sekolah yang sudah beberapa tahun mengabdi di Betok. Di usianya yang baru 30-an beliau dipercaya memimpin sebuah sekolah di pulau terpencil ini. Tidak mudah bagi pria yang bertempat tinggal di Seponti, KKU (Kabupaten Kayong Utara) bertugas di pulau dan harus rela meninggalkan keluarga. Hanya sebulan sekali beliau pulang ke rumah di sela-sela tugas mengantar laporan bulanan ke dinas pendidikan KKU. Lain lagi cerita Bu Sunarti, beliau ditugaskan ke Betok saat tengah mengandung. Beliau pun rela menempuh puluhan mil laut mengarungi selat Karimata dalam keadaan hamil demi sebuah tugas mulia. Dan sampai saat ini (Oktober 2014) mereka masih mengabdi di sana, tinggal bersama tiga guru lainnya di sebuah rumah sederhana di belakang sekolah. Rumah berukuran 8m X 6m dengan tiga kamar tidur menjadi tempat tinggal para guru yang berasal dari luar pulau.
Berada di tengah pertemuan antara Laut Jawa dengan Laut China Selatan menjadikan perairan Karimata berbahaya untuk dilalui. Sudah banyak kapal besar maupun kecil yang karam akibat keganasan gelombang perairan Karimata. Saat puncak musim angin barat dan selatan tak satupun nelayan lokal berani melaut, praktis saat itu mereka terisolasi. Akses ke luar pulau pun sangat terbatas, hanya ada kapal perintis menuju Ketapang yang berlabuh di Betok setiap 15 hari sekali. Sebuah kapal dengan panjang tak lebih dari 70 meter, tanpa tempat duduk (lesehan), alat keselamatan minim, karatan, dengan baling-baling yang ditambal sekenanya. Kapal yang sudah selayaknya dimuseumkan itu melayani rute Semarang – Sambas PP via Betok. Naik kapal perintis itu adalah pilihan paling aman, karena pilihan lain untuk keluar pulau adalah dengan menumpang perahu nelayan. Meski sudah tua dan karatan, kapal perintis itu telah berjasa mengirimkan pasokan kebutuhan pokok seperti beras dan BBM ke daerah kepulauan Karimata.

1420438841243633258
kapal perintis sedang merapat di dermaga Betok

Pulau Karimata merupakan wilayah administratif provinsi Kalimantan Barat yang paling barat. Terpisah sekitar 70 mil laut dari daratan utama Kalimantan menjadikan kepulauan Karimata menjadi daerah terpencil. Ketergantungan terhadap Kalimantan cukup besar mengingat sebagian besar kebutuhan akan beras dan BBM harus didatangkan dari sana. Jika kapal yang membawa logistik tak datang selama musim angin, warga terpaksa tak makan nasi jika kehabisan stok beras. Ditambah lagi komunikasi terputus setelah tower seluler di pulau itu rusak. Keterbatasan ini membuat sebagian warga memilih untuk pindah ke Belitung yang dinilai lebih menjanjikan. Beberapa waktu yang lalu sebanyak 70KK pindah ke Belitung. Keterikatan asal-usul bisa jadi menjadi salah satu faktor migrasi penduduk ke Belitung. Perpindahan itu sudah menjadi lumrah karena sejak dulu banyak anak-anak yang memilih Belitung sebagai tempat untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMA.

142043964136364529
pulau Karimata

Hijaunya hutan di satu sisi dan bentangan biru air laut di sisi lainnya serta suasananya yang begitu tenang dan damai menjadikan pulau ini sebagai salah satu surga tropis di Indonesia. Lingkungan masih terjaga, nyaris tanpa polusi udara. Bahkan asap kebakaran hutan Kalimantan yang menyelimuti perairan disekitarnya tak sanggup menjangkau kepulauan Karimata. Hutan perawan dan perairan yang berlimpah ikan sangat menggoda iman. Tak kan cukup waktu seminggu untuk menjelajahi surga tropis itu. Namun keterbatasan waktulah yang membuat kami hanya bisa numpang bermalam saja di sana. Siang hari berikutnya speedboat membawa kami meninggalkan pulau Karimata, sebutir keindahan dari rangkaian mutiara nusantara.

