Tampilkan postingan dengan label sosbud. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sosbud. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Mei 2014

Dari Moleknya Kampung Mojang, Sampai ke Kawah Kamojang yang Elok

Menjelang tengah hari, awan mendung menggantung di langit kampung Mojang. Segelas kopi panas dan beberapa potong gorengan menemani kami menikmati sejuknya udara pegunungan. Terlihat beberapa petani sibuk menanam di lereng yang terjal. Suatu tugas yang tidak mudah, bertani di lereng-lereng bukit. Dibutuhkan tenaga, keterampilan, dan keberanian ekstra untuk menjadi petani di lahan miring. Risiko jatuh maupun tanah longsor nampaknya tak menciutkan nyali mereka demi untuk mencari sesuap nasi. Saya hanya bisa menikmati secara visual hasil karya mereka. Menyulap area perbukitan monoton menjadi lebih “berwarna” dengan adanya berbagai tanaman yang tertata rapi.

Harmoni di Lereng Gunung Lawu



13703272251530589423
Kompleks candi Cetho, salah satu candi Hindu yang ada di lereng Lawu

Jalanan menanjak dan berkelok, dari kejauhan sudah terlihat megahnya gunung Lawu. Hamparan sawah yang bertingkat-tingkat mengikuti kontur tanah. Sambil menikmati suasana pegunungan, kami juga sempat ngobrol dengan ibu-ibu yang duduk di depan kami. Dari obrolan singkat di dalam minibus itu, saya ketahui bahwa masyarakat di lereng gunung Lawu memiliki kepercayaan yang beragam. Ibu itu sendiri beragama Hindu, sedangkan keluarganya yang lain ada yang beragama Islam, Kristen, dan Budha. Tidak ada paksaan bagi mereka dalam menganut agama. Mereka memilih berdasarkan keyakinanya sendiri-sendiri. Dan tidak ada masalah dengan perbedaan itu. 

Keluarga besar dari si Ibu itu merupakan sebuah potret dari warga lereng gunung Lawu yang majemuk. Beragamnya agama yang dianut merupakan cerminan keterbukaan mereka terhadap budaya baru. Melihat suasana pedesaan yang tenang dan damai. Warganya yang sangat ramah kepada orang asing seperti saya. Ibu itu juga sangat terbuka dan terlihat bangga menceritakan majemuknya kepercayaan yang dianut keluarganya. Sepertinya tidak nampak telah terjadi konflik di antara mereka terkait dengan perbedaan agama. 

Sebuah kondisi yang sangat kita dambakan terjadi di negeri ini. Negeri yang katanya masih bertindak diskriminatif terhadap kaum minoritas. Bahkan sampai ada beberapa pihak yang menentang pemberian penghargaan HAM kepada presiden SBY karena dianggap belum becus menangani masalah diskriminasi tersebut. Itu sudah cukup menggambarkan betapa diskriminasi masih dialami oleh sebagian Warga Negara Indonesia di negerinya sendiri.
Melihat harmoni di kaki gunung Lawu itu, rasanya tidak mustahil bisa terjadi di negeri ini. Suatu kondisi di mana Masjid, Gereja, Pura, dan Vihara dapat didirikan dengan bebas sesuai peraturan yang ada. Warga dari berbagai agama bebas beribadah sesuai keyakinan agamanya masing-masing. Sebuah kondisi ideal sesuai dengan UUD 1945 Pasal 29. Sementara itu mobil pun terus melaju menuju terminal Kemuning, Karanganyar. Mendaki jalanan yang semakin curam dan sesekali melewati kelokan tajam.

Senin, 21 April 2014

Garut, Harta Terpendam Bumi Priangan

Dodol dan Aceng Fikri, itulah yang ada di benak saya tentang Garut sebelum bertandang ke sana. Tidak banyak yang saya ketahui tentang Garut karena kurangnya informasi dari media massa seperti televisi. Baru beberapa bulan yang lalu nama Garut terangkat oleh kasus nikah siri yang menjerat Bupati Garut saat itu. Sebuah isu yang mempopulerkan Garut, namun sayangnya dalam hal yang negatif. Seorang kawan pernah menceritakan pengalamannya saat berada di suatu daerah. “Anak buahnya Aceng Fikri ya..” celetuk seseorang yang dia temui sesaat setelah mengetahui identitasnya sebagai orang Garut. Saking seringnya media membahas isu itu, membuat sebagian orang mengenal Garut identik dengan Aceng Fikri. Padahal Garut tidak sesempit itu, tidak hanya sebatas dodol atau Aceng Fikri saja. Garut yang juga mendapat julukan kota intan itu memiliki banyak hal menarik yang jarang ditemui di tempat lain.