Merangkai Mutiara Karimata (1): Singgah di Pulau Maya

Mesin speedboat telah dinyalakan, sang sopir menjalankan kapal perlahan menuju muara. Kanal yang sempit dengan beberapa perahu tertambat di pinggirnya membuat sopir harus ekstra hati-hati mengemudikan kapalnya. Tak jauh memang, setelah melalui dua kelokan sampailah kami di muara. Pagi itu kami akan menempuh perjalanan panjang sejauh sekitar 76 mil laut Bang Sema begitu biasa sang sopir dipanggil, mulai memacu mesin kapal bertenaga 200 Tenaga Kuda. Beberapa menit melaju di perairan terbuka, kecepatan kapal di atas 20 knot. Gelombang laut di selat antara Kalimantan dengan pulau Maya begitu tenang pagi itu sehingga memungkinkan kapal dipacu hingga 30 knot. Selat yang memisahkan kedua pulau itu sebenarnya lebih mirip sungai karena jarak antar pulau hanya sekitar 1 – 2 km, tak jauh beda dengan lebar sungai Kapuas.

14201807301822233392
kanal sempit di Teluk Batang

Pemandangan hutan bakau pulau Maya masih menghiasi pemandangan sebelah kiri kapal. Pulau Maya adalah sebuah kecamatan induk (dulunya kecamatan Pulau Maya Karimata) yang sebagian wilayahnya dimekarkan menjadi kecamatan Kepulauan Karimata. Kini nama kecamatan itu berubah nama menjadi kecamatan Pulau Maya yang wilayahnya terdiri dari 5 desa yang meliputi seluruh Pulau Maya.

1420180789925260247
hutan bakau pulau Maya

Kapal masih melaju dengan kecepatan rata-rata 25 knot, sementara dari kejauhan tampak muara sungai kecil menuju dusun Pancur. Di tengah lebatnya hutan bakau, ternyata ada pemukiman penduduk. Sekitar 300 meter dari muara, terdapat dermaga kecil yang biasa digunakan sebagai tempat bersandar nelayan setempat. Lebar sungai yang hanya sekitar 6 meter disesaki kapal-kapal nelayan milik warga. Bisa dikatakan hampir semua warga dusun Pancur bekerja sebagai nelayan dan tiap keluarga memiliki sebuah kapal motor. Selain digunakan untuk menangkap ikan, kapal motor biasa mereka pakai sebagai alat transportasi ke kota terdekat seperti Teluk Batang dan Sukadana.
Dusun Pancur ini merupakan bagian dari desa Dusun Kecil, salah satu desa di kecamatan Pulau Maya. Dusun Pancur dulunya terletak di sebuah hutan tak jauh dari lokasi sekarang. Namun karena suatu alasan warga satu dusun bersedia direlokasi oleh pemerintah setempat. Kini pemukiman tersebut kian berkembang dan dihuni oleh 105 KK. Penduduk dusun Pancur mayoritas adalah orang Melayu yang berasal dari Kalimantan. Mereka memilih untuk hijrah ke pulau Maya karena hasil laut yang menjanjikan.

1420180913601261179
dermaga kecil dusun Pancur

Tepat di sebelah utara dermaga terdapat pemakaman yang dibuatkan semacam tanggul sebagai pembatas dengan sungai. Pemukiman warga berjajar di sepanjang sungai dengan beberapa jembatan sebagai penghubung antara sisi barat dan sisi timur. Seluruh fasilitas umum seperti sekolah dan pustu terletak di sisi barat, karena itu di sepanjang barat sungai dibuat jalan beton selebar 2 meter. Jalan beton itu membentang sepanjang 1 km sampai ujung sungai yang kemudian bercabang ke arah barat dan timur mengikuti alur sungai yang bercabang pula. Jalan tersebut merupakan akses untuk menuju lahan pertanian masyarakat. Meski berprofesi sebagai nelayan, mereka juga menanam beberapa komoditas seperti padi, jagung, dan tebu sebagai usaha sampingan.

Berjalan 300 meter dari dermaga terdapat satu-satunya sekolah di kampung ini. Sekolah satu atap (SD dan SMP) menjadi tempat menuntut ilmu anak-anak dusun Pancur. Akses terhadap pendidikan dasar memang belum lama dinikmati anak-anak di dusun ini. Baru pada tahun 2008 mereka bisa mulai menikmati pendidikan dasar 9 tahun sejak dibangunnya gedung SMP. Bangunan sekolah tidak begitu luas karena jumlah muridnya pun tidak banyak. Bangunan SD terletak di depan dengan lapangan yang cukup luas dan bangunan SMP terletak di belakang SD. Antar bangunan kedua sekolah itu dihubungkan oleh jembatan kayu setinggi 70 cm. Beberapa bangunan di area sekolah memang dihubungkan oleh jembatan kayu termasuk juga perumahan guru yang ada di sebelah utara sekolah. Jembatan tersebut akan terlihat fungsinya ketika musim hujan tiba dan air sungai meluap menggenangi pemukiman termasuk sekolah. Namun di bulan November dan Desember biasanya jembatan itu pun ikut terendam bahkan air sampai menggenangi ruang kelas. Pada saat itu para guru dan beberapa siswa menggunakan sampan untuk menuju ke sekolah karena genangan air yang cukup dalam.

1420180981921140817
komplek sekolah dusun Pancur
Tepat di sebelah selatan sekolah ada sebuah masjid yang menjadi pusat ibadah warga dusun Pancur. Di sebelah masjid ada sebuah sumber air sumur bor yang selalu mengeluarkan air ke permukaan tanpa harus disedot menggunakan pompa. Di awal pembuatan sumur, warga harus menimba air memakai botol bekas air mineral 1,5 liter karena diameter sumur yang sangat kecil. Namun sejak beberapa tahun lalu, air selalu meluap sehingga tidak perlu ditimba lagi. Ada beberapa titik sumur di dusun Pancur namun tidak semua sumur mampu meluapkan airnya. Meski terletak sangat dekat dengan laut, air sumur terasa tawar. Namun di musim kemarau airnya berwarna kuning kecoklatan dan berbau besi meski masih tetap tawar. Walaupun demikian, air sumur itu tetap masih dimanfaatkan warga untuk mandi dan mencuci. Pada pagi dan sore hari sumur di masjid selalu dipenuhi oleh warga yang akan mandi, mencuci, atau sekedar mengambil stok air untuk persediaan di rumah. Untuk air minum biasa mereka menggunakan air hujan atau air galon.

14201810381310488037
sumber air dusun Pancur
Berjalan lebih jauh ke dalam kampung, kita akan mendapati sebuah bangunan kecil yang menjorok ke sungai persis di sebelah jembatan. Bangunan sederhana berdinding kayu dengan naungan seng sebagai atapnya berisikan sebuah mesin genset. Itu adalah sumber listrik warga dusun Pancur di malam hari. Genset itu merupakan hasil dari swadaya masyarakat dan dikelola secara mandiri. Tiap malam, genset itu rata-rata menghabiskan 13 liter solar untuk melayani kebutuhan listrik masyarakat dari jam 18.00 – 22.00 (waktu nyala listrik tidak pasti, kadang bisa sampai jam 11 malam tergantung maunya si operator). Untuk mendapat fasilitas listrik tersebut warga ditarik iuran 3 ribu/hari untuk biaya minyak dan perawatan mesin. Penggunaan listrik dibatasi hanya untuk 2 buah lampu dan 1 televisi.

1420181128997483036
genset kampung
Rumah-rumah warga hampir semua terbuat dari kayu dan cukup layak untuk ditinggali karena mereka mendapat bantuan perumahan dari pemerintah daerah. Selain itu taraf ekonomi mayoritas warga tergolong berkecukupan, hal ini bisa dilihat sepintas dari adanya parabola di hampir setiap rumah. Hasil laut yang cukup melimpah menjadi penyumbang utama kesejahteraan masyarakat. Di sepanjang sungai terdapat banyak jembatan penghubung. Tiap 50 meter terdapat sebuah jembatan yang menghubungkan perumahan sebelah barat dan timur sungai. Namun makin ke arah hulu, jembatan-jembatan tidak terawat dan bahkan ada yang sudah rusak. Simpang jalan yang menjadi ujung kampung masih sekitar 200 meter lagi dari rumah terakhir. Dari ujung kampung terlihat lahan terbuka yang luas, itulah tanah yang coba digarap masyarakat dusun Pancur. Masyarakat yang dibesarkan dalam budaya kelautan kini mencoba peruntungannya di sektor agraris.

14201812191157251771
suatu siang di dermaga dusun Pancur
Dusun Pancur, adalah salah satu potret perkampungan yang ada di Pulau Maya. Pulau pertama dalam rangkaian kepulauan di selat Karimata. Pulau dengan berbagai potensi mulai dari perikanan, pariwisata, sampai ladang pertanian yang belum dioptimalkan. Kabarnya Pulau Maya menjadi salah satu daerah tujuan transmigrasi. Semoga saja dengan adanya transmigran Pulau Maya akan berkembang ke arah yang positif.

Jumat, 15 Agustus 2014

Menikmati Fajar dan Senja di Pulau Langit

Gunung Sindoro, pemandangan dari Gunung Sumbing (dokumentasi tim)
September 2011, pada bulan ini untuk pertama kalinya aku berkesempatan naik gunung. Dua gunung sekaligus kudaki dalam sebulan ini. Keduanya menawarkan pengalaman dan sensasi yang sangat berbeda. Salah satu pengalaman yang ingin kurasakan adalah melihat terbit dan terbenamnya matahari. Sebuah fenomena biasa memang, tapi jika dinikmati dari sudut pandang yang tak biasa berubah menjadi fenomena yang luar biasa. Dalam pendakian ini aku ingin melihat fenomena itu dari ketinggian yang belum pernah kucapai.
awal pendakian
Lereng Gunung Sindoro 2800mdpl, 6 September 2011
Jam 3 pagi, mata ini belum juga bisa terpejam. Hembusan kuat angin pegunungan sejak malam tadi menimbulkan suasana horor di dalam tenda. Aku yang baru pertama kali naik gunung begitu galau mendengar gemuruh angin disusul dengan tenda ikut bergoyang dengan kerasnya. Seakan tanpa jeda, hembusan angin itu menyerang tenda kami dari berbagai arah. Kupikir angin gunung ini akan menghempaskan tenda seisinya ke jurang. Aku hanya bisa meringkuk pasrah di dalam sleeping bag. Sampai jam 3 lebih sedikit, angin mulai berkurang baik intensitas maupun kecepatannya.
Sebenarnya kami berencana muncak mulai jam 3 pagi agar dapat menikmati sunrise di puncak. Namun, akhirnya kami baru bisa berangkat jam 4 pagi. Pagi itu, angin tak begitu kencang, meski demikian hawa dingin tetaplah menusuk walau sudah dibungkus jaket tebal. Jam 5 pagi, suasana sudah mulai terang. Dari arah timur mulai terlihat semburat warna merah, sementara puncak masih cukup jauh. Aku sadar bahwa tak akan bisa mengejar sunrise di puncak. Sambil sesekali istirahat, ku sempatkan untuk melihat keindahan terbitnya matahari.
sunrise Sindoro
Luar biasa! Matahari terlihat muncul dari balik lautan awan putih. Awan yang bergerombol pagi itu terlihat seperti lautan putih sejauh mata memandang. Terlihat di kejauhan dua gundukan tanah di tengah lautan awan yang mirip pulau. Kedua gundukan itu tak lain adalah gunung Merapi dan Merbabu. Terlihat juga gunung Sumbing yang berdiri gagah diselimuti awan bagian bawahnya. Belum seluruh wajah matahari nampak, terlihat sebuah pelangi menaunginya. Sungguh pagi yang sempurna.

Pos 2 jalur Wekas Gunung Merbabu 2500mdpl, 24 September 2011
Tiga tenda sudah didirikan, cukup untuk melindungi kami dari terpaan dinginnya angin gunung malam nanti. Masih jam 4 sore, kamipun mengisi waktu senggang ini dengan berbagai aktivitas mulai dari mencari air sampai sekedar melepas lelah setelah 3,5 jam mendaki dari basecamp. Namun, kesibukan kami terusik oleh penduduk lokal gunung Merbabu. Dia mengendap-endap dan berhasil mencuri persediaan beras memanfaatkan kelengahan kami. Tidak hanya itu, dia juga berhasil menggondol sebungkus keju! Tanpa merasa berdosa, dia melahap makanan curiannya di balik semak-semak. Sementara itu, kami masih terpaku tak berdaya di sekitar tenda sambil mengutuki kebodohan kami. Semua persediaan beras memang disimpan dalam satu tempat. Jadi dalam pendakian ini sudah pasti kami tidak dapat menikmati nasi. Kembali teringat teori portofolio investasi “jangan taruh semua telur dalam satu keranjang”.

Akhirnya kami hanya bisa memasak sayur sop dan tempe (tanpa nasi) untuk makan malam. Kebutuhan karbohidrat dipenuhi dari mie instant dan roti yang untungnya tersedia cukup untuk tiga kali makan. Setelah agak longgar, kusempatkan untuk merebahkan diri di atas sekumpulan ilalang yang sudah mengering. Cukup untuk menghangatkan tubuh di tengah udara yang semakin dingin. Menatap birunya langit biru yang bersih, hanya ada awan tipis menghiasinya. Di arah puncak, terlihat hijaunya bukit dengan latar langit biru. 

Jam di HP menunjukkan pukul 17.15, sudah saatnya aku bergabung dengan kawan-kawan yang lain di pinggir tebing untuk melihat sunset. Tebing itu berada tidak jauh dari lokasi tenda, tepatnya di sebelah barat. Tempat itu memang menjadi favorit para pendaki untuk menikmati keindahan matahari terbenam. Dari tebing itu dapat dilihat air terjun dan aliran sungai yang ada di bawah. Meski tertutup kabut tipis, masih bisa terlihat kelokan aliran sungai dan hijaunya pepohonan di lembah gunung Merbabu.
jelang senja di gunung Merbabu (dokumentasi tim)
Matahari sudah semakin rendah memancarkan cahaya kuning keemasan. Langit mulai berubah warna menciptakan gradasi yang mengagumkan. Dari kejauhan terlihat dua gunung kembar Sindoro-Sumbing. Kedua gunung itu terlihat seperti pulau yang berdampingan di tengah lautan awan. Matahari pun semakin condong dan perlahan tenggelam ke dalam lautan awan. Meskipun matahari sudah tak tampak lagi, aku masih terpaku karena terpukau oleh keindahan sunset yang belum pernah kulihat sebelumnya. Sementara itu, kawan-kawan yang lain sudah menuju tenda meninggalkan aku dan salah seorang kawan di tepi tebing. Sesekali kami ngobrol, tapi lebih banyak diam menjadi saksi keagungan Tuhan.

Liburan ala Bule di Gili Trawangan

three gilis map
Surga dunia, pulau eksotis, dan sederet istilah lebay lainnya digunakan untuk menggambarkan keindahan Gili Trawangan. Pulau kecil di sebelah barat pulau Lombok ini sudah sangat tersohor di kalangan para traveler dunia. Bersama dua pulau kecil lainnya, Gili Air dan Gili Meno tiga rangkaian pulau kecil ini menjadi lokasi favorit untuk berwisata bahkan berbulan madu. Dari ketiga pulau itu, memang Gili Trawangan yang paling terkenal.

Gili Trawangan adalah destinasi wisata yang sebenarnya tidak kami rencanakan sebelumnya. Ini adalah perjalanan dadakan untuk memanfaatkan waktu istirahat selama beberapa hari sebelum jadwal keberangkatan pesawat ke Jogja. Salah seorang kawan kebetulan pernah ke sana dan punya kenalan yang sering liburan ke sana sehingga kami pun dapat kontak penginapan murah di sana. Kami beruntung, karena salah satu dari kami adalah kawan dari langganan mereka, pihak penginapan mendiskon tarif kamar.

Menggunakan kapal motor umum, kami menyeberang dari Lombok ke Gili Trawangan. Sekitar setengah jam kemudian kapal yang kami tumpangi sudah sampai di Gili. Tak ada kendaraan bermotor, hanya ada sepeda dan cidomo (dokar) sebagai alat transportasi. Jalanan utama begitu bersih nyaris tanpa sampah berserakan. Di sepanjang jalan banyak terdapat toko cinderamata, agen travel, penginapan, dan minimarket. Sementara itu restoran kebanyakan berada di sisi yang langsung berbatasan dengan pantai. Bule-bule bertebaran di mana-mana. Sejauh mata memandang tak satupun terlihat wisatawan lokal.
jalanan gili trawangan
Cukup jauh kami berjalan kaki dari tempat kapal bersandar menuju penginapan. Sebuah ranjang berkapasitas dua orang, lemari, kipas angin, dan kamar mandi dalam adalah fasilitas kamar yang tersedia. Ada empat kamar yang sederet dengan kamar kami. Dua kamar kami tempati, satunya ditempati sepasang bule, dan satunya lagi kosong. Di depan setiap kamar terdapat berugak (gubug kecil khas Lombok) yang sangat nyaman dijadikan tempat istirahat. Air di penginapan payau, katanya di Gili kebanyakan air tanahnya payau.
halaman depan penginapan
Usai rehat sejenak, kami keluar untuk jalan-jalan menikmati suasana sore di Gili Trawangan. Tak banyak orang yang lalu-lalang di jalan sore itu. Namun di pantai sudah terlihat banyak wisatawan yang sedang bersantai menanti senja. Kebetulan pantai yang kami kunjungi menghadap ke arah timur sehingga tidak bisa melihat sunset namun esok ada harapan untuk dapat menikmati sunrise. Pantai pasir putih ala Gili Trawangan yang terkenal akan keindahannya itu akan segera kami sambangi. Sayangnya keeksotisan pantai pasir putih Gili ternodai oleh sampah-sampah yang berserak. Dari ranting-ranting pohon sampai sampah bungkus makanan sudah terlihat dengan jelas saat kami masuk ke area pantai. Pantai yang buruk, kesan pertama saya. Sangat berbeda dengan ekspektasi yang terbentuk dari berbagai sumber yang menceritakan keindahan Gili Trawangan.
sampah terserak di tepi pantai
Sampah di pantai tidak mempengaruhi para wisatawan untuk tetap menikmati suasana sore di tepi pantai. Lagi-lagi hanya terlihat wajah-wajah berkulit putih. Baru setelah agak lama berada di pantai, tampak seorang berwajah lokal sedang menggendong anak bule. Tak banyak yang para wisatawan lakukan di pantai sore itu, hanya duduk-duduk santai dan ada yang bermain dengan anak-anaknya. Mereka terlihat sangat menikmati liburan dan tidak memikirkan apapun kecuali bersenang-senang. Berbeda dengan kami yang kebingungan saat malam tiba. Di sepanjang restoran yang kami susuri tak ada satupun yang bersahabat bagi kantong kami. Daftar menu dan harga yang tertera di papan tulis berstandar internasional. Selera makan pun hampir menghilang, sampai ketika saya lihat salah satu menu “vegetable fried rice... 20K”. Itulah harga makanan termurah yang dapat ditemukan. Harga barang dan makanan di Gili Trawangan memang mahal, bisa sampai tiga kali lipat dari harga normal.

Memasuki restoran, si pelayan menunjukkan tempat duduk yang masih kosong. Dasar ndeso, kami memilih untuk duduk lesehan di berugak yang letaknya di sudut restoran tanpa penerangan yang memadai. Si pelayan sempat menganjurkan untuk duduk di dalam dengan alasan tempat yang kami pilih agak gelap, namun pendirian kami tetap tak tergoyahkan. Nantinya si pelayan akan mafhum dengan keputusan ini. Di saat para tamu yang kebanyakan bule sedang makan dengan elegan, sementara di berugak kami makan dengan gaya kampungan. Ngobrol sambil cekikikan, sesekali tertawa terbahak-bahak. Sangat kontras dengan suasana dalam restoran yang begitu tenang dan kondusif.

Saat memesan makanan, si pelayan pun tanya minuman apa yang kami pesan. Kami pun kompak menjawab ga usah pake minum aja (sudah cukup dengan nasi goreng 20K). Dengan tersenyum, si pelayan bilang “air putihnya gratis kok” (ah.. sial, tau aja kalo kami turis kere). Kami pun tidak menanggapi serius tawaran si pelayan. Antara malu tapi mau dan kami pilih tetap pesen makan tanpa minum. Vegetable fried rice 20K telah dihabiskan, rasa biasa harga luar biasa. Bekal 1,5 botol air mineral ukuran tanggung menjadi penawar rasa seret kami usai makan.

Paginya kami yang sudah berniat ingin melihat sunrise bergegas ke pantai setelah bangun tidur. Sudah agak terang ketika kami sampai di pantai. Namun matahari belum juga muncul karena terhalang awan yang menggumpal di ufuk timur. Selang beberapa menit kemudian, bola emas matahari muncul dari balik awan. Cahaya merahnya terpantul dengan sempurna di laut yang begitu tenang. Samar terlihat pantai Gili Meno tepat di bawah matahari. Sunrise yang tidak sempurna, namun tetap terlihat indah.
menyambut pagi di gili
Suasana pantai masih sepi, jarang terlihat turis yang wara-wiri di pantai. Di antara sepinya pantai, terlihat seorang turis asal Jepang sedang membawa sampah botol bir dan air mineral berjalan menuju tempat sampah. Ternyata masih ada yang peduli terhadap sampah di pantai. Sampah memang menjadi masalah klasik yang selalu terjadi pada tempat wisata di Indonesia tak terkecuali di Gili Trawangan. Pulau yang disebut pulau surga ini bagi saya tak ubahnya seperti pantai wisata biasa yang tercemar sampah. Sebagai pulau wisata, Gili Trawangan menghasilkan sampah yang banyak. Memang, sebagian besar sampah-sampah tersebut terbuang di tempat yang seharusnya. Namun, ada sebagian lagi yang lolos dan mencemari area pantai.
membuang sampah pada tempatnya
Di penghujung waktu liburan, kami manfaatkan untuk ikut tur snorkeling di perairan tiga gili. Dengan membayar 100 ribu per orang kami mendapat fasilitas masker snorkeling, jaket pelampung, sebotol air mineral, pemandu, dan diantar ke tiga spot snorkeling. Satu rombongan tur berisi sekitar 20 orang wisatawan, dan kami lah satu-satunya turis lokal dalam rombongan tersebut. Sebagai minoritas, kami harus mengalah karena penjelasan dari pemandu yang menggunakan bahasa Inggris. Tergabung dalam rombongan ini seperti berada dalam tur wisata internasional.

Dari kami bertujuh, lima orang tidak bisa berenang termasuk saya. Saya sama sekali tidak pernah berenang sempat panik saat pertama kali menceburkan ke laut. Beruntung, saya bisa segera sadar kalau sedang pakai pelampung dan membiarkan tubuh mengambang dengan sendirinya. Untuk menjaga satu sama lain (biar ga ilang keseret arus), kami saling berpegangan tangan. Ada kalanya salah seorang dari kami terpisah dan dengan paniknya minta di-rescue. Meski berpegangan tangan sempat kami panik ketika arus begitu kuat dan menyeret kami ke pinggir pantai. Kegiatan snorkeling ini bagi kami tak ubahnya seperti ajang mempertahankan nafas/nyawa (Jangankan menikmati keindahan bawah laut, bertahan dari kuatnya arus laut aja susahnya setengah mati). Sementara para bule satu rombongan dengan asyiknya berenang ke sana ke mari. Kami begitu panik karena arus kencang, sementara para bule itu menikmati keindahan bawah laut dengan tenang dan elegan.

para perenang amatiran (hanya satu yg bisa diandalkan)
Selepas tur snorkeling, waktunya kami segera berkemas dan menuju ke pelabuhan. Sorenya dengan menumpang kapal umum, kami kembali ke Lombok. Usai sudah liburan dua hari satu malam di Gili Trawangan dan sekitarnya. Liburan di tempat favorit para bule dan mencoba menikmatinya seperti mereka.